“Inilah jalanku: aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” (Yusuf:108).

Jama'ah Penuh Berkah

Tidak ada dakwah tanpa kepemimpinan. Kadar tsiqah antara qiyadah dan jundiyah menjadi penentu bagi sejauh mana kekuatan sistem jamaah, kemantapan langkah-langkahnya, keberhasilan dalam mewujudkan tujuan-tujuannya, dan kemampuannya dalam mengatasi berbagai tantangan dan kesulitan.

Bekerja Untuk Ummat

Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (9:105)

Inilah Jalan Kami

Katakanlah: Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik. (12:108)

Yang Tegar Di Jalan Dakwah

Biduk kebersamaan kita terus berjalan. Dia telah menembus belukar, menaiki tebing, membelah laut. Sayatan luka, rasa sakit, air mata adalah bagian dari tabiat jalan yang sedang kita lalui. Dan kita tak pernah berhenti menyusurinya, mengikuti arus waktu yang juga tak pernah berhenti.

Kesungguhan Membangun Peradaban

Semua kesungguhan akan menjumpai hasilnya. Ini bukan kata mutiara, namun itulah kenyataannya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang diusahakan dengan sepenuh kesungguhan.

Sabtu, 24 November 2012

GENCATAN SENJATA ,ISRAEL AKUI KETIDAKMAMPUANNYA MELAWAN HAMAS

Teheran, - Anggota parlemen Iran kembali berkomentar mengenai gencatan senjata antara pemerintah Israel dan gerakan Hamas. Disebutkan bahwa persetujuan Israel atas semua syarat gencatan senjata di Gaza menunjukkan rezim Zionis tak cukup kuat untuk menghadapi perlawanan rakyat Palestina.

"Karena rezim Zionis tahu bahwa pihaknya tidak punya kemampuan untuk menghadapi perlawanan Palestina, Israel menerima semua syarat sehingga gencatan senjata bisa diumumkan dan dengan melakukan hal ini, Israel menunjukkan telah menyadari kelemahan dan ketidakmampuannya," cetus juru bicara Komite Keamanan Nasional dan Kebijakan Luar Negeri Parlemen Iran, Seyyed Hossein Naqavi Hosseini.

Diimbuhkan anggota senior parlemen Iran itu, tangguhnya perlawanan para pejuang Hamas membuat rezim Israel sadar pihaknya akan mengalami kekalahan yang memalukan, jika terus melancarkan serangan ke Gaza.

"Setelah roket-roket perlawanan Hamas ditembakkan, ketidakamanan terjadi di Israel. Karena itulah mengapa di hari-hari terakhir, kita menyaksikan rezim Zionis memohon untuk gencatan senjata dan meminta semua orang dan organisasi untuk membantu menerapkan gencatan senjata," ujar Naqavi seperti dilansir Press TV, Sabtu (24/11/2012).

Pada 14 November lalu, Israel melancarkan serangan udara dan laut terhadap wilayah Jalur Gaza. Selama 8 hari Israel terus menggempur wilayah Gaza hingga menewaskan lebih dari 160 warga Palestina. Sekitar 1.200 orang lainnya luka-luka.

Di lain pihak, Hamas terus melancarkan serangan-serangan roket dan rudal ke wilayah Israel. Akibatnya, enam warga Israel tewas.

Akhirnya pada Rabu, 21 November malam waktu setempat, perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Hamas diumumkan di Kairo, Mesir. Sesuai kesepakatan gencatan senjata itu, Israel harus "menghentikan semua kekejaman di darat, laut dan udara termasuk serbuan dan menargetkan individu-individu".

Faksi-faksi Palestina juga harus menghentikan "serangan-serangan roket dan semua serangan di sepanjang perbatasan". Dalam perjanjian itu juga disebutkan, Israel akan mengizinkan masuknya barang-barang ke Gaza, yang telah diblokade Israel sejak tahun 2007.

sumber : www.detik.com

Jumat, 16 November 2012

PESAN AL-QASSAM UNTUK MASYARAKAT DUNIA TERKAIT SYAHIDNYA AL- JA'BARI


Gaza, BismillaahirRahmaanirRahiim. Pesan dari Brigade Asy-Syahid Izzuddin Al-Qassam untuk masyarakat dunia:  “Israel Sudah Membuka Pintu-pintu Gerbang Neraka untuk Dirinya.”
Pernyataan itu menyusul serangan terakhir Zionis Rabu sore, 14/11 terhadap rakyat Gaza yang telah menggugurkan 3 orang syuhada dan 25 luka-luka.
Salah satu yang syahid adalah Ahmad Ja’bari Panglima Brigade Al-Qassam yang baru pulang 2 hari dari menunaikan ibadah haji.
Wahai Akhuna Ahmad Ja’bari, demi Allah kami bersaksi, insya Allah engkau termasuk yang Allah sebutkan ini.
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka di antara mereka ada yang gugur dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu. Dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. Al-Ahzab:23)
Kalau penjajah Zionis merasa telah menang dengan membunuh Akhuna Ahmad Ja’bari, maka mereka telah tertipu total.
Allah juga ingatkan kita: “Dan jangan sekali-kali kamu sangka orang-orang yang terbunuh (yang gugur syahid) di jalan Allah itu mati, (mereka tdk mati) bahkan mereka hidup (secara istimewa) di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran:169)
Semoga mereka mendapatkan gelar syuhada dan berada dalam kasih sayang Allah Azza wa Jalla. Dan kita kelak mendapatkan kemuliaan yang sama. Aamiin Ya Mujiibas Saa’iliin.

www. al-ikhwan.net 

Kamis, 15 November 2012

PARTAI IKHWAN TUNTUT MURSI TINJAU ULANG SEMUA HUBUNGAN DENGAN ISRAEL

Presiden Mesir Muhammad Mursi mengecam keras serangan mematikan Israel di Jalur Gaza, yang telah menewaskan sedikitnya 9 warga Palestina termasuk kepala sayap militer Hamas, Ahmad al-Jabari.
Mesir menuntut segera diakhirinya serangan udara Israel di jalur Gaza, sembari menegaskan akan segera memanggil pulang duta besarnya untuk Tel Aviv.
Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP), sayap politik Ikhwanul Muslimin Mesir, juga mengecam serangan udara Israel terhadap Gaza, mengatakan Kairo tidak akan lagi mentolerir serangan tersebut terhadap warga Palestina.
FJP juga mendesak presiden Mesir untuk meninjau semua hubungan dengan Israel, menambahkan bahwa serangan yang dilakukan oleh Israel memerlukan reaksi cepat dunia Arab dan tindakan internasional untuk menghentikan pembantaian itu.
Kementerian Kesehatan Mesir juga menyerukan Mursi untuk membatalkan semua perjanjian dengan Israel.
Menteri dalam Negeri Mesir Muhammad Kamil Amr mengutuk serangan itu, memperingatkan Israel bahwa eskalasi kekerasan justru akan mengancam stabilitas regional.(fq/prtv)

sumber : eramuslim.com

KEUTAMAAN BULAN MUHARAM

Segala puji milik Allah Rabb semesta alam, semoga shalawat dan salam selalu terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kepada para kerabat dan para shahabat beliau seluruhnya, wa ba’du;
Sesungguhnya bulan Allah bulan al Muharram adalah bulan yang agung dan penuh berkah, ia adalah bulan yang pertama dalam setahun dan salah satu dari bulan-bulan suci yang mana Allah berfirman tentangnya:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ [التوبة : 36]

Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menzhalimi diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (QS. at Taubah: 36)
Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

Artinya: “Satu tahun ada 12 bulan darinya ada 4 bulan suci: 3 bulan secara berurutan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan bulan Rajab Mudhar antara bulan Jumada dan bulan Sya’ban”. Hadits riwayat Bukhari, no.2958.
Dan bulan Muharram dinamakan demikian karena keberadaannya sebagai bulan suci dan sebagai penegasan akan kesuciannya. Dan firman Allah Ta’ala:

فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

Artinya: “…Maka janganlah kamu menzhalimi diri kamu…”
Maksudnya adalah jangan berbuat zhalim di bulan-bulan yang suci ini karena berbuat zhalim di dalamnya lebih ditekankan dan lebih ditegaskan akan dosa dari bulan-bulan lainnya.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang tafsir firman Allah Ta’ala:

فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

Artinya: “…Maka janganlah kamu menzhalimi diri kamu…”
“Maksudnya jangan berbuat zhalim di setiap bulan darinya, tetapi dikhususkan darinya 4 bulan maka Allah menjadikannya (4 bulan tadi) suci, mengagungkan kehormatan-kehormatannya dan menjadikan dosa di dalamnya berlipat dan amal shalih pahalanya di dalamnya lebih besar (dibanding dengan bulan-bulan lainnya).
Qatadah rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat;

فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya berbuat zhalim di bulan-bulan suci lebih besar kesalahan dan dosanya daripada berbuat zhalim di selainnya, walaupun suatu kezhaliman apapun bentuknya merupakan dosa besar tetapi Allah Ta’ala mengagungkan suatu perkara sesuai dengan kehendaknya”.
Beliau juga berkata: “Sesungguhnya Allah memilih yang suci dari makhluqnya; seperti Ia memilih para malaikat sebagai utusan dan memilih dari manusia sebagai rasul, memilih dari firman-Nya untuk mengingat-Nya, memilih bumi dijadikan sebagai masjid-masjid, memilih dari bulan-bulan bulan Ramadhan dan bulan-bulan yang suci, memilih dari hari-hari hari Jum’at, memilih dari beberapa malam malam qadar, maka agungkanlah apa yang diagungkan oleh Allah Ta’ala. Sungguh dimuliakannya beberapa perkara karena pengagungan Allah terhadapnya, dan hal ini bagi orang-orang yang diberi kepahaman dan akal”. (diringkas dari tafsir Ibnu katsir, tafsir surat at Taubah ayat 36).
Keutamaan memperbanyak puasa sunnah pada waktu bulan Muharram
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ. (رواه مسلم:1982)

Artinya: “Puasa yang paling utama setelah puasa bulan Ramadhan adalah puasa bulan Allah yaitu bulan Muharram.” (Hadits riwayat Muslim, no. 1982)
Sabda beliau: ” شَهْرُ اللَّهِ” digandengkan bulan ini kepada Allah Ta’ala sebagai penggandengan pengagungan, Al Qari rahimahullah berkata: “Bahwa maksudnya adalah seluruh hari pada bulan Muharram.”
Tetapi telah shahih riwayat bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berpuasa satu bulan penuh selain bulan Ramadhan, maka hadits ini dianggap sebagai pemotivasi untuk memperbanyak puasa pada bulan Muharram bukan untuk berpuasa satu bulan penuh.
Dan telah benar riwayat bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban, hal ini mungkin belum diwahyukan kepada beliau tentang keutamaan bulan Muharram kecuali pada akhir hayat beliau sebelum bisa mengerjakan puasa tersebut… (lihat kitab Al Minhaj; Penjelasan an Nawawi terhadap kitab Shahih Muslim)
Allah memilih sesuatu dengan kehendak-Nya baik dari zaman atau tempat
Al ‘Izz Bin Abdus Salam rahimahullah berkata: “Dan pengutamaan antara tempat dan zaman, ada dua macam, yang pertama: berdasarkan dunia… dan yang kedua: pengutamaan berdasarkan agama, hal ini kembali kepada bahwa Allah Ta’ala memberikan kemurahan di dalamnya kepada hamba-Nya dengan mengutamakan pahala orang-orang yang mengerjakannya, seperti pengutamaan pahala puasa Ramadhan atas puasa seluruh bulan, dan demikian pula hari ‘Asyura-’… maka kemuliaan di dalamnya kembali kepada kemurahan dan kebaikan Allah ta’ala kepada para hamba-Nya… (lihat kitab Qawa’idul Ahkam 1/37)

‘Asyura-’ ditilik dari sejarah

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ. (رواه البخاري:1865)

Artinya: “Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah sampai di kota Madinah, beliaupun melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura-’, maka beliau bertanya: “Ada apa dengan hari ini?”, mereka menjawab: “Ini adalah hari yang baik, hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka maka Nabi Musapun berpuasa pada hari itu”, Nabipun bersabda: “Kalau begitu aku lebih berhak (mengikuti) Musa daripada kalian, beliaupun berpuasa dan memerintahkan ( kaum muslimin ) untuk berpuasa”. (Hadits riwayat Imam Bukhari, no.1865)
Maksud sabda beliau: هَذَا يَوْمٌ صَالِح, didalam riwayat Imam Muslim terdapat penjelasan:

هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. (رواه مسلم)

Artinya: “Ini adalah hari yang agung, Allah Ta’ala telah menyelamatkan pada hari ini Nabi Musa ‘alaihissalam dan kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya, maka Nabi Musapun ‘alaihissalam berpuasa karenanya sebagai tanda syukur maka kamipun berpuasa pada hari ini.”
Dan di riwayatkan oleh Imam Ahmad dengan tambahan lafadz:

وَهَذَا يَوْمُ اسْتَوَتْ فِيهِ السَّفِينَةُ عَلَى الْجُودِيِّ فَصَامَهُ نُوحٌ وَمُوسَى شُكْرًا.

Artinya: “Ini adalah hari dimana berlabuhnya kapal (Nabi Nuh ‘alaihissalam)diatas bukit Judi (Bukit Judi terletak di Armenia sebelah selatan, berbatasan dengan Mesopotamia-pent), lalu Nabi Nuh ‘alaihissalam dan Musa  berpuasa karenanya sebagai tanda syukur.”
Hadits : “وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ” (dan beliaupun shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa karenanya), di dalam riwayat al Bukhari rahimahullah juga terdapat lafadz:

فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصُومُوا. (رواه البخاري)

Artinya: “Maka Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada para shahabatnya: “Kalian lebih berhak untuk mengikuti Nabi Musa ‘alaihissalam daripada mereka”. (Hadits riwayat Bukhari)
Dan berpuasa pada hari ‘Asyura-’ telah dikenal dari mulai zaman jahiliyah sebelum zaman kenabian (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam), telah benar riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Sesungguhnya orang-orang jahiliyah senantiasa berpuasa pada hari itu…”,
Al Qurthuby rahimahullah berkata: “Kemungkinan orang-orang Quraisy menyandarkan dalam puasanya kepada ajaran orang-orang terdahulu seperti Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Dan telah shahih juga riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa karenanya di kota Makkah sebelum hijrah ke Madinah, ketika beliau hijrah ke kota Madinah beliau mendapatkan orang-orang Yahudi memperingatinya lalu beliau bertanya kepada mereka tentang sebab dan merekapun menjawabnya sebagaimana yang sudah disebutkan di dalam hadits diatas. Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menyelisihi mereka di dalam peringatan mereka sebagai hari raya sebagaimana telah diriwayatkan dalam hadits Abu Musa ‘alaihissalam, beliau bersabda:

كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَعُدُّهُ الْيَهُودُ عِيدًا فَصُومُوهُ أَنْتُمْ. رواه البخاري

Artinya: “Hari ‘Asyura-’ dulunya dianggap oleh orang yahudi sebagai hari raya maka hendaklah kalian berpuasa pada hari itu”.
Di dalam riwayat Imam Muslim rahimahullah:

كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا. رواه مسلم

Artinya: “Hari ‘Asyura-’ adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan mereka menjadikannya hari raya”.
Di dalam riwayat yang lain milik beliau juga:

كَانَ أَهْلُ خَيْبَرَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ يَتَّخِذُونَهُ عِيدًا وَيُلْبِسُونَ نِسَاءَهُمْ فِيهِ حُلِيَّهُمْ وَشَارَتَهُمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصُومُوهُ أَنْتُمْ. رواه مسلم

Artinya: “Penduduk Khaibar (dan mereka pada waktu itu orang-orang Yahudi-pent) berpuasa pada hari ‘asyura-’ dan selalu menjadikannya sebagai hari raya, mereka menghiasi wanita-wanita mereka dengan emas dan perhiasan mereka, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Maka berpuasalah kalian pada hari itu”. (Hadits riwayat Muslim)
Dan yang terlihat dari perintah untuk berpuasa adalah keinginan untuk menyelisihi orang-orang Yahudi sehingga berpuasa ketika mereka berbuka, karena hari raya tidak boleh berpuasa (di dalamnya-pent). (diringkas dari perkataan Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari)

Keutamaan Berpuasa Hari ‘Asyura-’

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ . (رواه البخاري )

Artinya: “Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Tidak pernah Aku melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam begitu bersemangat puasa pada suatu hari, ia utamakan dari yang lainnya kecuali hari ini yaitu hari ‘Asyura-’ dan bulan ini yakni bulan Ramadhan”. (Hadits riwayat Bukhari, no. 1867)
Dan Makna “yataharra” adalah bertekad untuk berpuasa pada hari itu agar mendapatkan ganjarannya dan bersemangat untuk mengerjakannya.
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ. (رواه مسلم :1976)

Artinya: “Berpuasa pada hari ‘Asyura-’ aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dosa) tahun yang sebelumnya”. (Hadits riwayat Muslim, no.1976)
Ini adalah dari kemuliaan Allah bagi kita dengan Ia berikan kepada kita berpuasa satu hari sebagai penghapusan dosa-dosa selama satu tahun penuh, dan Allah Ta’ala Maha mempunyai kemuliaan yang sangat agung.

