“Inilah jalanku: aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” (Yusuf:108).

Selasa, 30 Juli 2013

Fiqih I'tikaf Lengkap

 
Assalamu 'alaikum wr. wb.
Ustadz yang dirahmati Allah.

Kita sudah mulai memasuki har-hari akhir bulan Ramadhan, dan sudah banyak yang mulai melaksanakan ibadah i'tikaf di masjid. Saya punya beberapa pertanyaan mendasar sebagai bekal i'tikaf nanti :

1. Apa pengertian i’tikaf ?
2. Apa dalil yang mendasari ibadah i'tikaf ini?
3. Apa hukum mengerjakan i'tikaf, wajibkan bagi setiap muslim?
4. Apa saja rukun-rukun i'tikaf yang tidak boleh ditinggalkan?
5. Tindakan apa saya yang termasuk membatalkan i’tikaf?
6. Hal-hal apa saja yang boleh dilakukan ketika i’tikaf?

Mohon maaf sekali karena pertanyaannya terlalu banyak, tetapi saya sangat berterima kasih kalau ustadz bersedia menjawabnya.

Wassalam



Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Melaksanakan ibadah i’tikaf adalah salah satu amal yang amat dianjurkan untuk dikerjakan, terlebih khususnya di bulan Ramadhan. Rasulullah SAW terbiasa menjalankannya, khususnya di 10 hari terakhir Ramadhan.
Namun bukan berarti i’tikaf hanya dikerjakan pada bulan Ramadhan saja. Di luar bulan Ramadhan pun i’tikaf disyariatkan untuk dikerjakan.
Pertanyaan antum ini kelihatannya singkat, padahal kalau dijawab satu per satul lumaya banyak juga. Jadi dalam kesempatan ini izinkan saya sampaikan sedikit lebih jauh tentang i’tikaf, terkait pada pengertian, karakteristik, hukum, rukun, sunnah, yang membatalkan dan seterusnya.
A. Pengertian
1. Bahasa
Secara bahasa, i’tikaf berasal dari bahasa arab ‘akafa (عكف), yang bermakna al-habsu (الحبس) atau memenjarakan.
Allah SWT menggunakan istilah ‘akafa dalam bentuk ma’kufa (معكوفا) dalam salah satu ayat Quran dengan makna menghalangi.
هُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْهَدْيَ مَعْكُوفًا أَنْ يَبْلُغَ مَحِلَّهُ
Merekalah orang-orang yang kafir yang menghalangi kamu dari (masuk) Masjidilharam dan menghalangi hewan kurban sampai ke tempat (penyembelihan) nya. (QS. Al-Fath : 25)
Maka i’tikaf secara bahasa bisa diartikan
حَبْسُ النَّفْسِ عَنِ التَّصَرُّفَاتِ الْعَادِيَّةِ
Memenjarakan diri sendiri dari melakukan sesuatu yang biasa
2. Istilah
Sedangkan secara istilah dalam ilmu fiqih, definisi i’tikaf adalah :
اللُّبْثُ فِي الْمَسْجِدِ عَلَى صِفَةٍ مَخْصُوصَةٍ بِنِيَّةٍ
Berdiam di dalam masjid dengan tata cara tertentu dan disertai niat.
B. Karakteristik
Pada hakikatnya ritual i’tikaf itu tidak lain adalah shalat di dalam masjid, baik shalat secara hakiki maupun secara hukum.
Yang dimaksud shalat secara hakiki adalah shalat fardhu lima waktu dan juga shalat-shalat sunnah lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan shalat secara hukum adalah menunggu datangnya waktu shalat di dalam masjid.
Orang yang beri’tikaf itu memiliki misi yaitu berupaya menyamakan dirinya layaknya malaikat yang tidak bermaksiat kepada Allah, mengerjakan semua perintah Allah, bertasbih siang malam tanpa henti.
I’tikaf adalah ibadah dengan cara menyerahkan diri kepada Allah SWT, dengan cara memenjarakan diri di dalam masjid, dan menyibukkan diri dengan berbagai bentuk ibadah yang layak dilakukan di dalamnya.
C. Masyru’iyah
Ibadah i’tikaf disyariatkan melalui Al-Quran dan Al-Hadits. Di antara ayat Quran yang membicarakan i’tikaf adalah :
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan yang sujud".(QS. Al-Baqarah : 125)
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“…janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid.” (QS. Al-Baqarah : 187)
Sedangkan dari hadits nabawi, ada banyak sekali keterangan bahwa beliau SAW melakukan i’tikaf, khususnya di bulan Ramadhan. Bahkan beliau SAW menganjurkan para shahabat untuk ikut beri’tikaf bersama beliau di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفِ الْعَشْرَ الأَْوَاخِرَ
Siapa yang ingin beri’tikaf denganku, maka lakukanlah pada sepuluh terakhir.” (HR. Bukhari)
D. Hukum I’tikaf
Seluruh ulama sepakat bahwa secara hukum asal, ibadah i’tikaf itu hukumnya sunnah. Dan bisa berubah menjadi wajib, manakala seseorang bernadzar untuk melakukannya.
1. Sunnah
Meski sepakat bahwa hukum i’tikaf itu sunnah, namun para ulama berbeda pendapat tentang martabat dan level kesunnahannya.
Madzhab Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa hukumnya sunnah muakkadah, yaitu pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Sedangkan di luar sepuluh hari itu, hukumnya mustahab.
Yang masyhur dari madzhab Al-Malikiyah, bahwa i’tikaf itu hukumnya mandub muakkad, bukan sunnah. Ibnu Abdil-Barr berkata bahwa i’tikaf hukumnya sunnah pada bulan Ramadhan, dan mandub di luar Ramadhan.
Sedangkan madzhab Asy-Syafi’iyah memandang semua i’tikaf itu hukumnya sunnah muakkadah, kapan saja dilakukan. Namun bila dilakukan pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, level kesunnah-muakkadahannya lebih tinggi lagi. Kalau boleh kita gunakan istilah, sunnah muakkadah kuadrat.
Sedangkan dalam pandangan madzhab Al-Hanabilah, i’tikaf hukumnya sunnah, dan lebih tinggi nilai kesunnahannya kalau dilakukan pada bulan Ramadhan. Dan bila dilakukan pada sepuluh hari yang terakhir, nilai kesunnahannya lebih tinggi lagi.
Ada sebuah pertanyaan menarik, yaitu kenapa para ulama tidak mewajibkan i’tikaf ini, padahal tercatat Rasulullah SAW tidak pernah absen saban tahun melaksanakannya, khususnya pada sepuluh hari terakhir tiap bulan Ramadhan?
Para ulama berhujjah bahwa Rasulullah SAW memang tidak mewajibkan seluruh shahabatnya untuk melakukannya. Pada saat beliau SAW beri’tikaf, memang ada sebagian shahabat yang ikut beri’tikaf bersama beliau. Namun tidak semua shahabat ikut dalam i’tikaf beliau.
Sehingga hanya mereka yang mau dan berkesempatan saja yang tercatat mengikutinya. Dan beliau hanya mengajak sebagian saja, sebagaimana tercermin dalam hadits berikut ini :
مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفِ الْعَشْرَ الأَْوَاخِرَ
“Siapa yang ingin beri’tikaf denganku, maka lakukanlah pada sepuluh terakhir.” (HR. Bukhari)
Seandainya hukum i’tikaf ini wajib, pasti beliau tidak mengatakann, siapa yang mau, tetapi beliau akan mengatakan, wajiblah atas kalian datang beri’tikaf.
2. Wajib
Namun hukum i’tikaf akan berubah menjadi wajib, apabila seseorang bernadzar untuk melakukan i’tikaf, misalnya apabila permohonannya dikabulkan Allah SWT.
Dalilnya adalah hadits Nabi SAW berikut ini :
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ
“Siapa yang bernadzar untuk mentaati Allah, maka taatilah Dia.” (HR. Bukhari)
Selain itu juga hadits lainnya yang lebih jelas dan tegas terkait dengan seseorang yang bernadzar untuk mengerjakan i’tikaf di masa Rasulullah SAW.
عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ قَال : يَا رَسُول اللَّهِ : إِنِّي نَذَرْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ .فَقَال النَّبِيُّ : أَوْفِ بِنَذْرِكَ
Dari Umar radhiyallahuanhu berkata, ”Ya Rasulallah, Aku pernah bernadzar untuk melakukan i’tikaf satu malam di masjid Al-Haram”. Beliau SAW menjawab, ”Laksanakan nadzarmu”. (HR. Bukhari)
3. Sunnah Kifayah
Biasanya kita mengenal istilah fardhu kifayah, misalnya kewajiban menshalatkan jenazah. Madzhab Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa hukum beritikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, bagi penduduk satu kawasan, hukumnya secara kolektif sunnah kifayah.