Hari apakah hari ‘Asyura-’?
An Nawawi rahimahullah berkata: “Kata ‘Asyura-’ dan Tasu’a-’ adalah dua nama yang dipanjangkan, inilah yang masyhur di kitab-kitab bahasa. Para shahabat kami berkata: ” ‘Asyura-’ adalah hari ke sepuluh dari bulan al Muharram dan Tasu’a-’ adalah hari kesembilan darinya… begitulah pendapat jumhur ulama … dan begitulah maksud yang terlihat jelas dari beberapa hadits dan ketentuan dari muthlak lafadznya, dan dialah yang dikenal oleh para ahli bahasa. (lihat kitab Majmu’ karya an Nawawi)
Ia adalah istilah yang ada dalam Islam tidak dikenal zaman jahiliyah. (lihat kitab Kasysyaful Qina’ juz:2, puasa muharram ).
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: ” ‘Asyura-’ adalah hari kesepuluh dari bulan Al Muharram, dan ini adalah pendapat Sa’id Bin Musayyib dan Hasan rahimahumallah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَوْمِ عَاشُورَاءَ يَوْمُ الْعَاشِرِ. (رواه الترمذي)

Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa hari ‘Asyura-’ hari kesepuluh dari bulan Muharram”. Hadits riwayat Tirmidzi, beliau berkata: “Hadits ini hasan shahih”.
Dianjurkan puasa Tasu’a-’ dan ‘Asyura-’

عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قال: حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (رواه مسلم:1916 )

Artinya: “Abdullah Bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan, beliau berkata: “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura-’ dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa pada hari itu, mereka berkata: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan orang-orang Yahudi dan Nashrani, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila datang tahun depan, jika Allah menghendaki maka kita akan berpuasa pada hari kesembilan”, beliau (Abdullah Bin Abbas) radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Dan tidaklah datang tahun depan hingga datangnya wafat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. (Hadits riwayat Muslim, no. 1916)
Imam Syafi’ie rahimahullah , para shahabatnya, Imam Ahmad dan Ishaq rahimahumallah serta yang lainnya berkata: “Dianjurkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh keduanya, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari kesepuluh dan telah berniat berpuasa pada hari kesembilan.
Dengan penjelasan diatas maka berpuasa pada hari ‘Asyura-’ ada beberapa tingkatan: “Yang paling rendah adalah berpuasa 1 hari (kesepuluh saja), diatasnya berpuasa pada hari kesembilan bersamanya dan tiap kali memperbanyak berpuasa pada bulan Muharram maka itu yang lebih utama dan lebih baik.

Hikmat dari penganjuran berpuasa pada hari Tasu’a-’
An Nawawi rahimahullah berkata: “Para ulama dari sahabat kami dan yang lainnya menyebutkan hikmah di dalam penganjuran puasa hari Tasu’a-’, ada beberapa macam:
  • Yang pertama: bahwa maksud darinya adalah menyelisihi orang-orang Yahudi ketika mereka hanya mencukupkan hanya hari kesepuluh.
  • Yang kedua: bahwa maksud darinya adalah menyambung hari ‘Asyura-’ dengan berpuasa (pada hari sebelumnya), sebagaimana dilarang untuk berpuasa pada hari jum’at secara sendirian, kedua pendapat ini disebutkan oleh al Khaththabi dan yang lainnya.
  • Yang ketiga: benar-benar menjaga untuk berpuasa pada hari kesepuluh, karena ditakutkan awal bulan terlalu kecil atau terjadi kesalahan (dalam penglihatan awal bulan-pent), maka hari kesembilan di dalam jumlah sebenarnya hari kesepuluh ketika itu.
  • Dan jawaban yang paling kuat adalah menyelisihi ahli kitab, Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang untuk menyerupakan diri dengan ahli Kitab di dalam hadits-hadits yang banyak, seperti sabda beliau:

لَئِنْ عِشْتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ

Artinya: “Sungguh jika aku masih hidup pada tahun depan maka sungguh aku akan benar-benar berpuasa pada hari kesembilan.” (Lihat kitab al-Fatawa al-Kubra juz 6, saddudz dzra-I’ al Mufdiyah)

Hukum berpuasa hari ‘Asyura-’ saja:
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Berpuasa pada hari ‘Asyura-’ sebagai penghapus dosa selama 1 tahun dan tidak dimakruhkan untuk mengkhususkannya dengan berpuasa… (al Fatawa al Kubra juz 5). Dan di dalam kitab Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar al Haitamy rahimahullah disebutkan: dan hari ‘Asyura-’ tidak mengapa berpuasa pada hari itu saja… (lihat juz3, bab puasa sunnah).

Boleh berpuasa pada hari ‘Asyura-’ walaupun hari itu hari Sabtu atau Jum’at
Telah ada riwayat tentang larangan berpuasa pada hari Jum’at secara tersendiri dan larangan tentang berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa wajib, tetapi hilang kemakruhannya jika ia berpuasa pada dua hari ini dengan menggambungkan satu hari ke setiap dari keduanya atau bertepatan dengan kebiasaan yang disyari’atkan seperti berpuasa 1 hari dan berbuka 1 hari atau berpuasa sebagai nadzar atau puasa qadha-’ atau puasa yang dianjurkan oleh agama seperti puasa hari Arafah dan hari ‘Asyura-’… (lihat kitab Tuhfatul Muhtaj, juz 3 bab puasa sunnah dan kitab Musykilul Aatsar, juz 2, bab puasa hari Sabtu).
Al Bauhuti rahimahullah berkata: “Dan dimakruhkan bersengaja berpuasa pada hari Sabtu disebabkan oleh hadits Abdullah Bin Busyr dari saudara perempuannya:

لَا تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا فِيمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ.

Artinya: “Dan janganlah kalian berpuasa hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan bagi kalian”. Hadits riwayat Ahmad dengan sanad yang baik dan Imam hakim, beliau berkata: “Hadits ini berdasarkan syarat shahih Bukhari. Dan dikarenakan ia adalah hari yang dimuliakan oleh orang-orang Yahudi, karena pengkhususan berpuasa pada hari itu saja ada persamaan dengan mereka… ( kecuali apabila bertepatan ) hari Jum’at atau hari Sabtu ( biasanya) seperti bertepatan dengan hari Arafah atau hari ‘Asyura-’ dan merupakan kebiasaannya berpuasa pada kedua hari itu maka tidak dimakruhkan, karena suatu adat mempunyai pengaruh di dalam hal tersebut”. (Lihat kitab Kasysyaful Qina’ juz2, bab Puasa sunnah)

Apakah yang harus dikerjakan apabila hilal (awal bulan) belum jelas??
Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Dan Jika awal bulan masih samar maka ia berpuasa tiga hari, dan sesungguhnya ia kerjakan demikian agar ia yakin pada hari kesembilan dan kesepuluhnya ( kitab al Mughni karya Ibnu qudamah juz 3, shiyam – shiyam bulan ‘Asyura-’)
Barang siapa yang belum mengetahui masuk awal bulan Muharram dan ia ingin berhati-hati untuk hari kesepuluh maka hendaklah ia menggenapkan bulan Dzulhijjah 30 hari sebagaimana kaidah yang dikenal kemudian ia bepuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh. Dan barang siapa yang menginginkan berhati-hati pada hari kesembilannnya juga maka ia berpuasa pada hari kedelapan dan kesembilan dan kesepuluh ( kalau seandainya Dzulhijjah sebenarnya kurang (dari 30) maka ia telah mendapatkan hari kesembilan dan kesepuluh dengan yakin). Dan mengingat bahwa berpuasa pada hari ‘Asyura-’ dianjurkan dan tidak diwajibkan maka manusia tidak diperintahkan untuk benar-benar memperhatikan awal bulan sebagaimana mereka diperintahkan untuk benar-benar awal bulan Ramadhan dan Bulan Syawwal.

Puasa hari ‘Asyura-’, menghapuskan apa??
An Nawawi rahimahullah berkata: “Menghapuskan dosa-dosa kecil, dan taqdirnya adalah menghapuskan dosa-dosa sipelakunya seluruhnya kecuali dosa-dosa besar”. beliau rahimahullah berkata juga: “Puasa hari Arafah sebagai penghapus dosa dua tahun dan puasa ‘Asyura-’ sebagai penghapus dosa satu tahun dan apabila pengucapan “amin” nya bertepatan dengan para malaikat maka akan diampunkan baginya dosa-dosanya yang telah… tiap dari perkara yang disebutkan ini bisa digunakan untuk penghapus dosa, apabila ia mendapatkan sesuatu yang bisa ia hapuskan dari dosa-dosa kecil maka ia menghapusnya dan apabila tidak mendapatkan dosa-dosa kecil atau besar maka dituliskan dengan sebabnya berupa kebaikan-kebaikan, dan diangkat untuknya beberapa derajat dengan sebab itu. Dan apabila ia mendapatkan satu dosa besar atau beberapa dosa besar dan tidak mendapatkan dosa-dosa kecil maka kita harapkan ia bisa meringankan dosa besar”. (lihat kitab al Majmu’ Syarah Muhadzdzab, juz 6, puasa hari Arafah)
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan penghapusan dosa (dari pahala) bersuci, shalat, berpuasa bulan Ramadhan, puasa hari Arafah dan hari ‘Asyua-’ hanya untuk dosa-dosa kecil saja. (lihat kitab al Fatawa al Kubra, juz 5 ).

Jangan terpesona dengan pahala puasa!
Beberapa orang terpesona dengan menyandarkan pahala puasa hari ‘Asyura-’ atau hari Arafah, sampai-sampai sebagian dari mereka berkata: “Puasa hari ‘Asyura-’ menghapuskan seluruh dosa-dosa dalam satu tahun itu, dan tersisa puasa hari Arafah bonus di dalam pahala.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Orang yang terperdaya ini tidak menyadari bahwa puasa bulan Ramadhan dan shalat wajib lima waktu lebih agung dan lebih tinggi dari berpuasa pada hari Arafah dan hari ‘Asyura-’ dan ia (shalat lima waktu dan puasa bulan Ramadhan) menghapuskan dosa-dosa diantara keduanya apabila ia menghindari dosa-dosa besar. Puasa Ramadhan ke puasa Ramadhan, shalat Jum’at ke shalat Jum’at tidak berfungsi untuk menghilangkan dosa-dosa kecil kecuali dengan menggabungkan kepadanya penjauhan akan dosa-dosa besar dan akhirnya gabungan dari dua perkara ini berkekuatan untuk menghapuskan dosa-dosa kecil. Dan dari orang-orang yang terlena ada yang mengira bahwa keta’atannya lebih banyak dari perbuatan-perbuatan maksiatnya, karena ia tidak menghisab dirinya akan kesalahan-kesalahannya dan tidak mencri-cari akan dosa-dosanya, sedangkan apabila ia telah mengerjakan satu keta’atan maka ia akan menghapalnya dan menghitungnya seperti orang yang beristighfar dengan lisannya atau bertasbih di dalam satu hari 100 kali, kemudian ia menggunjing kaum muslimin dan merobek-robek kehormatannya dan ia berbicara dengan sesuatu yang tidak Allah  ridhai di sepanjang harinya, maka orang ini selalu melihat keutamaan bertasbih, bertahlil dan tidak menoleh kepada apa yang diriwayatkan dari ancaman bagi orang-orang penggunjing, pendusta dan pengadu domba serta selain daripada itu yang berupa penyakit-penyakit lisan, dan hal demikian itu adalah benar-benar penipuan. (lihat kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah, juz 31, ghurur)

Berpuasa hari ‘Asyura-’ dalam keadaan masih punya tanggungan dari puasa Ramadhan
Para Ahli Fiqh berbeda pendapat di dalam hukum mengerjakan puasa sunnah sebelum mengqadha-’ puasa Ramadhan, Madzhab Hanafy berpendapat diperbolehkan berpuasa sunnah sebelum mengqadha-’ puasa Ramadhan tanpa ada kemakruhan dikarenakan menggantinya tidak wajib dengan segera dan madzhab Maliky dan Syafi’i berpendapat diperbolehkan berpuasa dengan kemakruhan dikarenakan akan menta’khirkan suatu yang wajib. Ad Dasuqy berkata: “Dimakruhkan berpuasa sunnat atas siapa yang mempunyai tanggungan puasa wajib seperti orang yang bernadzar, puasa qadha, puasa sebagai (kaffarah) penebus sesuatu, baik puasa sunnah yang ia dahulukan dari puasa wajib itu tidak ditekankan atau ditekankan, seperti puasa ‘Asyura-’, puasa tanggal 9 dari bulan Dzulhijjah menurut pendapat yang lebih utama. Dan Madzhab Hanbali berpendapat akan keharaman puasa sunnah sebelum mengqadha-’ puasa Ramadhan dan tidak sahnya berpuasa sunnah waktu itu walaupun masih panjang waktu untuk mengqadha-’. Dan diharuskan untuk memulai dengan mengerjakan yang wajib sampai ia selesai mengqadha-’nya (lihat kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah juz 28:puasa sunnah)
Maka dari itu hendaklah seorang muslim bersegera mengqadha-’ setelah bulan Ramadhan agar memungkinkannya untuk mengerjakan puasa Arafah Dan ‘Asyura-’ tanpa ada kesulitan, dan apabila ia berpuasa hari Arafah dan hari ‘Asyura-’ dengan niat dari malam hari mengqadha-’ maka hal yang demikian itu telah mencukupi di dalam pengqadha-’an puasa yang wajib.

Bid’ah-bid’ah pada hari ‘Asyura-’
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang perbuatan yang dikerjakan manusia pada hari ‘Asyura-’ seperti bercelak, mandi, memakai pacar, saling bersalaman, memasak biji-bijian dan memperlihatkan kesenangan serta yang lainnya… Apakah yang demikian itu ada dasarnya atau tidak?
Dijawab: “Segala puji milik Allah Rabb semesta alam, tidak ada di dalam hal ini satu riwayat hadits shahihpun dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak juga dari para shahabatnya, tidak dianjurkan pula oleh satupun dari para Imam yang empat akan hal tersebut, tidak pula dari selain mereka dan para pengarang kitab-kitab mu’tabar (terpandang) juga tidak meriwayatkan sesuatupun dalam hal ini dan tidak dari riwayat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan dari para shahabat, juga dari tabi’in, tidak ada dari hadits yang shahih, tidak juga dari hadits yang lemah. Tetapi sebagian orang-orang generasi terakhir telah meriwayatkan dalam perkara ini beberapa hadits, seperti apa yang mereka riwayatkan bahwa; “Barangsiapa yang bercelak pada hari ‘Asyura-’ maka ia tidak akan pedih matanya pada tahun itu”, dan “Barang siapa yang mandi pada hari ‘Asyura-’ maka ia tidak akan sakit pada tahun itu” dan yang semisal dengan itu… dan bahkan mereka telah meriwayatkan sebuah hadits palsu mendustakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam: “Bahwasanya barang siapa yang bermurah atas keluarganya pada hari ‘Asyura-’ maka Allah Akan melapangkan rizqinya sepanjang tahun”. Dan seluruh riwayat-riwayat ini tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bohong.
Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan secara ringkas apa yang telah terjadi pada awal mula umat ini berupa kekacauan-kekacauan, kejadian-kejadian dan terbunuhnya Husain radhiyallahu ‘anhuma serta apa yang dikerjakan oleh beberapa kelompok disebabkan hal itu, beliau juga berkata: “Lalu timbullah kelompok yang bodoh dan zhalim, baik itu kelompoknya orang mulhid munafik atau kelompok sesat yang berlebihan yang memperlihatkan kecintaan kepadanya dan kepada Ahlu Bait, kelompok tersebut menjadikan hari ‘Asyura-’ sebagai hari berkabung, kesedihan dan ratapan. Dan kelompok itu memperlihatkan di dalam hari itu syi’ar-syi’ar orang-orang jahiliyah berupa pemukulan wajah, pengrobekan kantong-kantong baju, dan bertakziyah bak layaknya orang jahiliyah… dan mensenandungkan kashidah-kashidah kesedihan, menceritakan riwayat-riwayat yang di dalamnya terdapat penuh dengan kebohongan. Dan tidak ada kejujuran di dalam peringatan ini kecuali saling berganti tangis, fanatisme, penyebaran kebencian dan perperangan, menyebarkan fitnah diantara umat Islam, menjadikan hal yang demikian itu untuk mencaci para sahabat yang lebih dahulu masuk Islam…kesesatan dan bahaya mereka terhadap umat Islam tidak bisa dihitung oleh orang yang fasih di dalam berbicara, sedangkan yang menentang mereka ada beberapa kelompok, baik itu dari orang-orang Nawashib yang sangat benci terhadap Husein dan Ahlu Bait radhiyallahu ‘anhum atau dari orang-orang bodoh yang melawan kerusakan dengan kerusakan, kebohongan dengan kebohongan, kejelekan dengan kejelekan, bid’ah dengan bid’ah maka mereka membuat kabar-kabar palsu di dalam syi’ar-syi’ar kebahagian dan kesenangan pada hari ‘Asyura-’ seperti bercelak dan memakai pacar, dan banyak memberikan nafkah kepada keluarga, memasak makanan-makanan tidak seperti biasanya dan seperti yang lainnya dari pekerjaan yang dikerjakan pada hari-hari raya dan musim-musim bersejarah. Maka mereka (kelompok kedua-pent) menjadikan hari ‘Asyura-’ sebagai musim hari raya dan kesenangan sedangkan mereka (kelompok pertama) menjadikan hari ‘Asyura-’ sebagai hari kesusahan, mereka mendirikan di dalamnya kesedihan dan kesenangan dan keduanya telah melakukan kesalahan keluar daripada sunnah… (al Fatawa al Kubra milik Ibnu Taimiyah rahimahullah ).
Ibnu Hajj rahimahullah menyebutkan termasuk dari perbuatan-perbuatan bid’ah hari ‘Asyura-’ adalah sengaja mengeluarkan zakat di dalamnya baik itu diakhirkan atau di majukan (dari waktu asalnya) dan mengkhususannya dengan menyembelih ayam dan juga para wanita memakai pacar. (al Madkhal juz 1, hari ‘Asyura-’).
Kita memohon kepada Allah agar termasuk dari orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah nabinya yang mulia, dan semoga kita di hidupkan di atas agama Islam, diwafatkan di atas keimanan, semoga Allah memberikan kita taufik untuk mengerjakan apa yang Dia cintai dan ridhai. Dan kita memohon kepada Allah agar menolong kita untuk bisa mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya, mengerjakan ibadah kepada-Nya dengan baik, menerima (amal ibadah) dari kita dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertakwa dan merahmati kepada nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan kepada para keluarga serta seluruh shahabat beliau.