Konsekuensinya mirip dengan fardhu kifayah, yaitu apabila sudah ada seseorang yang mengerjakannya di suatu kawasan, maka gugurlah keharusan beri’tikaf. Sebaliknya, bila tidak satu pun yang mengerjakannya, maka mereka semua berdosa. Hanya saja dosanya tidak seperti dosa meninggalkan fardhu kifayah. Dosanya hanya dosa kecil atau ringan.
E. Rukun
Jumhur ulama menyepakati bahwa dalam satu ibadah i’tikaf, ada empat rukun yang harus dipenuhi, yaitu orang yang beri’tikaf (mu’takif), niat beri’tikaf, tempat i’tikaf (mu’takaf fihi) dan menetap di dalam masjid.
Namun madzhab Al-Malikiyah menambahkan satu rukun lagi, yaitu puasa. Maksudnya, yang namanya beri’tikaf itu harus dengan cara berpuasa juga. Sedangkan madzhab Al-Hanafiyah justru hanya memiliki satu saja rukun i’tikaf, yaitu menetap di dalam masjid. Sedangkan rukun-rukun yang lainnya, oleh madzhab ini tidak dimasukkan sebagai rukun, melainkan sebagai syarat.
1. Orang Yang Beri’tikaf
Rukun yang pertama dalam ibadah i’tikaf adalah orang yang beri’tikaf, dan sering disebut sebagai mu’takif (معتكف).
Syarat-syarat yang ditetapkan para ulama terhadap orang yang beri’tikaf standar saja, yaitu muslim, akil dan minimal mumayyiz. I’tikaf boleh dikerjakan oleh laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak, setidaknya yang sudah mumayyiz. Selain itu orang yang beri’tikaf disyaratkan dalam keadaan suci dari haidh atau nifas, serta suci dari hadats besar.
a. Islam
Dengan disyaratkannya status beragama Islam, maka orang kafir atau orang yang tidak beragama Islam tidak sah bila melaksanakan i’tikaf.
Walau pun syariat membolehkan orang yang bukan beragama Islam masuk ke dalam masjid, namun tidak dibenarkan melaksanakan ibadah i’tikaf, kecuali setelah menyatakan diri masuk Islam.
b. Berakal
Syarat kedua bagi orang yang akan beri’tikaf adalah berakal sehat. Sebab ibadah itu membutuhkan niat dan menyengaja untuk melakukan. Orang yang tidak punya kesadaran atas dirinya, tentu tidak bisa berniat untuk mengerjakan suatu ibadah.
Maka secara otomatis orang gila yang tidak waras pemikirannya, tidak sah bila melakukan i’tikaf. Termasuk di dalamnya adalah orang yang kurang waras, idiot yang akut, serta penderita kelainan syaraf.
c. Mumayyiz
Seorang anak yang belum baligh tetapi sudah mumayyiz, apabila melaksanakan ibadah i’tikaf, hukumnya sah dan berpahala. Sebagaimana kalau anak yang belum baligh itu menjalankan ibadah shalat dan puasa, bila sudah mumayyiz, maka ibadahnya sah dan berpahala baginya.
d. Suci dari Janabah
Orang yang sedang dalam keadaan berjanabah atau berhadats besar, diharamkan masuk ke dalam masjid. Sehingga ia tidak boleh mengerjakan i’tikaf, lantaran i’tikaf itu hanya dilaksanakan di dalam masjid saja.
Dasar atas larangan orang yang berjanabah atau berhadats besar berada di dalam masjid adalah firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُبًا إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ تَغْتَسِلُواْ
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu salat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub terkecuali sekedar berlalu saja hingga kamu mandi. (QS. An-Nisa' : 43)
Secara harfiyah, sebenarnya larangan dalam ayat ini adalah larangan untuk mendekati shalat. Namun ketika dalam ayat ini Allah membuat pengecualian, yaitu hanya sekedar lewat, maka yang terbersit dari larangan ini adalah larangan untuk masuk ke dalam masjid.
Sehingga pengertian ayat ini bahwa seorang yang dalam keadaan janabah dilarang memasuki masjid, kecuali bila sekedar melintas saja.
e. Tidak Haidh atau Nifas
Wanita yang sedang mendapat darah haidh atau nifas tidak dibenarkan ikut beri’tikaf di masjid.
Dasarnya bukan karena khawatir darahnya akan mengotori masjid. Sebab syariat Islam membolehkan wanita yang sedang mengalami istihadhah untuk masuk masjid. Kalau larangan itu semata-mata karena khawatir darah akan menetes dan merusak kesucian masjid, seharusnya wanita yang sedang mengalami istihdhah pun dilarang masuk masjid.
Namun wanita yang sedang haidh atau nifas, keduanya diharamkan masuk ke dalam masjid, karena mereka dalam status hukum seperti itu, dilarang memasuki wilayah suci di dalam masjid. Sementara i’tikaf itu tidak sah dikerjakan kecuali di dalam masjid, maksudnya di bagian ruangan yang suci.
Meski hadits yang melarang wanita haidh dan nifas untuk masuk ke masjid itu dikritisi oleh para ulama hadits sebagai hadits yang lemah, namun dalil keharaman mereka masuk masjid bukan semata-mata menggunakan hadits tersebut. Melainkan karena secara status hukum, wanita yang sedang mendapat haidh dan nifas itu adalah orang yang berhadats besar, atau berjanabah.
لاَ أُحِل الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَ جُنُبٍ
Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Tidak ku halalkan masjid bagi orang yang haidh’ dan junub.” (HR. Abu Daud)
2. Niat Beri’tikaf
Jumhur ulama di antaranya madzhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah sepakat menetapkan bahwa niat adalah bagian dari rukun i’tikaf. Sedangkan madzhab Al-Hanafiyah menempatkan niat sebagai syarat i’tikaf dan bukan sebagai rukun.
Fungsi dari niat ketika beri’tikaf ini antara lain untuk menegaskan spesifikasi ibadah i’tikaf dari sekedar duduk ngobrol di masjid. Orang yang sekedar duduk menghabiskan waktu di masjid, statusnya berbeda dengan orang yang niatnya mau beri’tikaf. Meski keduanya sama-sama duduk untuk mengobrol. Yang satu mendapat pahala i’tikaf, yang satunya tidak mendapat pahala i’tikaf.
Fungsi lain dari niat ketika beri’tikaf juga menegaskan hukum i’tikaf itu sendiri, apakah termasuk i’tikaf yang wajib seperti karena sebelumnya sempat bernadzar, ataukah i’tikaf yang hukumnya sunnah.
3. Tempat i’tikaf
Seluruh ulama sepakat bahwa tempat untuk beri’tikaf, atau al-mu’takaf fihi, adalah masjid. Dan bangunan selain masjid, tidak sah untuk dilakukan i’tikaf.
Dasarnya adalah firman Allah SWT :
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“…Dan kamu dalam keadaan beri’tikaf di dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah : 187)
Dan Rasulullah SAW tidak pernah mengerjakan i’tikaf kecuali di dalam masjid.
Para ulama juga sepakat bahwa beri’tikaf di tiga masjid, yaitu Masjid Al-Haram Mekkah, Masjid Nabawi di Madinah dan Masjid Al-Aqsha di Al-Quds, lebih utama dan lebih besar pahalanya, bila dibandingkan dengan pahala beri’tikaf di masjid yang lain.
Demikian juga para ulama sepakat bahwa masjid jami’ yang ada shalat jamaahnya adalah masjid yang sah digunakan untuk beri’tikaf.
Sedangkan masjid yang lebih rendah dari itu, misalnya tidak setiap waktu digunakan untuk shalat berjamaah, maka para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan beri’tikaf di dalamnya.
a. Madzhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah
Madzhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah menegaskan bahwa hanya masjid jami’ saja yang boleh digunakan untuk beri’tikaf.
Namun Abu Yusuf dan Muhammad -keduanya adalah ulama senior di dalam madzhab Al-Hanafiyah- membolehkan beri’tikaf meski di masjid yang tidak digunakan atau jarang-jarang digunakan shalat berjamaah. Menurut Abu Yusuf, bila i’tikaf yang wajib, harus di masjid yang ada shalat jamaahnya. Sedangkan bila i’tikaf sunnah, boleh di masjid yang tidak seperti itu.
Namun pengertian masjid yang ada shalat jamaahnya, agak berbeda konsepnya, antara Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah. Menurut Al-Hanafiyah, setidaknya masjid itu ada imam rawatib dan makmumnya, meskipun tidak selalu dalam tiap waktu shalat selalu terlaksana shalat jamaah.