و الله أعلم
و صلى الله على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين  و الحمد لله رب العالمين

Oleh: Syaikh Muhammad Shalih Munajjid -hafizhahullah-
Alih bahasa: Ustadz Abu Abdillah Ahmad Zain, Lc

 

BULAM MUHARAM : KEUTAMAAN, LEGENDA, MITOS DAN BID'AH DI DALAMNYA

Alhamdulillah, kita memasuki bulan Muharram 1433 H, yang berarti mengawali tahun baru 1433 H dan meninggalkan tahun 1432 H. Kita bersyukur kepada Allah Ta’ala atas kesempatan hidup yang masih diberikan kepada kita. Semoga kita dapat melaksanakan risalah ibadah secara ikhlas dan benar. Dan semoga kita serta seluruh umat Islam di tahun ini lebih baik dari tahun yang lalu dan tahun yang akan datang akan lebih baik lagi dari tahun ini.
Keutamaan Bulan Muharram
Bulan Muharram adalah salah satu dari empat bulan haram atau bulan yang dimuliakan Allah. Empat bulan tersebut adalah, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
“Sesungguhnya jumlah bulan di Kitabullah (Al Quran) itu ada dua belas bulan sejak Allah menciptakan langit dan bumi, empat di antaranya adalah bulan-bulan haram” (QS. At Taubah: 36)
Kata Muharram artinya ‘dilarang’. Sebelum datangnya ajaran Islam, bulan Muharram sudah dikenal sebagai bulan suci dan dimuliakan oleh masyarakat Jahiliyah. Pada bulan ini dilarang untuk melakukan hal-hal seperti peperangan dan bentuk persengketaan lainnya. Kemudian ketika Islam datang kemuliaan bulan haram ditetapkan dan dipertahankan sementara tradisi jahiliyah yang lain dihapuskan termasuk kesepakatan tidak berperang.
Bulan Muharram memiliki banyak keutamaan, sehingga bulan ini disebut bulan Allah (syahrullah). Beribadah pada bulan haram pahalanya dilipatgandakan dan bermaksiat di bulan ini dosanya dilipatgandakan pula. Pada bulan ini tepatnya pada tanggal 10 Muharram Allah menyelamatkan nabi Musa as dan Bani Israil dari kejaran Firaun. Mereka memuliakannya dengan berpuasa. Kemudian Rasulullah saw. menetapkan puasa pada tanggal 10 Muharram sebagai kesyukuran atas pertolongan Allah. Masyarakat Jahiliyah sebelumnya juga berpuasa. Puasa 10 Muharram tadinya hukumnya wajib, kemudian berubah menjadi sunnah setelah turun kewajiban puasa Ramadhan. Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا يَعْنِي عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ وَهُوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ فَقَالَ أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Dari Ibnu Abbas RA, bahwa nabi saw. ketika datang ke Madinah, mendapatkan orang Yahudi berpuasa satu hari, yaitu ‘Asyuraa (10 Muharram). Mereka berkata, “ Ini adalah hari yang agung yaitu hari Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan keluarga Firaun. Maka Nabi Musa as berpuasa sebagai bukti syukur kepada Allah. Rasul saw. berkata, “Saya lebih berhak mengikuti  Musa as. dari mereka.”  Maka beliau berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa” (HR Bukhari).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
Dari Abu Hurairah RA. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baiknya puasa setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah Muharram. Dan sebaik-baiknya ibadah setelah ibadah wajib adalah shalat malam.” (HR Muslim)
Walaupun ada kesamaan dalam ibadah, khususnya berpuasa, tetapi Rasulullah saw. memerintahkan pada umatnya agar berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Yahudi, apalagi oleh orang-orang musyrik. Oleh karena itu beberapa hadits menyarankan agar puasa hari ‘Asyura diikuti oleh puasa satu hari sebelum atau sesudah puasa hari ‘Asyura.
Secara umum, puasa Muharram dapat dilakukan dengan beberapa pilihan. Pertama, berpuasa tiga hari, sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya, yaitu puasa tanggal 9, 10 dan 11 Muharram. Kedua, berpuasa pada hari itu dan satu hari sesudah atau sebelumnya, yaitu puasa tanggal: 9 dan 10, atau 10 dan 11. Ketiga,  puasa pada tanggal 10 saja, hal ini karena ketika Rasulullah memerintahkan untuk puasa pada hari ‘Asyura para sahabat berkata: “Itu adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani, beliau bersabda: “Jika datang tahun depan insya Allah kita akan berpuasa hari kesembilan, akan tetapi beliau meninggal pada tahun tersebut.” (HR. Muslim).
Landasan puasa tanggal 11 Muharram didasarkan pada keumuman dalil keutamaan berpuasa pada bulan Muharram. Di samping itu sebagai bentuk kehati-hatian jika terjadi kesalahan dalam penghitungan awal Muharram.
Selain berpuasa, umat Islam disarankan untuk banyak bersedekah dan menyediakan lebih banyak makanan untuk keluarganya pada 10 Muharram. Tradisi ini memang tidak disebutkan dalam hadits, namun ulama seperti Baihaqi dan Ibnu Hibban menyatakan bahwa hal itu baik untuk dilakukan.
Demikian juga sebagian umat Islam menjadikan bulan Muharram sebagai bulan anak yatim. Menyantuni dan memelihara anak yatim adalah sesuatu yang sangat mulia dan dapat dilakukan kapan saja. Dan tidak ada landasan yang kuat mengaitkan menyayangi dan  menyantuni anak yatim hanya pada bulan Muharram.
Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam sistem kalender Islam. Oleh karena itu  salah satu momentum yang sangat penting bagi umat Islam yaitu menjadikan  pergantian tahun baru Islam sebagai sarana umat Islam untuk muhasabah terhadap langkah-langkah yang telah dilakukan dan rencana ke depan yang lebih baik lagi. Momentum perubahan dan perbaikan menuju kebangkitan Islam sesuai dengan jiwa hijrah Rasulullah saw. dan sahabatnya dari Mekah dan Madinah.
Legenda Dan Mitos Muharram
Di samping keutamaan bulan Muharram yang sumbernya sangat jelas, baik disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi banyak juga  legenda dan mitos yang terjadi di kalangan umat Islam menyangkut hari ‘Asyura.
Beberapa hal yang masih menjadi keyakinan di kalangan umat Islam adalah legenda bahwa pada hari ‘Asyura Nabi Adam diciptakan, Nabi Nuh as di selamatkan dari banjir besar, Nabi Ibrahim dilahirkan dan Allah Swt menerima taubatnya. Pada hari ‘Asyura Kiamat akan terjadi dan siapa  yang mandi pada hari ‘Asyura diyakini tidak akan mudah terkena penyakit. Semua legenda itu sama sekali tidak ada dasarnya dalam Islam. Begitu juga dengan keyakinan bahwa disunnahkan bagi mereka untuk menyiapkan makanan khusus untuk hari ‘Asyura.
Sejumlah umat Islam mengaitkan kesucian hari ‘Asyura dengan kematian cucu Nabi Muhammad Saw, Husain saat berperang melawan tentara Suriah. Kematian Husain memang salah satu peristiwa tragis dalam sejarah Islam. Namun kesucian hari ‘Asyura tidak bisa dikaitkan dengan peristiwa ini dengan alasan yang sederhana bahwa kesucian hari ‘Asyura sudah ditegakkan sejak zaman Nabi Muhammad Saw jauh sebelum kelahiran Sayidina Husain. Sebaliknya, adalah kemuliaan bagi Husain yang kematiannya dalam pertempuran itu bersamaan dengan hari ‘Asyura.
Bid’ah Di Bulan Muharram
Selain legenda dan mitos yang dikait-kaitkan dengan Muharram, masih sangat banyak bid’ah yang jauh dari ajaran Islam. Lebih tepat lagi bahwa bid’ah tersebut merupakan  warisan ajaran Hindu dan Budha yang sudah menjadi tradisi  masyarakat Jawa yang mengaku dirinya sebagai penganut aliran kepercayaan. Mereka lebih dikenal dengan sebutan Kejawen.
Dari segi sistem penanggalan, memang penanggalan dengan sistem peredaran bulan bukan hanya dipakai oleh umat Islam, tetapi masyarakat Jawa juga menggunakan penanggalan dengan sistem itu. Dan awal bulannya dinamakan  Suro. Pada hari Jum’at malam Sabtu, 1 Muharram 1428 H bertepatan dengan 1 Suro 1940. Sebenarnya penamaan bulan Suro, diambil dari ’Asyura yang berarti 10 Muharram. Kemudian sebutan ini menjadi nama bulan pertama bagi penanggalan Jawa.
Beberapa tradisi dan keyakinan yang dilakukan sebagian masyarakat Jawa sudah sangat jelas bid’ah dan  syiriknya, seperti Suro diyakini sebagai bulan yang keramat, gawat dan penuh bala. Maka diadakanlah upacara ruwatan dengan mengirim sesajen atau tumbal ke laut. Sebagian yang lain dengan cara bersemedi mensucikan diri bertapa di tempat-tempat sakral (di puncak gunung, tepi laut, makam, gua, pohon tua, dan sebagainya) dan ada juga yang melakukan dengan cara lek-lekan ‘berjaga hingga pagi hari’ di tempat-tempat umum (tugu Yogya, Pantai Parangkusumo, dan sebagainya). Sebagian masyarakat Jawa lainnya juga melakukan cara sendiri yaitu mengelilingi benteng keraton sambil membisu.
Tradisi tidak mengadakan pernikahan, khitanan dan membangun rumah. Masyarakat  berkeyakinan apabila melangsungkan acara itu maka akan membawa sial dan malapetaka bagi diri mereka.
Melakukan ritual ibadah tertentu di malam Suro, seperti  selamatan atau syukuran, Shalat Asyuro, membaca Doa Asyuro (dengan keyakinan tidak akan mati pada tahun tersebut) dan ibadah-ibadah lainnya. Semua ibadah tersebut merupakan bid’ah (hal baru dalam agama) dan tidak pernah ada contohnya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam maupun para sahabatnya. Hadist-hadits yang menerangkan tentang Shalat Asyuro adalah palsu sebagaimana disebutkan oleh imam Suyuthi dalam kitab al-La’ali al-Masnu’ah.
Tradisi Ngalap Berkah dilakukan dengan mengunjungi daerah keramat atau melakukan ritual-ritual, seperti mandi di grojogan (dengan harapan dapat membuat awet muda), melakukan kirab kerbau bule (kiyai slamet) di keraton Kasunan Solo, thowaf di tempat-tempat keramat, memandikan benda-benda pusaka, begadang semalam suntuk dan lain-lainnya. Ini semuanya merupakan kesalahan, sebab suatu hal boleh dipercaya mempunyai berkah dan manfaat jika dilandasi oleh dalil syar’i (Al Qur’an dan hadits) atau ada bukti bukti ilmiah yang menunjukkannya. Semoga Allah Ta’ala menghindarkan kita dari kesyirikan dan kebid’ahan yang membinasakan.
Menyikapi berbagai macam tradisi, ritual, dan amalan yang jauh dari ajaran Islam, bahkan cenderung mengarah pada bid’ah, takhayul dan syirik, maka marilah kita bertobat kepada Allah dan melaksanakan amalan-amalan sunnah di bulan Muharram seperti puasa. Rasulullah saw.  menjelaskan bahwa puasa pada hari ‘Asyura  menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah berlalu.
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَن صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
Dari Abu Qatadah RA. Rasulullah ditanya tentang puasa hari ‘asyura, beliau bersabda: “Saya berharap ia bisa menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang telah lewat.”  (HR. Muslim).
Demikian bayan dari Pusat Konsultasi Syariah Indonesia tentang keutamaan bulan Muharram, sebagai panduan umat Islam untuk mengisi bulan Muharram. Wallahu ’alam bishawwab.
(SCC/Iman Santoso/hdn)