Sedangkan menurut madzhab Al-Hanabilah, setidaknya ketika sedang digunakan beri’tikaf, masjid itu digunakan untuk shalat berjamaah.
b. Madzhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah
Adapun madzhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah, keduanya tidak mensyaratkan apakah masjid itu ada jamaah shalat lima waktu atau tidak. Bagi mereka, yang penting ketika bangunan itu berstatus sebagai masjid, maka boleh digunakan untuk beri’tikaf.
4. Menetap di Dalam Masjid
Seluruh ulama termasuk keempat madzhab utama, telah sepakat bahwa berada atau menetap di dalam masjid, atau al-lubsu fil masjid (اللبس في المسجد) merupakan rukun i’tikaf.
Namun yang menjadi titik perbedaan pendapat adalah masalah durasi minimal, sehingga keberadaan di masjid itu sah berstatus i’tikaf.
a. Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah
Madzhab Al-Hanafiyah menegaskan bahwa durasi minimal untuk beri’tikaf adalah sa’ah (ساعة), baik di siang hari atau malam hari.
Pengertian istilah sa’ah di dalam bahasa Arab modern bermakna satu jam atau 60 menit. Namun berbeda dengan istilah yang digunakan para ulama di masa lalu, yang pengertiannya adalah sesaat, sejenak atau sebentar.
Madzhab Al-Hanabilah relatif memiliki pendapat yang sama dengan madzhab Al-Hanafiyah dalam masalah durasi minimal.
b. Al-Malikiyah
Para ulama di dalam madzhab Al-Malikiyah agak sedikit berselisih tentang durasi minimal i’tikaf. Sebagian dari mereka menetapkan bahwa durasi minimal adalah sehari semalam tanpa putus. Dan rangkaiannya dimulai dari sejak masuk waktu malam, yaitu terbenamnya matahari, terus melalui malam, lalu terbit matahari, pagi, siang, lalu sore dan berakhir i’tikaf itu ketika matahari kembali terbenam di ufuk Barat.
Dan sebagian lagi mengatakan bahwa durasi minimal untuk beri’tikaf adalah sehari tanpa malamnya. Jadi sehari itu dimulai dari masuknya waktu shubuh, melewati pagi, siang, sore, lalu berakhir dengan masuknya waktu Marghrib kala matahari terbenam.
c. Asy-Syafi’iyah
Madzhab Asy-syafi’iyah tidak memberikan batasan durasi minimal untuk beri’tikaf. Asalkan seseorang telah berada di dalam masjid, walaupun tidak harus dalam posisi berdiam di satu titik, misalnya berjalan kesana-kemari, sudah termasuk beri’tikaf.
Namun bila orang sekedar berjalan melewati bagian dalam masjid, dan menjadikan masjid sebagai jalan tembus, tidak sah untuk diniatkan sebagai i’tikaf. Jadi minimal harus berhenti sejenak, walaupun tidak harus berdiam diri.
Namun madzhab ini menegaskan bila seseorang beri’tikaf sehari, maka hukumnya mandub. Sebab Rasulullah SAW tidak pernah melakukan i’tikaf kecuali minimal berdurasi sehari.
F. Yang Membatalkan I’tikaf
Di antara hal-hal yang dianggap membatalkan i’tikaf antara lain :
1. Jima’
Dasar yang menjadi alasan kenapa jima’ itu membatalkan i’tikaf adalah firman Allah SWT :
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“…Dan janganlah kamu melakukan persetubuhan ketika kamu beri’tikaf di masjid…”. (QS. Al-Baqarah : 187)
Mungkin sulit dibayangkan ada orang melakukan jima’ di dalam masjid, apalagi sedang dalam keadaan beri’tikaf. Bukankah masjid itu tempat umum dan biasanya banyak orang, lalu bagaimana caranya berjima’ di tempat umum yang banyak orang?
2. Keluar Dari Masjid
Yang dimaksud dengan keluar dari masjid adalah apabila seseorang keluar dengan seluruh tubuhnya dari masjid. Sedangkan bila hanya sebagian tubuhnya yang keluar dan sebagian lainnya masih tetap berada di dalam masjid, hal itu belum dianggap membatalkan i’tikaf. Sebab kejadian itu dilakukan oleh Rasulullah SAW sebagaimana disebutkan di dalam hadits berikut :
كَانَ رَسُول اللَّهِ  يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ وَأَنَا فِي حُجْرَتِي فَأُرَجِّل رَأْسَهُ وَأَنَا حَائِضٌ
Rasulullah SAW menjulurkan sebagian kepalanya kepadaku, padahal aku berada di dalam kamarku. Maka aku menyisirkan rambut kepalanya sedangkan aku sedang haidh. (HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama sepakat mengatakan bahwa di antara hal-hal yang membatalkan i’tikaf adalah ketika seseorang keluar dari masjid, tanpa hajat yang masyru’. Namun mereka berbeda pendapat ketika menetapkan jenis hajat apa saja yang dianggap masyru’ dan tidak membatalkan i’tikaf :
a. Buang Air dan Mandi Wajib
Para ulama sepakat bila seorang yang sedang beri’tikaf kebelet harus pipis atau buang air besar, maka keluarnya dari masjid tentu tidak membatalkan i’tikafnya. Sebab buang air kecil di masjid termasuk sesuatu yang diharamkan oleh Rasulullah.