Rabu, 14 November 2012

HIJRAH MOMENTUM PERUBAHAN

Hijrah merupakan peristiwa penting dalam perjalanan dakwah Rasulullah saw. Saking pentingnya, peristiwa hijrah dijadikan sebagai penanggalan baru dalam kalender Islam. Penanggalan tahun hijriah dibuat berdasarkan peristiwa hijrah Rasulullah saw. dari kota Mekah menuju kota Madinah. Menurut H. A. Fuad Said dalam buku Tahun Baru Hijriah & ASAL USUL KALENDER bahwa orang yang pertama kali memprakarsai penetapan tahun hijriah sebagai kalender umat Islam adalah Umar bin Khaththab. Tentunya penetapan penanggalan ini berdasarkan berbagai pertimbangan para sahabat. Oleh karena dalam peristiwa hijrah terdapat hal-hal yang dianggap urgen.

Sayangnya, moment tahun baru ini belum mendapat respon sepenuhnya dari umat Islam. Boleh jadi masyarakat Islam sudah lupa atau belum tahu tentang penanggalan Islam dan mungkin juga nilai keislaman sudah luntur dari hati. Dan berbagai kemungkinan dan alasannya lainnya.

Fenomena ini bertolak belakang dengan perayaan tahun baru Masehi. Sebagian umat Islam yang latah ikut-ikutan merayakan penanggalan yang jelas bukan dari Islam. Hal ini terdapat terlihat dari aktivitas masyarakat yang sangat antusias menunggu detik-detik jam 00:00. Ada yang meniup terompet dan menghabiskan waktunya di malam hari tanpa kegiatan yang bermanfaat.

Kata hijrah berasal dari istilah hajara, yang berarti berpindah dari satu tempat atau keadaan ke tempat atau keadaan yang lain. Namun, masih banyak lagi pengertian hijrah yang dikemukakan para ulama. Walaupun mereka berbeda dalam mendefenisikannya, tapi substansinya sama. Peristiwa hijrah diawali dengan perjanjian suku Aus dan Khazraj dengan Rasulullah saw. di Mekah. Mereka memberikan jaminan untuk menjaga Rasulullah saw. sebagaimana mereka menjaga diri mereka dan keluarga mereka sendiri.

Dalam perjalanan hijrahnya Rasulullah saw. hingga membangun kota Madinah terdapat nilai-nilai yang dapat diaktulisasikan dalam kehidupan modern ini. Sepertinya kemunduran umat Islam sekarang ini karena tidak mengaktualisasikan nilai-nilai hijrah. Umat Islam banyak terlena dan bernostalgia dengan peradaban yang diperoleh. Salah fatal jika hanya melihat hasil akhir dari perjuangan, yakni kejayaan. Akan tetapi seharusnya umat Islam harus belajar dan membaca proses bagaimana umat Islam dapat jaya.

Setidaknya ada tiga hal penting dilakukan oleh Rasulullah saw. ketika berada di Madinah.

1. Membangun mesjid

Ketika Rasulullah saw. tiba di Madinah, yang pertama kali dibangunnya adalah mesjid. Mesjid ketika itu memberikan kontribusi yang besar bagi peradaban umat Islam. Mesjid benar-benar dijadikan sebagai sarana untuk menjalin hubungan kepada Allah dan juga hubungan sesama manusia. Di mesjid, Rasulullah saw. mempersatukan berbagai unsur kekabilahan dan membersihkan sisa-sisa pengaruh perselisihan pada masa jahiliyah.

Mesjid ketika itu benar-benar difungsikan dengan sebaik-baiknya. Di masjidlah Rasulullah mendidik mental-spritual para sahabat. Dengan tujuan agar terbentuk kepribadian yang kokoh dalam keislaman mereka. Walaupun ketika itu jumlah umat Islam masih sedikit, tetapi jiwa mereka kokoh dalam keislaman mereka.

2. Membangun persaudaraan

Ketika kaum Muhajirin tiba di Madinah, kaum Anshar menerima dengan baik kedatangan saudara seagama mereka, yakni kaum muhajirin. Kaum Anshar menyambut kaum Muhajirin seperti menyambut saudaranya sendiri yang telah lama tidak bertemu. Bahkan mereka juga berani untuk berkorban untuk kaum Muhajirin. Mereka lebih mengutamakan kepentingan kaum Muhajirin dibandingkan diri mereka sendiri. Dengan demikian perjuangan kaum Anshar sangat luar biasa terhadap kaum Muhajirin dan perkembangan Islam seterusnya. Mulai saat itu nama kota Yatsrib berubah namanya Madinatun Nabi (kota Nabi). Selanjutnya Yatsrib dikenal dengan nama kota Madinah.

Keihklasan kaum Anshar menolong kaum Muhajirin diabadikan dalam Alquran. Artinya, "Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyar; 9)

Ketika Rasulullah saw. dan kaum Muhajirin tiba di Madinah, Rasulullah saw. mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshar. Seperti Abu Bakar dipersaudarakan dengan Haritsah bin Zaid dan Umar bin Khaththab dipersaudarakan dengan ‘Itbah bin Malik. Begitulah juga dengan sahabat yang lainnya.

3. Membuat perjanjian perdamaian

Dimensi ketiga yang dibangun Rasulullah saw. setelah hijrah adalah membangun hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, di samping orang-orang Arab Islam juga masih terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Untuk mewujudkan stabilitas masyarakat di kota Madinah, Rasulullah saw. mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka.

Perjanjian tersebut diwujudkan melalui sebuah piagam yang disebut dengan Piagam Madinah. Piagam Madinah terdapat 47 pasal. 23 pasal berkenaan dengan umat Islam. 24 pasal berkenaan dengan umat Islam dengan masyarakat Yahudi ketika itu. Isi perjanjian itu meliputi beberapa aspek. Di antaranya mengenai kebebasan beragama, hak dan kewajiban masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban negerinya, kehidupan sosial dan persamaan derajat. Dalam piagam Madinah ditegaskan bahwa Rasulullah sebagai kepala pemerintahan di kota Madinah.

Dari segi persaudaraan, kondisi persaudaraan di tengah-tengah umat ini berada titik rawan. Padahal umat Islam adalah umat bersaudara berdasarkan ketauhidan mengesakan Allah swt. Persaudaraan itu digambarkan bagaikan satu jiwa. Dengan kata lain, jika seorang mukmin disakiti berarti juga menyakiti muslim yang lain.

Dari segi perjanjian perdamain terdapat nilai toleransi beragama yang diajarkan Rasulullah saw. Miris sekali jika ada sebagian muslim yang salah dalam memahami makna toleransi beragama. Ada hal-hal yang kita dianjurkan untuk toleransi antar umat beragama. Seperti dalam sosial kemasyarakatan atau muamalah. Hal ini tidak terlarang. Bahkan Rasulullah saw. sendiri menganjurkannya. Bahkan di antara isi dari Piagam Madinah antara lain bahwa kaum muslimin dan orang Yahudi wajib nasehat-menasehati, tolong menolong dan melaksanakan kebajikan dan keutamaan.

Hijrah merupakan peristiwa yang mengubah kehidupan masyarakat Jahiliah menjadi masyarakat Islam. Inilah sebetulnya nilai-nilai dari peristiwa hijrah Rasulullah saw. Jika tidak, momentum tahun baru hijriah tidak akan memberi pengaruh apapun.