Demikian juga dengan mandi wajib, yaitu mandi janabah. Bila seorang yang sedang beri’tikaf di masjid, tiba-tiba dalam tidurnya bermimpi hingga keluar mani, maka dia wajib segera meninggalkan masjid, untuk melaksanakan mandi janabah. Untuk itu, keluarnya dari masjid tidak membatalkan i’tikafnya.
Dasar kebolehannya adalah hadits berikut ini :
عن عَائِشَة أَنَّ النَّبِيَّ  كَانَ لاَ يَدْخُل الْبَيْتَ إِلاَّ لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Nabi SAW tidak masuk ke dalam rumah kecuali karena ada hajat, bila beliau sedang beri’tikaf. (HR. Bukhari Muslim)
Termasuk ke dalam kebolehan ketika beri’tikaf adalah kepentingan untuk membuang benda-benda najis yang kebetulan ada di dalam masjid. Juga bila seseorang merasa ingin muntah, entah karena sakit atau sebab lain, pada saat dia sedang beri’tikaf, maka dia boleh keluar masjid tanpa membatalkan i’tikafnya.
Dan untuk semua ini, tidak diharuskan dengan cara berlari terburu-buru. Silahkan saja semua dilakukan dengan santai dan tenang tanpa harus takut batal i’tikafnya.
Sedangkan apabila hajatnya itu sekedar berwudhu’, maka menurut Asy-Syafi’iyah, bisa dikerjakan di dalam masjid.
b. Makan dan Minum
Madzhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah sepakat mengatakan bahwa seorang yang sedang beri’tikaf lalu keluar masjid untuk kepentingan makan atau minum, maka i’tikafnya batal dengan sendirinya.
Sebab seharusnya, ketika mau beri’tikaf, mereka sudah menetapkan orang yang akan melayani atau membawakan mereka makanan dan minuman ke dalam masjid. Sehingga mereka tidak perlu keluar untuk mencari makan.
Hal itu juga didasari oleh pendapat mereka bahwa makan dan minum di dalam masjid sama sekali tidak ada larangan atau kemakruhan.
Sedangkan madzhab Asy-Syafi’iyah membolehkan seseorang yang sedang beri’tikaf untuk keluar masjid demi mencari makanan atau minuman. Dan dalam madzhab ini, makan dan minum di masjid termasuk hal yang kurang didukung, karena dianggap agak memalukan.
c. Menjenguk Orang Sakit dan Shalat Jenazah
Rasulullah SAW diriwayatkan pernah ketika sedang beri’tikaf, beliau keluar masjid dan menjenguk orang sakit. Dasarnya adalah hadits marfu’ yang oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani didhaifkan :
أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ كَانَ يَمُرُّ بِالْمَرِيضِ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ
Rasulullah SAW pernah menjenguk orang sakit padahal beliau sedang beri’tikaf. (HR. Abu Daud)
Namun karena kelemahan periwayatan sanadnya, maka kebanyakan ulama tidak memperbolehkan orang yang sedang beri’tikaf untuk keluar masjid hanya sekedar untuk menjenguk orang yang sedang sakit atau untuk menshalatkan jenazah.
Namun kalau sebelumnya seseorang keluar masjid karena ada hajat yang masyru’, kemudian pulangnya sekalian menjenguk orang sakit atau menshalatkan jenazah seseorang, oleh sebagian ulama hal itu dianggap boleh. Syaratnya, semua dilakukan dengan tidak terlalu lama.
3. Murtad
Orang yang sedang beri’tikaf lalu tiba-tiba dia murtad atau keluar dari agama Islam, maka i’tikafnya otomatis batal dengan sendirinya. Sebab keislaman seseorang menjadi salah satu syarat sah i’tikaf.