Oleh : Agus Salim

MARI KITA DIDIK ANAK ANAK KITA DENGAN KELEMBUTAN HATI DAN CINTA

Saudaraku..
Pagi itu, suasana begitu sejuk. Semilir angin sepoi-sepoi menyapa wajah. Ali bin Abi Thalib ra, khalifah kaum muslimin ke empat memanggil anaknya; Hasan ra lalu dengan penuh kasih sayang ia menasihati anaknya:
“Wahai anakku, intisari agama ini adalah berinteraksi dengan orang-orang yang bertakwa.
Kesempurnaan ikhlas dib
uktikan dengan menjauhi semua perkara yang diharamkan-Nya. Sebaik-baiknya ucapan, adalah ucapan yang diiringi dengan perilaku (keteladanan).
Terimalah orang yang mengajukan uzur (alasan) kepadamu.
Maafkan orang yang meminta maaf kepadamu.
Taatilah saudaramu (dalam ketaatan), meskipun ia sering bermaksiat kepadamu.
Dan hubungkan tali silaturahim dengannya, walaupun ia sering memutuskan tali persaudaraan denganmu.”
(Mawa’izh as shahabah, Shalih Ahmad al Syami).
Saudaraku…
Nasihat Ali bin Thalib ra kepada Hasan puteranya, menjadi pelajaran berharga bagi kita para orang tua dalam mendidik anak-anak kita.
• Anak-anak adalah tali cinta. Kebahagiaan sebuah keluarga akan semakin membuncah dengan kehadiran sang buah hati. Tak jarang sebuah keluarga dilanda kebosanan, kapal cinta menjadi oleng lantaran pujaan hati yang didamba tak kunjung hadir meramaikan dan menyerikan biduk keluarga. Sebagai tanda syukur atas karunia besar ini, kita berkewajiban merawat amanah Allah swt ini dan mendidiknya dengan nilai pendidikan yang Dia kehendaki.
• Nilai nasihat akan masuk ke dalam hati, jika ia memantul dari hati. Disampaikan dengan hati-hati. Memancar dari kelembutan hati dan cinta. Sebaliknya, nilai pengajaran akan membuat anak menjadi kurang ajar, jika disampaikan dengan kata-kata yang tak sabar. Memantul dari wajah yang kasar. Sebaik dan sebenar apapun nasihat itu.
• Kisah ini memberikan keteladanan bagi kita, demikianlah seharusnya hubungan orang tua dengan anaknya. Ada kedekatan di sana. Ada keakraban. Ada hubungan emosional. Ada sapaan kasih. Ada teguran cinta. Walau sesibuk dan sepadat apapun aktifitas rutin keseharian kita.
• Orang yang memahami dien dengan baik, tampak dari kedekatan dan interaksinya dengan orang lain. Orang yang menjadikan orang-orang dekatnya dan teman pergaulannya adalah orang shalih dan bertakwa, maka ia termasuk golongan mereka. Begitupun sebaliknya, sulit kita mempercayai kwalitas agama seseorang, jika teman pergaulannya adalah orang-orang yang memiliki masalah mental dan buruk perangainya.
• Membentengi diri kita, keluarga dan generasi kita dari hal-hal yang diharamkan, merupakan bukti keikhlasan kita dalam mentaati rambu-rambu-Nya. Bagi orang tua, mendidik anak-anak untuk senantiasa menjaga nilai sebuah keikhlasan dalam beramal merupakan suatu kelaziman.
• Keteladanan merupakan syarat kedekatan dan kecintaan masyarakat kepada kita. Terlebih jika kita menjadi publik figur, ustadz, orang yang berkedudukan, orang tua apatah lagi sebagai pemimpin dalam masyarakat. Pandai merangkai kata-kata dan indah dalam bertutur kata, tanpa diimbangi dengan keteladanan, maka kita akan gagal meraih hati dan simpati mereka.
• Kebesaran hati tampak dari ‘salamatus shadr’; lapang dada. Dengan dada yang lapang, maka kita mudah menerima uzur, memaafkan kekhilafan, keteledoran dan kesalahan orang lain. Orang yang melihat dunia-nya sempit, pengap dan gelap, berarti ia tidak memiliki kelapangan dada. Sejatinya, kitalah yang dapat menciptakan dunia dalam hidup kita. Kita ingin dunia kita menjadi luas atau sempit.
• Ukhuwah (persaudaraan iman) yang tulus suci, melahirkan kesetiaan yang abadi. Keringnya ukhuwah orang lain terhadap kita yang ditandai dengan kurangnya komunikasi dan sedikitnya kadar kunjungan. Atau terkadang kata-kata yang terucap dari bibirnya sering melukai perasaan kita. Sikapnya yang membuat ketenangan kita terusik. Dan yang senada dengan itu. Jika sudah demikian, kembalikan akar persoalan pada diri kita. Barangkali, kita kurang arif dan aktif dalam menyirami ladang ukhuwah kita dengan air iman, jarang kita taburi pupuk perhatian dan cinta. Dan seterusnya.
Saudaraku..
Sudahkah kita mendidik anak-anak kita dengan kelembutan hati dan cinta? Dan sudahkah kita tanamkan nilai-nilai luhur terhadap anak-anak kita, yang pernah ditanamkan Ali bin Abi Thalib ra terhadap anaknya Hasan?. Mari kita teladani kehidupan salafus shalih. Karena di sana ada keberuntungan dan kesuksesan. Wallahu a’lam bishawab.
Riyadh, 11 November 2012 M
Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far
(http://www.facebook.com/profile.php?id=100000992948094)

Minggu, 04 November 2012

MUSLIMAH DAN EKONOMI KELUARGA

Kembali kita akan bicarakan tentang peran muslimah dalam ekonomi keluarga. Beberapa postingan sebelumnya telah saya bahas secara berseri seputar hal tersebut. Bahwasanya seorang muslimah saat menjadi ibu rumahtangga, haruslah memainkan peran yg sangat penting dan signifikan untuk kemajuan ekonomi keluarganya. Kali ini pembahasan tersebut kami hadirkan melalui slide powerpoint, agar lebih luas kemanfaatannya dan lebih mudah untuk dipahami.

Pembahasan inti yang pertama adalah : Muslimah harus mampu menjadi motivator, dalam arti menyemangati suami agar mampu bekerja atau berusaha dengan baik dan profesional. Bukan justru sebaliknya, memberatkan langkah suami saat akan pergi keluar rumah mencari nafkah.

Yang kedua mampu menjadi Auditor yang baik bagi keuangan keluarganya. Auditor disini berarti mampu memastikan bahwa apa yang diperoleh suaminya adalah penghasilan yang halal dan barokah. Senantiasa mengingatkan suami untuk mawas diri terhadap godaan-godaan penghasilan haram yang mungkin berlalu lalang dalam kesehariannya. Ini menjadi sangat penting, karena kasus yang ada biasanya justru sang istri lah yang senantiasa menuntut banyak dari suami, sehingga suami akhirnya mencari jalan pintas, mendekati sumber-sumber yang haram.

Ketiga, muslimah harus mampu menjadi Manager, menerima apa yang diberikan suami dengan penuh rasa syukur dan qonaah, untuk kemudian mengelolanya dengan baik agar tercipta kondisi keuangan keluarga yang sehat nan dinamis. Dan terakhir, jika kondisinya memang menuntut sebuah keluarga membutuhkan pemasukan yang signifikan, maka bisa jadi sang muslimah ikut menjadi stakeholder dalam ekonomi rumah tangganya, berupa turut bekerja membantu sang suami. Tentang permasalahan muslimah bekerja di luar rumah, tentu ada adab dan syarat yang harus dijunjung tinggi. Kita semua tidak menginginkan selesai satu permasalahan, lalu memunculkan permasalahan lain-lain yang lebih besar lagi.

Untuk lebih lengkapnya, terkhusus bagi sahabat yang sering berbagi inspirasi melalui kajian, ceramah dan seminar, semoga presentasi powerpoint ini bisa menjadi salah satu bahan rujukan.

Oleh: ust. Hatta Syamsudin
sumber :www.optimisindonesia.com

 DOWNLOAD POWERPOINT :
http://www.4shared.com/file/N8jCHTAZ/Peran_Muslimah_dalam_Ekonomi_K.html

4 PENYEBAB SU'UL KHATIMAH

Saudaraku..
Setiap manusia yang merentasi perjalanan hidup di dunia ini, pastilah suatu saat akan sampai pada batas akhir kehidupannya. Ajal pasti datang menghampirinya. Kematian ibarat tamu yang tidak pernah diundang. Ia datang tanpa mengenal waktu, keadaan, kedudukan, profesi dan usia seseorang. Terkadang ia datang di waktu malam, pagi, siang dan sore hari.
Bisa jadi ia datang menghampiri seseorang ketika popularitasnya sedang berada di puncak. Atau sebaliknya ajal menyapa saat ia terpuruk dan terjatuh. Ia juga dapat menyapa kita di kala sehat, sakit, bahagia dan merana.
Ajal merupakan persoalan ghaib bagi manusia. Terkadang seseorang yang begitu disanjung dan dipuja-puja serta digadang-gadang oleh manusia, ternyata akhir kehidupannya sangatlah tragis dan menyayat hati. Dan tidak sedikit orang secara kasat mata hidupnya sarat dengan kesederhanaan dan diselimuti kekurangan, tapi penghujung hidupnya sangatlah indah dan manis.
Akhir sebuah kehidupan merupakan penentu masa depan kita di akherat kelak. Husnul khatimah (akhir kehidupan yang baik) adalah harapan dan cita-cita semua orang. Tetapi ia hanya merupakan khayalan dan impian belaka bila kita tidak pernah mengukir amal-amal keta’atan dalam hidup. Tidak membekali diri dengan iman dan mengenakan baju ketakwaan. Atau sandaran pada Sang Maha Pencipta teramat ringkih. Lemah dalam kepribadian dan tidak memiliki citra yang baik di tengah-tengah masyarakatnya.
Bila kita telusuri perjalanan hidup generasi pendahulu kita (salafus shalih), kita temukan bahwa hati mereka senantiasa dihiasai kemurnian tauhid, keta’atan yang sempurna terhadap Rasulnya, dan ukiran amal-amal shalih yang amat mengagumkan dan mempesona serta taburan amal dan bakti. Tetapi yang demikian itu tidak menjadikan mereka bangga diri, apatah lagi takabur dengan apa yang telah mereka perbuat. Bahkan hati mereka selalu dihantui perasaan takut yang tak terperi dan kekhawatiran yang mencekam, jika mereka tidak mampu menghadap Allah dalam keadaan husnul khatimah.
Sufyan Atsaury rahimahullah (ulama terkemuka dari kalangan tabi’in), di kala mengenang pedihnya siksa neraka, menyebabkan ia pernah terkencing darah dan nanah. Ia seorang yang zuhud terhadap dunia. Ketika ia berada di ambang kematian, ia meneteskan air mata menangis tersedu-sedu. Terbata-bata suaranya, dari lisannya terucap, “Aku khawatir di saat yang sangat menentukan masa depanku di akherat seperti ini, Allah mencabut keimanan dari hatiku.”
Begutu pula Malik Bin Dinar rahimahullah ketika melaksanakan shalat malam, ia tak sanggup membendung air matanya hingga membasahi jenggotnya yang lebat seraya berucap, “Duhai Rabb-ku, Engkau telah tetapkan para penghuni surga dan neraka, maka di manakah tempat tinggalku di akherat kelak?.”
Saudaraku…
Syekh Jalaludin As Suyuti rahimahullah dalam kitabnya “Syarhus shudur” pernah menyebutkan, ada 4 hal yang dapat menyebabkan seseorang meraih su’ul khatimah:
• Meremehkan pelaksanaan shalat.
• Menenggak minuman keras.
• Durhaka kepada kedua orang tua.
• Mengganggu kaum muslimin.
Saudaraku..
Shalat yang ditunaikan dengan baik mempunyai bekas positif yang memancar pada perilaku seseorang. Kwalitas shalat kita ukurannya adalah perbuatan dosa dan maksiat menyingkir dari kehidupan kita. Allah swt berfirman, “Sesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.” Al Ankabut: 45.
Dunia yang menjadi panggung sandiwara, pentas seni dan gedung theater sering membuat kita lupa dan mengabaikan tugas-tugas kita sebagai hamba-Nya. Nyanyian, begadang, sinetron, Indonesian Idol, film laga, suguhan lawak, acara-acara menarik di televisi lainnya, Nobar, gaple, catur dan yang senada dengan itu, sering melupakan kita dari zikir dan mengabaikan pelaksanaan shalat. Padahal kematian akan datang menyapa sesuai dengan kebiasaan yang kita lakukan.
Imam Dzahabi rahimahullah berkisah dalam kitabnya “al kabair”, ada seorang pemuda yang biasa menghabiskan waktu-waktu luangnya dengan catur. Ketika sakit keras ia ditalqin untuk mengucapkan laa ilaha illallah. Tapi yang keluar dari lisannya justru ucapan “Scak”. Ucapan itu bukan mematikan lawan main caturnya tetapi mematikan dirinya sendiri.
Ibnul Qayyim rahimahullah menceritakan, ada seorang pemuda yang suka nyanyian dan lagu-lagu yang diharamkan. Sehingga ia mendendangkannya atau mendengarkannya di sebagian besar waktunya. Saat ajal di ambang pintu, ia dibimbing mengucapkan kalimat tauhid, tapi yang diucapkannya justru nyanyian yang selama ini digandrunginya ‘nana nanana’.
Khamer disebut nabi saw sebagai “Ummul khabaits” induk atau biang keladi dari setiap keburukan atau kejahatan.
Khamer menjadi simbol semua minuman, tablet, obat membahayakan dan cairan yang memabukkan. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju, khamer tampil dalam kemasan yang lebih menarik, merek yang memikat dan namanya pun semakin enak didengar. Seperti; ekstasi, ineks, shabu-shabu, putaw, ganja, heroin, morfin. Di masa kecil dulu, kita baru mengenal minuman keras semisal; anggur kuat cap orang tua, bir bintang, anggur kuat cap kunci, tuak dan yang senada dengan itu.
Apapun nama, merek dan kemasannya, semua yang dapat memabukkan dan menghilangkan kesadaran disebut khamer. Dan ia akan melahirkan berbagai macam kerusakan, dan mara bahaya. Baik bagi si pengguna maupun orang lain. Ia akan merusak tubuh manusia dan menghancurkan masa depannya di akherat.
Kecelakaan Xenia maut, pesawat jatuh, bus menabrak villa, tabrakan kereta api dan lain-lain, hanya merupakan contoh kecil dari bahaya mengkonsumsi khamer dan narkoba.
Ibnu Rajab rahimahullah pernah menukil dari syekh Abdul Azis bin Abu Ruwad bahwa ia pernah mentalqin seseorang pada saat sakaratul maut. Apa yang terjadi? Yang berhembus dari lidahnya justru sebuah ucapan, “Aku ingkar terhadap apa yang engkau ucapkan.” Walhasil, diketahui bahwa orang itu biasa mengkonsumsi khamer. Lantas syekh Abu Ruwad berkata, “Hindarilah dosa-dosa besar, sebab ia akan menghancurkan pelakunya.”
Sebab lain, kita terpuruk dalam su’ul khatimah adalah durhaka pada kedua orang tua.
Jika kita tadabburi ayat-ayat yang berbicara mengenai berbakti pada orang tua, maka kita dapati bahwa ukuran berbakti itu adalah “indal kibar” pada saat orang tua kita memasuki masa lansia; lanjut usia. Di saat keduanya sudah tak berdaya, pikun, lemah dan seterusnya yang memang sangat membutuhkan perawatan, perhatian, belaian kasih dan pertolongan dari kita selaku anaknya. Perkataan ‘ah’ atau ‘cih’ merupakan potret sebuah kedurhakaan. Apatah lagi anak yang membentak orang tuanya, memarahinya, menatapnya dengan kasar dan lebih dari itu.
Durhaka pada orang tua memiliki korelasi yang kuat dengan proses su’ul khatimah. Kisah sahabat Al Qamah yang masyhur, yang lebih mementingkan istri daripada ibunya sehingga memicu kemarahan sang ibu hanya merupakan contoh kecil dalam masalah ini.
Suatu ketika ada seorang lelaki yang menggendong ibunya thawaf mengelilingi Ka’bah. Dan sebelumnya ia telah menggendong ibunya itu dari Yaman. Jarak yang cukup jauh dengan Mekkah. Ia menghampiri sahabat Abdullah bin Umar seraya bertanya, “Wahai Ibnu Umar, apakah dengan jerih payahku ini aku telah membalas kebaikan atau jasa-jasanya?.” Ia menjawab, “Setengahnya juga belum. Tapi jerih payahmu yang sedikit ini akan mendapat pahala yang berlimpah ruah.”
Bagaimana dengan kita? Terkadang berjalan bergandengan tangan dengan ibu kita yang telah berusia lanjut, kita malu dilihat orang lain. Karena kita merasa bahwa kesuksesan dan kejayaan kita sama sekali tanpa ada peran dan andil darinya. Padahal ia bangun di tengah malam, hanya untuk mendo’akan kita, yang jauh di mata tapi selalu dekat di hatinya. Apakah kita akan sesukses seperti hari ini tanpa do’a tulus dari orang tua kita?.
Mengganggu kaum muslimin dan muslimat dengan hati, ucapan, perbuatan, tingkah laku dan gerak gerik kita akan berpengaruh pula pada su’ul khatimah.
Membiarkan hati digenangi hasut, dendam, berburuk sangka dan yang senada dengan itu merupakan warna gangguan kita terhadap mereka.
Melukai perasaan mereka dengan ucapan, dusta, persaksian palsu, curang dalam jual beli, fitnah, ghibah, amarah tak terbendung dan lain sebagainya merupakan corak dari gangguan kita terhadap mereka yang dapat mengusik kedamaian hati mereka.
Berlaku aniaya, tak adil dalam mengambil keputusan, merendahkan mereka, mengganggu istirahat mereka dan lain sebagainya merupakan bentuk gangguan kita berupa perbuatan dan perilaku. “Tidak akan masuk surga orang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” HR. Muslim.
Merasa teraniaya, terzalimi, tersakiti dan terluka hatinya bisa mendorong seseorang mendo’akan celaka bagi pelakunya. Do’a yang buruk menjelma dalam laknat dan kutukan serta meraih su’ul khatimah. Na’udzbillah mindzalik.
Untuk itu Nabi saw mewanti-wanti kita agar jangan sampai menzalimi orang lain. Karena do’a orang yang terzalimi didengar Allah swt.
Ya Rabb, anugerahkanlah kepada kami husnul khatimah; akhir kehidupan yang baik dan indah. Amien.
Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far
(http://www.facebook.com/profile.php?id=100000992948094)