Dasar dari ketentuan ini adalah fiman Allah SWT :
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Bila kamu menyekutukan Allah (murtad), maka Allah akan menghapus amal-amalmu dan kamu pasti jadi orang yang rugi.” (QS Az-Zumar )
4. Mabuk
Jumhur ulama sepakat apabila seorang yang sedang beri’tikaf mengalami mabuk, maka i’tikafnya batal. Itu adalah pendapat madzhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah.
Sedangkan madzhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa orang yang mabuk saat beri’tikaf tidak batal, kalau kejadiannya malam hari. Sedangkan kalau kejadiannya di siang hari, mabuk itu membatalkan puasa. Dan dengan batalnya puasa, maka i’tikafnya juga ikut batal juga.
5. Haidh dan Nifas
Kala seorang wanita menjalani i’tikaf, lalu tiba-tiba keluar darah haidh, maka otomatis batal i’tikafnya.
Demikian pula wanita yang baru melahirkan dan merasa sudah selesai nifasnya, kalau ketika dia beri’tikaf lalu tiba-tiba darah nifasnya keluar lagi, dan memang masih dimungkinkan karena masih dalam rentang waktu kurang dari 60 hari, maka dia harus meninggalkan masjid.
G. Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf
Berikut ini adalah hal-hal yang umumnya oleh para ulama dianggap perbuatan yang boleh dilakukan, meski sedang dalam keadaan beri’tikaf. Antara lain :
1. Makan Minum
Makan dan minum secara umum dibolehkan oleh para ulama untuk dilakukan di dalam masjid, maka seorang yang sedang beri’tikaf tentu dibolehkan juga untuk mengisi perutnya dengan makan dan minum.
Bahkan Al-Malikiyah memakruhkan orang untuk beri’tikaf di masjid, bila dia belum memiliki orang atau pembantu yang akan mengantarkan makanan dan minuman kepadanya di dalam masjid. Sebab tanpa adanya orang yang mengantar makanan dan minuman, maka berarti dia harus keluar dari masjid untuk mencari makan. Dan hal itu mengurangi nilai i’tikaf.
Tentang hukum kebolehan makan dan minum di masjid, para ulama sedikit berbeda pandangan. Mereka menetapkan keadaan-keadaan maupun rincian syarat yang berbeda-beda pula.
Namun inti hukum makan dan minum di dalam masjid sangat terkait dengan masalah kebersihan. Bagaimana mereka menilai kebersihan atas masjid dan dampaknya akibat orang memakan makanan di masjid, itulah yang menyebabkan para ulama berbeda pendapat.
Madzhab Al-Hanafiyah memakruhkan makan dan minum di masjid. Namun tidak makruh bila dilakukan oleh musafir yang tidak punya rumah dan orang-orang yang sedang i’tikaf di masjid. Sebab Rasulullah SAW makan dan minum bahkan tidur ketika beri’tikaf di masjid.
Madzhab Al-Malikiyah membolehkan makan dan minum di masjid selama yang dimakan itu bukan makanan yang sekiranya bisa mengotori masjid. Contohnya, kurma boleh dimakan tetapi semangka tidak boleh, karena beresiko mengotori masjid.
Namun khusus untuk musafir yang tidak memiliki tempat tinggal dan orang yang beri’tikaf, larangan itu tidak berlaku.
Madzhab As-Syafi’iyah membolehkan makan roti, semangka dan buah-buahan lainnya di dalam masjid. Dasarnya adalah hadits berikut ini :
كُنَّا نَأْكُلُ عَلىَ عَهْدِ النَّبِيِّ ص فيِ المَسْجِدِ الخُبْزَ وَاللَّحْمَ
Dari Abdillah bin Al-Harits bin Juz’i Az-zubaidi radhiyallahuanhu berkata, ”Dahulu di masa Nabi SAW kami makan roti dan daging di dalam masjid”. (HR. Ibnu Majah)
Hadits ini isnadnya shahih sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh Al-Bushiri dalam Mishbahuz-zujaj.
Namun dalam Madzhab ini disebutkan hendaknya diberi alas sebelum memakan sesuatu di dalam masjid.
Tetapi kalau yang dimakan itu termasuk jenis makanan yang beraroma kurang sedap, Madzhab Asy-syafi’iyah memakruhkannya bila dimakan di dalam masjid, seperti bawang dan sejenisnya. Dasarnya adalah hadits shahih berikut ini.
مَنْ أَكَلَ ثَوْمًا أَوْ بَصَلاً فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدَ فيِ بَيْتِهِ
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Siapa yang makan bawang harus menjauhi kami atau menjauhi masjid kami. Dan hendaklah dia duduk di rumahnya.” (HR. Bukhari Muslim)
Madzhab Al-Hanabilah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Muflih, Ibnu Tamim dan Ibnu Hamdan, mereka memakruhkan memakan makanan di dalam masjid.
Ibnu Qudamah berpendapat bagi orang yang beri’tikaf, tidak mengapa bila harus menyantap makanan di dalam masjid, asalkan sebelumnya diberi alas agar tidak mengotori masjid.
2. Tidur
Masjid juga dibolehkan untuk digunakan untuk tidur. Sehingga seorang yang sedang beri’tikaf di masjid, tentu saja diperbolehkan untuk tidur beristirahat. Tidur tidak membatalkan i’tikaf, sebagaimana tidur juga tidak membatalkan puasa.
Tentang hukum asal tidur di dalam masjid, memang para ulama berbeda pendapat. Namun umumnya mereka membolehkan musafir dan mu’takif untuk tidur dan beristirahat di dalam masjid.
Madzhab Al-Hanafiyah memakruhkan tidur di dalam masjid, namun bagi musafir yang tidak memiliki tempat singgah, tidak dimakruhkan untuk tidur dan beristirahat di dalam masjid.
Demikian juga bagi mereka yang beri’tikaf. Madzhab ini membolehkan tidur di dalam masjid. Karena dalam i’tikafnya, Rasulullah SAW pun tidur di dalam masjid. Dan selama i’tikaf tidak perlu keluar dari masjid untuk urusan tidur.
Madzhab Al-Malikiyah membolehkan bagi mereka yang tidak memiliki rumah atau musafir untuk tidur di masjid, baik tidur di siang hari atau pun di malam hari.
Bahkan bgi mereka yang sedang beri’tikaf, Madzhab ini mewajibkan para mu’takifin tidur di dalam masjid. Bila orang yang beri’tikaf tidak sampai tidur di dalam masjid, maka dalam Madzhab ini dipandang bahwa i’’tikafnya itu tidak sah.
Madzhab Asy-Syafi’iyah tidak mengharamkan tidur di dalam masjid. Dasarnya karena para shahabat banyak yang tidur di dalam masjid, bahkan mereka tinggal dan menetap di dalam masjid.
Di dalam kitab Al-Umm karya besar Al-Imam Asy-syafi’i rahimahullah disebutkan lewat riwayat Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu ketika masih bujangan juga termasuk pemuda penghuni masjid, dimana beliau tidur di dalam masjid.
Amr bin Dinar mengatakan, “Kami menginap di dalam masjid di zaman Ibnu Az-Zubair. Dan bahwa Said bin Al-Musayyib, Hasan Al-Bashri, Atha’ dan Asy-Syafi’i memberikan rukhshah (keringanan) dalam masalah ini”.
3. Berbicara atau Diam
Baik berbicara ataupun diam keduanya dibolehkan di dalam i’tikaf. Beri’tikaf bukan berarti selalu berdiam diri dan membisu. Sebab, i’tikaf bukanlah semedi sebagaimana lazimnya umat lain melakukan ibadah mereka. I’tikaf juga bukanlah bertapa seperti yang dilakukan oleh para biksu di dalam kuil mereka.
Orang yang beri’tikaf dibolehkan berbicara, asalkan bukan berbicara yang diharamkan seperti rafats, fusuq, jidal, juga pembicaraan-pembicaraan yang terlarang diucapkan di masjid, seperti jual beli dan mengumumkan benda hilang.
Tetapi kalau tidak bisa meninggalkan perkataan-perkataan yang kotor, maka diam adalah pilihan yang terbaik. Rasulullah SAW bersabda,
عن أبي هريرة  أن رسول الله  قال مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Dari Abu Hurairah Radliyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “ Barang siapa beriman kepda Allah SWT dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau (kalau tidak bisa) diamlah…” (HR. Bukhari Muslim)
4. Memakai Perhiasan dan Parfum
Dibolehkan bagi mereka yang beri’tikaf untuk mengenakan perhiasan, termasuk parfum. Sebab pada dasarnya memang ada perintah untuk mengenakan perhiasan ketika masuk ke masjid.
يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A’raf : 31)

Demikian pemaparan singkat atas fiqih i'tikaf yang antum tanyakan. Semoga bermanfaat.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Rumah
Fiqih
Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar