“Inilah jalanku: aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” (Yusuf:108).

Jama'ah Penuh Berkah

Tidak ada dakwah tanpa kepemimpinan. Kadar tsiqah antara qiyadah dan jundiyah menjadi penentu bagi sejauh mana kekuatan sistem jamaah, kemantapan langkah-langkahnya, keberhasilan dalam mewujudkan tujuan-tujuannya, dan kemampuannya dalam mengatasi berbagai tantangan dan kesulitan.

Bekerja Untuk Ummat

Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (9:105)

Inilah Jalan Kami

Katakanlah: Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik. (12:108)

Yang Tegar Di Jalan Dakwah

Biduk kebersamaan kita terus berjalan. Dia telah menembus belukar, menaiki tebing, membelah laut. Sayatan luka, rasa sakit, air mata adalah bagian dari tabiat jalan yang sedang kita lalui. Dan kita tak pernah berhenti menyusurinya, mengikuti arus waktu yang juga tak pernah berhenti.

Kesungguhan Membangun Peradaban

Semua kesungguhan akan menjumpai hasilnya. Ini bukan kata mutiara, namun itulah kenyataannya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang diusahakan dengan sepenuh kesungguhan.

Rabu, 24 Oktober 2012

8 KEUTAMAAN HARI ARAFAH

Hari Arafah (9 Dzulhijjah) adalah hari yang amat mulia bagi umat Islam. Hari tersebut adalah hari mustajabnya do’a. Hari tersebut juga adalah hari diampuninya dosa dan pembebasan diri dari siksa neraka.

Di antara keutamaan hari Arafah disebutkan oleh Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah yang kami sarikan berikut ini:

Pertama: Hari Arafah adalah hari disempurnakannya agama dan nikmat.

Dalam shahihain (Bukhari-Muslim), ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa ada seorang Yahudi berkata kepada ‘Umar,

آيَةٌ فِى كِتَابِكُمْ تَقْرَءُونَهَا لَوْ عَلَيْنَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ نَزَلَتْ لاَتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ عِيدًا . قَالَ أَىُّ آيَةٍ قَالَ ( الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا ) . قَالَ عُمَرُ قَدْ عَرَفْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ وَالْمَكَانَ الَّذِى نَزَلَتْ فِيهِ عَلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - وَهُوَ قَائِمٌ بِعَرَفَةَ يَوْمَ جُمُعَةٍ

Ada ayat dalam kitab kalian yang kalian membacanya dan seandainya ayat tersebut turun di tengah-tengah orang Yahudi, tentu kami akan menjadikannya sebagai hari perayaan (hari ‘ied).” “Ayat apakah itu?” tanya ‘Umar. Ia berkata, “(Ayat yang artinya): Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” ‘Umar berkata, “Kami telah mengetahui hal itu yaitu hari dan tempat di mana ayat tersebut diturunkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berdiri di ‘Arofah pada hari Jum’at.” (HR. Bukhari no. 45 dan Muslim no. 3017). At Tirmidzi mengeluarkan dari Ibnu ‘Abbas semisal itu. Di dalamnya disebutkan bahwa ayat tersebut turun pada hari ‘Ied yaitu hari Jum’at dan hari ‘Arofah.

Kedua: Hari Arafah adalah hari ‘ied (perayaan) kaum muslimin.

Sebagaimana kata ‘Umar bin Al Khottob dan Ibnu ‘Abbas. Karena Ibnu ‘Abbas berkata, “Surat Al Maidah ayat 3 tadi turun pada dua hari ‘ied: hari Jum’at dan hari Arafah.” ‘Umar juga berkata, “Keduanya (hari Jum’at dan hari Arafah) -alhamdulillah- hari raya bagi kami.” Akan tetapi hari Arafah adalah hari ‘ied bagi orang yang sedang wukuf di Arafah saja. Sedangkan bagi yang tidak wukuf dianjurkan untuk berpuasa menurut jumhur (mayoritas) ulama.

Ketiga: Hari Arafah adalah asy syaf’u (penggenap) yang Allah bersumpah dengannya sedangkan hari Idul Adha (hari Nahr) disebut al watr (ganjil). Inilah yang disebutkan dalam ayat,

وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ

“dan (demi) yang genap dan yang ganjil” (QS. Al Fajr: 3). Demikian kata Ibnu Rajab Al Hambali. Namun Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masiir menukil pendapat sebaliknya. Yang dimaksud al watr adalah hari Arafah, sedangkan asy syaf’u adalah hari Nahr (Idul Adha). Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah dan Adh Dhohak.

Keempat: Hari Arafah adalah hari yang paling utama. Demikian pendapat sebagian ulama. Ada pula yang berpendapat bahwa hari yang paling utama adalah hari Nahr (Idul Adha).

Kelima: Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata, “Hari ‘Arafah lebih utama dari 10.000 hari.”’Atho’ berkata, “Barangsiapa berpuasa pada hari ‘Arofah, maka ia mendapatkan pahala seperti berpuasa 2000 hari.”

Keenam: Hari Arafah menurut sekelompok ulama salaf disebut hari haji akbar. Yang berpendapat seperti ini adalah ‘Umar dan ulama lainnya. Sedangkan ulama lain menyelisihi hal itu, mereka mengatakan bahwa hari haji akbar adalah hari Nahr (Idul Adha).

Ketujuh: Puasa pada hari Arafah akan mengampuni dosa dua tahun. Dari Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ

“Puasa Arafah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim no. 1162).

Kedelapan: Hari Arafah adalah hari pengampunan dosa dan pembebasan dari siksa neraka. Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ

“Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari Arofah. Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?” (HR. Muslim no. 1348).

Allah pun begitu bangga dengan orang yang wukuf di Arafah. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِى مَلاَئِكَتَهُ عَشِيَّةَ عَرَفَةَ بِأَهْلِ عَرَفَةَ فَيَقُولُ انْظُرُوا إِلَى عِبَادِى أَتَوْنِى شُعْثاً غُبْراً

“Sesungguhnya Allah berbangga kepada para malaikat-Nya pada sore Arafah dengan orang-orang di Arafah, dan berkata: “Lihatlah keadaan hambaku, mereka mendatangiku dalam keadaan kusut dan berdebu” (HR. Ahmad 2: 224. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanadnya tidaklah mengapa).
Wallahu waliyyut taufiq.

*http://rumaysho.com/belajar-islam/amalan/4113-keutamaan-hari-arafah.html

KADO 'IED DARI NABI

DALAM setahun ada 5 hari yang diharamkan puasa; ‘Idul Fitri (1 Syawal), ‘Idul Adha (10 Dzulhijjah) dan 3 hari Tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah). Pengharaman itu sebagaimana yang disabdakan Nabi dalam dua hadits berikut ini: عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: «أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ، يَوْمِ الْفِطْرِ، وَيَوْمِ النَّحْرِ» Dari Abu Said al Khudry r.a berkata: “Rasulullah SAW. melarang puasa dua hari; Idul Fitri dan Idul Adha.” (Muttafaq Alaih) عَنِ عائشة وابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُما، قَالاَ: «لَمْ يُرَخَّصْ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ، إِلَّا لِمَنْ لَمْ يَجِدِ الهَدْيَ» Dari Aisyah dan Ibnu Umar r.a keduanya berkata: “Tidak diizinkan pada hari-hari Tasyriq untuk berpuasa kecuali bagi yang tidak mempunyai hadyu.” (HR. Bukhari) Inilah syariat yang penuh hikmah itu. Jika diharamkan puasa, artinya kita diminta untuk makan dan minum. Sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah, أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وذكر “Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari makan, minum dan dzikir.” (HR. Muslim) Dalam riwayat Ad Daruquthni dari Abdullah bin Hudzafah As Sahmi ada tambahan dalam riwayat tersebut, أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَبِعَالٍ “Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari makan, minum dan bercampur suami istri.” Sahabat Ali bin Abi Thalib r.a sampai harus mengumumkan hali ini di hadapan kumpulan muslimin di Mina, sebagaimana yang riwayat yang dinukil oleh Asy Syaukani dalam Nailul Author, وَعَنْ ابْنِ مَسْعُودِ بْنِ الْحَكَمِ عَنْ أُمِّهِ «أَنَّهَا رَأَتْ وَهِيَ بِمِنًى فِي زَمَنِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – رَكْبًا يَصِيحُ يَقُولُ: يَا أَيّهَا النَّاسُ إنَّهَا أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَنِسَاءٍ وَبِعَالٍ وَذِكْرِ اللَّهِ، قَالَتْ: فَقُلْتُ: مَنْ هَذَا؟ فَقَالُوا: عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ» Dari Ibnu Mas’ud bin al Hakam dari ibunya, bahwasanya saat ia sedang di Mina di zaman Rasulullah SAW., melihat sekumpulan orang yang berkata dengan suara keras: Wahai manusia, sesungguhnya ini adalah hari-hari makan, minum, wanita, bercampur suami istri dan dzikir. Dia (ibunya Ibnu Mas’ud bin Al Hakam) bertanya: Siapa itu? Para sahabat menjawab: Ali bin Abi Thalib. Sahabat Nabi mencontohkan bahwa kesenangan itu tak hanya dinikmati sendiri oleh keluarga. Tapi mereka berbagai bahagia itu dengan para tetangganya. Seperti semangat yang dimiliki oleh Abu Burdah di pagi Idul Adha. Abu Burdah berkata, “Aku tahu hari ini adalah hari makan, minum. Maka aku makan dan memberi makanan untuk keluargaku dan para tetanggaku.” (HR. Bukhari) Begitulah, dua hari raya dan tiga hari Tasyriq merupakan hari bersenang bagi muslimin, keluarga dan masyarakat mereka. Hari yang diperintahkan langsung oleh Nabi untuk makan, minum, bercampur suami istri dan berdzikir. Sehingga diperintahkan oleh syariat agar para kepala rumah tangga melapangkan keadaan dengan berbagai hal yang menyenangkan bagi seluruh anggota keluarganya di hari-hari tersebut. Seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, “Disyariatkannya melapangkan (kesenangan) untuk keluarga pada hari-hari raya dengan berbagai hal yang membuat kenyamanan jiwa, peristirahatan badan dari beban ibadah…. Dan bahwa menampakkan kebahagiaan di hari-hari raya adalah merupakan syiar agama.” Roghib Al Ashbahani menegaskan, “Hari raya digunakan untuk bersenang di sepanjang harinya.” (Lihat Mirqoth al Mafatih, Al Mulla Al Qory) Dengan demikian, hari raya dan hari-hari Tasyriq adalah merupakan hari istimewa bagi muslimin. Di mana disyariatkan pada 5 hari tersebut untuk bersenangnya keluarga muslim. Kepala rumah tangga diperintahkan untuk menfasilitasi hal tersebut. Tentu, jika ini dilakukan akan menjadi amal shaleh baginya. Aktfitias kesenangan yang disebutkan Nabi adalah: Makan, Minum, Bercampur suami istri dan Dzikir. Tetapi secara umum seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Hajar, apapun bentuk kesenangan dan kenyamanan adalah merupakan syariat di hari-hari tersebut. Sepanjang hari-hari tersebut harus menjadi waktu-waktu yang menyenangkan dan membahagiakan. Tak hanya bagi diri dan keluarganya, tetapi hingga tetangga dan para kerabat. Di sinilah indahnya Islam. Syariat yang tak hanya membebani dengan ibadah yang berat seperti shalat, puasa dan zakat. Tetapi juga memerintahkan untuk bersenang-senang dan bahkan tidak membolehkan untuk melakukan ibadah yang akan mengganggu kesenangan tersebut. Karena memang waktunya bersenang. Walaupun tetap ada perintah untuk berdzikir. Perintah untuk berdzikir merupakan aktifitas lisan yang tidak mengganggu kesenangan hari-hari itu. Karena seseorang tetap bisa mengucapkan kalimat thayyibah sambil bermain. Dan dzikir tetap diperintahkan agar permainan yang cenderung melalaikan tidak melarutkan kita dalam kelalaian tanpa batas. Rasulullah meletakkan kata dzikir pada kata yang terakhir dari rangkaian kesenangan. Agar menjadi pelajaran bahwa semua kesenangan itu dilakukan untuk akhirnya bisa menguatkan kembali dzikir dan ibadah selanjutnya. Dan itulah fungsi istirahat dalamkehidupan orang beriman. Berhenti sejenak di taman kenyamanan untuk menghirup semangat agar perjalanan ibadah selanjutnya semakin menggelora. Ada pelajaran yang sering terlewatkan pada tema ini. Padahal hal ini sangatlah penting bagi keluarga muslim. Yaitu, jika ibadah seperti puasa -dan itu berat terutama bagi anak-anak- adalah merupakan perintah syariat, maka makan-makan, minum-minum dan kesenangan yang lainnya juga merupakan perintah syariat. Jadi para ayah dan bunda, bawalah kejutan kado berisi sandal atau sepatu baru atau pakaian baru atau hadiah lain untuk sang buah hati. Serahkan, suruh mereka membukanya dan saksikan ekspresi kesenangan di wajah mereka. Kemudian katakan “Nak, ini kado dari Nabi kalian. Karena ayah dan bunda memberikan kado ini atas perintah beliau. Dan setelah ini kita akan jalan-jalan, karena Nabi juga memerintahkan untuk itu. Islam itu indah ya nak,” Semoga tertanam dan hadir di hati anak-anak kita kedekatan, kebanggaan dan kenyamanan terhadap agamanya. [BudiAshari/parentingnabawiyah]

Jumat, 19 Oktober 2012

10 HARI LEBIH MULIA DARIPADA RAMADHAN?

Hari Rabo kemaren tanggal 17 Oktober 2012 disepakati, oleh para ulama rukyah dan ahli hisab, sebagai hari pertama bulan Dzulhijjah 1433. Bukan hanya di Indonesia dan berbagai belahan dunia lainnya, tapi juga di Tanah Suci Mekkah, tempat pelaksanaan rukun ibadah haji, yang semestinya menjadi acuan utama dan kiblat penentuan hari raya Idul Adha di seluruh dunia. Sehingga, dengan demikian, tepat sesuai prediksi sebelumnya, pelaksanaan wuquf di Arafah sebagai puncak manasik ibadah haji, yang berarti tgl. 9 Dzulhijjah 1433, akan berlangsung pada hari Kamis tanggal 25 Oktober 2012, dan hari raya Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah 1433 insya-allah akan jatuh secara serempak pada hari Jum’at bertepatan tanggal 26 Oktober 2012.

Kepada seluruh jamaah haji, kami ucapkan: Selamat mempersiapkan diri sebaik-baiknya dan setotal-totalnya demi meraih haji mabrur yang berdasar hadits muttafaq ‘alaih pasti berbalas Surga. Dan kepada semua kaum muslimin non jamaah haji, juga tak lupa kami ucapkan: Selamat ber-fastabiqul khairat (berlomba kebaikan) khususnya dalam 10 hari pertama bulan Dzulhijjah 1433 ini, yang merupakan 10 hari termulia sepanjang tahun, dan yang boleh jadi lebih mulia dibandingkan dengan hari-hari bulan Ramadhan sendiri. Dimana jika seseorang mampu mengoptimalkan upaya amal saleh dengan beragam macamnya di dalamnya, maka sangat memungkinkan iapun bisa menggapai kemuliaan derajat di sisi Allah dan kelipatan pahala dari-Nya, seperti yang didapat oleh jamaah yang sukses dengan hajinya, atau bahkan mengunggulinya.

Mungkin ada yang terheran-heran dan bertanya: Benarkah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah semulia itu sampai bahkan mungkin bisa mengungguli kemuliaan hari-hari bulan Ramadhan, atau minimal setara dengannya? Mengapa hal itu sepertinya tidak begitu dikenal di tengah-tengah mayoritas ummat Islam, sehingga karenanya sikap merekapun biasa-biasa dan datar-datar saja, tanpa ada yang tampak istimewa seperti yang umumnya ditunjukkan dalam menyambut bulan suci Ramadhan?

Nah untuk menjawab pertanyaan diatas, mari kita cermati bersama sabda Baginda Sayyidina Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya) berikut ini: Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda: " Tiada hari, dimana beramal shalih padanya lebih Allah cintai selain hari-hari ini", yakni 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah. Para shahabat bertanya: wahai Rasulullah, apakah termasuk jihad fi sabilillah juga tidak bisa (menandingi)?, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Termasuk jihad fi sabilillah sekalipun tidak bisa (menandingi), kecuali seorang lelaki yang pergi berjihad dengan jiwa dan hartanya sendiri lalu tidak ada sesuatupun darinya yang kembali, yakni sampai gugur sebagai syuhada’" (HR. Al-Bukhari, At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad).

Mari perhatikan, demikian tingginya tingkat kemuliaan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah tersebut, sampai-sampai jihadpun bisa kalah dalam derajat dan nilai pahala bila dibandingkan dengan amal saleh apapun, sekali lagi amal saleh apapun, yang dilakukan oleh seorang hamba muslim pada hari-hari tersebut. Padahal kita semua tahu, betapa tinggi nilai jihad fi sabilillah di dalam Islam dan derajat mujahid di sisi Allah Ta’ala. Tapi toh hanya ada satu kondisi mujahid saja yang derajat dan nilai pahala jihadnya bisa mengungguli amal saleh pada 10 hari pertama Dzulhijjah, yang memang merupakan puncak derajat seorang mujahid di jalan Allah. Yaitu seorang mujahid yang memenuhi 3 kriteria: pertama, ia berangkat sendiri ke medan jihad; kedua, seluruh perbekalan jihadnya dari harta miliknya sendiri; dan ketiga, ia berjihad sampai gugur sebagai syuhada. Sehingga jihad seorang mujahid yang sampai mati syahid tapi perbekalan jihadnya dari harta orang lain, atau mujahid yang berangkat jihad dengan diri dan hartanya sendiri namun tidak sampai gugur sebagai syuhada, atau bahkan yang berjihad dengan diri dan hartanya sendiri, serta mati syahid, akan tetapi masih ada dari perbekalan jihadnya, misalnya pedangnya atau baju besinya, atau kudanya dan lain-lain, yang masih bisa dibawa pulang kembali dari medan laga jihad. Ya semua kondisi mujahid yang pasti sangat luar biasa keistimewaannya itu, tetap saja tidak bisa menandingi dan mengungguli keistimewaan, keutamaan dan kemuliaan amal saleh pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah seperti yang tengah kita lewati ini! ALLAHU AKBAR!

Mungkin karena begitu mulianya10 hari pertama bulan Dzulhijjah tersebut, maka Allah Ta’ala sampai bersumpah dengannya, dalam firman-Nya (yang artinya): “Dan demi malam-malam yang sepuluh” (QS. Al-Fajr 89: 2), yang menurut Imam Ibnu Katsir dan jumhur mufassir lain rahimahumullah, maksud tafsirnya yang benar adalah 10 malam pertama bulan Dzulhijjah.

Dan ada satu dalil kuat lagi yang bisa menjadi faktor penegas luar biasanya keistimewaan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah ini. Yakni bahwa, para ulama sampai berselisih pendapat tentang mana yang lebih mulia, utama dan istimewa antara 10 hari pertama bulan Dzulhijjah dan 10 malam terakhir bulan Ramadhan yang di dalamnya terdapat malam lailatul qadar. Dimana sebagian ulama berpendapat bahwa, 10 hari dan malam pertama Dzulhijjah yang lebih mulia, dan sebagian yang lain mentarjih bahwa, 10 malam dan hari terakhir Ramadhanlah yang lebih istimewa. Dan pendapat yang lebih rajih, kuat dan tepat insya-allah adalah yang memadukan antar dalil keduanya. Dimana untuk waktu malamnya, 10 malam akhir Ramadhan adalah yang paling utama sepanjang tahun bila dibandingkan dengan semua malam yang lain termasuk 10 malam pertama bulan Dzulhijjah. Sementara itu untuk waktu siangnya, 10 hari pertama Dzulhijjah adalah yang termulia dibanding seluruh hari yang lainnya termasuk hari-hari bulan Ramadhan seluruhnya.

Oleh karena itu semua, seharusnya sikap kita dalam mengistimewakan hari-hari termulia ini dengan amal-amal yang serba istimewa, utamanya untuk waktu siangnya, minimal seperti dan setara dengan sikap pengistimewaan kita terhadap bulan suci Ramadhan setiap tahun. Jika demikian, lalu apa sikap yang harus kita tunjukkan dan amal serta ibadah apa sajakah yang sebaiknya kita kerjakan dalam upaya mengistimewakan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah ini? Berikut ini disebutkan beberapa poin sekadar sebagai pengingat, semoga bermanfaat:

1. Hal pertama yang harus dilakukan oleh setiap muslim dalam konteks ini adalah, menumbuhkan, menjaga dan meningkatkan keyakinan, kesadaran serta perasaan akan mulia, utama dan istimewanya 10 hari pertama bulan Dzulhijjah ini.

2. Memiliki dan menyimpan kejujuran niat, kesungguhan tekad dan ketinggian semangat untuk benar-benar mengistimewakan hari-hari teristimewa ini dengan bermacam ragam amal dan ibadah yang serba istimewa, demi mengharap derajat taqwa dan nilai pahala nan istimewa pula. Serta bermujahadah sebisa mungkin untuk tidak melewatkan sedikitpun dari waktu-waktunya secara sia-sia.

3. Menguatkan dan meningkatkan kepekaan rasa kewaspadaan keimanan, dengan senantiasa berupaya keras untuk menghindarkan diri dari berbagai bentuk kemaksiatan dan pelanggaran syar’i pada hari-hari termulia tersebut, baik dalam bentuk meninggalkan kewajiban maupun dengan melakukan yang dilarang dan diharamkan.

4. Karena amal yang diistimewakan pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, berdasar hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma diatas, tidak dibatasi pada jenis amal tertentu, maka pada prinsipnya amal atau ibadah apapun, sekali lagi amal saleh dan ibadah apapun, baik yang bersifat ritual, sosial maupun lainnya, sesuai situasi, kondisi, kebutuhan dan kesanggupan masing-masing kita, bisa saja dilakukan dan sekaligus berpotensi untuk menjadi amal yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala, yang tentu saja berarti akan bernilai pahala super istimewa tiada tara. Dan itu meliputi (sekadar contoh) misalnya: shalat, zakat, infak, sedekah, dakwah, mencari nafkah, menuntut ilmu atau mengajarkannya, juga membaca Al-Qur’an, mempelajarinya dan mengajarkaannya, berdzikir, beristighfar dan berdoa, berbakti kepada orang tua, menyambung tali silaturrahin dengan keluarga dan lainnya, membantu sesama, berbagi hikmah dan kebajikan dimana serta kepada siapa saja, dan seterusnya dan seterusnya.

5. Jika amal yang lebih diutamakan pada sepuluh malam terakhir Ramadhan adalah ibadah-ibadah spesial malam hari, seperti qiyamullail atau tahajjud, tadarus Al-Qur’an, itikaf, dzikir, doa, munajat, istighfar, dan semacamnya, maka yang lebih diistimewakan pada 10 hari pertama Dzulhijjah ini adalah jenis-jenis amal ibadah spesial siang hari, dan salah satu yang paling utama tiada lain adalah ibadah puasa. Maka disunnahkan dan dianjurkan agar setiap muslim memperbanyak puasa pada 10 hari ini, tentu saja kecuali tanggal 10-nya yang merupakan hari raya Idul Adha, dan yang memang diharamkan puasa padanya. Namun untuk ibadah puasa ini terbagi dua, yakni yang berifat umum dan khusus. Yang umum adalah puasa dari anggal 1 – 8 Dzulhijjah, dimana kesunnahannya tidak berdasarkan dalil khusus, melainkan mengacu pada keumuman hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dimuka, dimana setiap amal saleh pada 10 hari pertama Dzulhijjah adalah yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala. Dan sudah barang tentu ibadah puasa menempati peringkat utama dan istimewa dalam daftar amal saleh yang disebutkan itu. Apalagi, seperti yang telah disebutkan, yang lebih utama dari 10 hari pertama Dzulhijjah itu adalah waktu siangnya, dan puasa merupakan salah satu jenis amal ibadah spesial siang hari yang teristimewa. Oleh karenanya dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam An-Nawawi rahimahullah menulis bab khusus dengan judul: Fadilah Puasa dan Amal-amal Lain Pada 10 Hari Pertama Dzulhijjah, lalu beliau menyebutkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, yang telah dikutip dimuka. Adapun puasa yang bersifat khusus dengan dalil khusus dan fadilah khusus pula, adalah puasa hari Arafah, yakni pada tanggal 9 Dzulhijjah. Dimana saat ditanya tentang fadhilah dan keutamaan puasa hari wuquf di Arafah (bagi selain jamaah haji), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ia bisa menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah berlalu dan (dosa) satu tahun lagi yang akan datang” (HR. Muslim dari sahabat Abu Qatadah radiyallahu ‘anhu).

6. Memperbanyak kumandang takbir, tahlil dan tahmid dengan suara keras di rumah-rumah, masjid-masjid, jalan-jalan, pasar-pasar dan lain-lain, pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Tiada hari yang lebih agung bagi Allah, dan amal saleh padanya lebih dicintai oleh-Nya, dibandingkan 10 hari (pertama Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah padanya ucapan tahlil, takbir dan tahmid” (HR. Ahmad dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah). Imam Al-Bukhari rahimahullah menyebutkan bahwa, sahabat Ibnu Umar dan Abu Hurairah dulu biasa pergi ke pasar pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah seraya mengumandangkan takbir, sehingga masyarakatpun bertakbir mengikuti takbir keduanya. Itu untuk tuntunan takbir yang bersifat umum. Adapun untuk praktik takbir yang bersifat khusus terkait dengan syiar hari raya Idul Adha, maka menurut jumhur ulama disunnahkan agar dilakukan mulai selepas shalat subuh pada hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) sampai shalat asar hari terakhir tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah), dimana ucapan takbir dikumandangkan pada setiap usai shalat fardhu dan diutamakan pada pagi hari raya Idul Adha saat seseorang berangkat ke tempat shalat Id.

7. Menyembelih hewan qurban, dengan motivasi utama sebagai sebuah bentuk ibadah ritual persembahan kepada Allah, bukti penghambaan dan syiar deklarasi kemurnian tauhid kepada-Nya, dan bukan dengan sekadar niat bersedekah daging. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Tiada satu amal pun yang dilakukan seseorang pada Yaumun-Nahr (hari raya qurban) yang lebih dicintai oleh Allah daripada mengalirkan darah (hewan qurban yang disembelih). Maka berbahagialah kamu dengannya” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim dengan sanad yang shahih).

8. Mengikuti shalat Idul Adha, dan mendengarkan khutbah seusainya. Adapun bagi kaum perempuan yang berhalangan, maka dianjurkan untuk tetap turut menghadiri penyelenggaraan shalat, meskipun tentu tidak boleh mengikutinya, melainkan untuk mendapatkan siraman rohani dan pencerahan ilmu dari khutbah yang disampaikan, serta sekaligus untuk turut menyemarakkan, memeriahkan dan meramaikan suasana hari raya sebagai momen kegembiraan ummat Islam dan syiar kebersamaan serta persatuan kaum muslimin. Sedangkan ketika hari raya qurban jatuh pada hari Jum’at, seperti yang akan datang ini, maka bagi yang mengikuti shalat Id diberi rukhshah (keringanan) untuk tidak menghadiri shalat Jum’at, dan cukup melakukan shalat dzuhur saja seperti hari-hari lain. Namun meskipun begitu, lebih baik baginya jika tetap turut menunaikan shalat jum’at bersama kaum muslimin yang mengadakannya. Sedangkan bagi penanggung jawab atau takmir masjid jami’, yakni masjid yang biasa didirikan shalat jum’at di dalamnya, diharuskan tetap menyelenggarakannya, agar bagi kaum muslimin yang ingin, bisa berkesempatan untuk menjalankannya. Karena saat terjadi shalat Idul Fitri pada hari Jum’at, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Telah berhimpun pada hari kalian ini dua hari raya. Barangsiapa yang ingin, maka (shalat Id) telah cukup baginya untuk mewakili shalat Jum’at. Namun kami tetap akan menyelenggarakannya” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Al-Hakim dan lain-lain, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

9. Dan last but not least, tentu saja amal ibadah paling agung dan tertinggi pada bulan Dzulhijjah ini, bagi yang mampu dan berkesempatan, tiada lain adalah ibadah haji dan umrah di Tanah Suci Mekkah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Ibadah umrah satu ke umrah yang lain adalah penghapus dosa antara keduanya, dan haji yang mabrur itu tiada balasan baginya kecuali Surga” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Demikian, wallahu a’lam. Wallahul Muwaffiq ila aqwamith-thariq. Wa Huwal Hadi ila sawa-issabil.
Oleh :  Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri

Minggu, 14 Oktober 2012

DOWNLOAD POWERPOIN FIQH QURBAN DAN AMALIAH DZULHIJJAH

Banyak mereka yang berqurban menganggap bahwa ibadah qurban tak lebih dari sedekah harta tahunan dalam jumlah yang cukup besar. Maka mereka yang meyakini hal tersebut tak mau terlibat langsung dalam rangkaian prosesi qurban. Cukup panitia mendatangi rumah mereka berbekal surat dan kuitansi, lalu mereka menyerahkan sejumlah dana dan tinggal menunggu hari-H saat panitia menyerahkan 'paha kambing' sebagai jatah pequrbannya. Begitu saja dan nyaris tanpa makna. Padahal yang diinginkan dalam syariat qurban bukan hanya mengeluarkan harta untuk membeli hewan qurban, tetapi juga mengambil makna dan hikmah yang begitu mendalam ada dalam ibadah qurban.

Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat secara umum saat menyambut hari raya idul adha. Banyak yang tidak terlalu peduli dan cuek-cuek saja. Fenomana pilih kasih antara Idul Fitri dan Idul Adha begitu terasa. Padahal di sebagian besar negara Arab justru, idul adha lah momentum yang ditunggu-tunggu untuk merayakannya. Yang paling banyak ditinggalkan adalah mengambil keberkahan 1-10 Dzulhijjah dengan mengoptimalkan amal-amal sunnah dan kebaikan pada hari-hari itu, padahal jelas rasulullah SAW memberikan bocoran kepada kita tentang kemuliaannya :


Dari Ibnu ‘Abbas r.a. bahwa Nabi saw. Bersabda, “Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah.” Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah?” Beliau menjawab, “Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari)

Dari Umar r.a., bahwa Nabi saw. Bersabda, “Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah pada saat itu tahlil, takbir, dan tahmid.” (HR. Ahmad)


Akhirnya, selamat berqurban dan menyambut hari-hari mulia di awal dzulhijjah, bagi Anda yang akan berbagi seputar fikih Qurban, silahkan download Powerpoint Fiqih Qurban pada link berikut :

LINK DOWNLOAD :
http://www.4shared.com/file/9Vu2WlMV/18_Fiqh_Qurban__Amal_Dzulhijja.html


By : Ust. Hatta Syamsudin

MENGGAPAI HAJI MABRUR

Setiap orang sangat berkeinginan sekali untuk menginjakkan kaki di tanah haram. Setiap jiwa yang beriman sungguh merindukan melihat ka’bah di Makkah Al Mukarromah. Setiap insan yang beriman pun ingin menyempurnakan rukun Islam yang kelima, apalagi jika sudah memiliki kemampuan harta dan fisik. Ketika keinginan ini tercapai dan telah menempuh ibadah haji, seharusnya seseorang yang melakukannya menjadi lebih baik selepas itu. Namun tidak sedikit yang berhaji yang kondisinya sama saja atau bahkan imannya lebih “down” dari sebelumnya. Padahal sebaik-baik haji adalah haji yang mabrur. Balasan haji semacam itu adalah surga. Pasti semua pun menginginkan kenikmatan luar biasa tersebut. Apakah yang dimaksud haji mabrur? Berikut penjelasan sederhana yang moga bermanfaat.
Keutamaan di Balik Haji
Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللَّهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ
Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka meminta kepada Allah pasti akan Allah beri” (HR. Ibnu Majah no 2893. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Dalam hadits Ibnu ‘Umar yang lainnya disebutkan,
أَمَّا خُرُوجُكَ مِنْ بَيْتِكَ تَؤُمُّ الْبَيْتَ فَإِنَّ لَكَ بِكُلِّ وَطْأَةٍ تَطَأُهَا رَاحِلَتُكَ يَكْتُبُ اللَّهُ لَكَ بِهَا حَسَنَةً , وَيَمْحُو عَنْكَ بِهَا سَيِّئَةً , وَأَمَّا وُقُوفُكَ بِعَرَفَةَ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْزِلُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيُبَاهِي بِهِمُ الْمَلائِكَةَ , فَيَقُولُ:هَؤُلاءِ عِبَادِي جَاءُونِي شُعْثًا غُبْرًا مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ يَرْجُونَ رَحْمَتِي , وَيَخَافُونَ عَذَابِي , وَلَمْ يَرَوْنِي , فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي؟فَلَوْ كَانَ عَلَيْكَ مِثْلُ رَمْلِ عَالِجٍ , أَوْ مِثْلُ أَيَّامِ الدُّنْيَا , أَوْ مِثْلُ قَطْرِ السَّمَاءِ ذُنُوبًا غَسَلَ اللَّهُ عَنْكَ , وَأَمَّا رَمْيُكَ الْجِمَارَ فَإِنَّهُ مَذْخُورٌ لَكَ , وَأَمَّا حَلْقُكَ رَأْسَكَ , فَإِنَّ لَكَ بِكُلِّ شَعْرَةٍ تَسْقُطُ حَسَنَةٌ , فَإِذَا طُفْتَ بِالْبَيْتِ خَرَجْتَ مِنْ ذُنُوبِكَ كَيَوْمِ وَلَدَتْكَ أُمُّكَ.
Adapun keluarmu dari rumah untuk berhaji ke Ka’bah maka setiap langkah hewan tungganganmu akan Allah catat sebagai satu kebaikan dan menghapus satu kesalahan. Sedangkan wukuf di Arafah maka pada saat itu Allah turun ke langit dunia lalu Allah bangga-banggakan orang-orang yang berwukuf di hadapan para malaikat.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Mereka adalah hamba-hambaKu yang datang dalam keadaan kusut berdebu dari segala penjuru dunia. Mereka mengharap kasih sayangKu, merasa takut dengan siksaKu padahal mereka belum pernah melihatKu. Bagaimana andai mereka pernah melihatKu?!
Andai engkau memiliki dosa sebanyak butir pasir di sebuah gundukan pasir atau sebanyak hari di dunia atau semisal tetes air hujan maka seluruhnya akan Allah bersihkan.
Lempar jumrohmu merupakan simpanan pahala. Ketika engkau menggundul kepalamu maka setiap helai rambut yang jatuh bernilai satu kebaikan. Jika engkau thawaf, mengelilingi Ka’bah maka engkau terbebas dari dosa-dosamu sebagaimana ketika kau terlahir dari rahim ibumu” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Kabir no 1339o. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Shahihul Jaami’ no. 1360).
Haji Mabrur, Jihad yang Paling Afdhol
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
سُئِلَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - أَىُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ « إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « جِهَادٌ فِى سَبِيلِ اللَّهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « حَجٌّ مَبْرُورٌ »
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Amalan apa yang paling afdhol?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1519)
Dari ‘Aisyah—ummul Mukminin—radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ ، أَفَلاَ نُجَاهِدُ قَالَ « لاَ ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ »
Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1520)
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521).
Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Haji disebut jihad karena di dalam amalan tersebut terdapat mujahadah (jihad) terhadap jiwa.”[1]
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Haji dan umroh termasuk jihad. Karena dalam amalan tersebut seseorang berjihad dengan harta, jiwa dan badan. Sebagaimana Abusy Sya’tsa’ berkata, ‘Aku telah memperhatikan pada amalan-amalan kebaikan. Dalam shalat, terdapat jihad dengan badan, tidak dengan harta. Begitu halnya pula dengan puasa. Sedangkan dalam haji, terdapat jihad dengan harta dan badan. Ini menunjukkan bahwa amalan haji lebih afdhol’.”[2]
Yang Dimaksud Haji Mabrur
Ibnu Kholawaih berkata, “Haji mabrur adalah haji yang maqbul (haji yang diterima).” Ulama yang lainnya mengatakan, “Haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri dengan dosa.” Pendapat ini dipilih oleh An Nawawi.[3]
Para pakar fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori dengan kemaksiatan pada saat melaksanakan rangkaian manasiknya. Sedangkan Al Faro’ berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi hobi bermaksiat. Dua pendapat ini disebutkan oleh Ibnul ‘Arabi.
Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Haji mabrur adalah jika sepulang haji menjadi orang yang zuhud dengan dunia dan merindukan akherat.”
Al Qurthubi rahimahullah menyimpulkan, “Haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori oleh maksiat saat melaksanakan manasik dan tidak lagi gemar bermaksiat setelah pulang haji.”[4]
An Nawawi rahimahullah berkata, “Pendapat yang paling kuat dan yang paling terkenal, haji mabrur adalah haji yang tidak ternodai oleh dosa, diambil dari kata-kata birr yang bermakna ketaatan. Ada juga yang berpendapat bahwa haji mabrur adalah haji yang diterima. Di antara tanda diterimanya haji seseorang adalah adanya perubahan menuju yang lebih baik setelah pulang dari pergi haji dan tidak membiasakan diri melakukan berbagai maksiat. Ada pula yang mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri unsur riya’. Ulama yang lain berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi bermaksiat. Dua pendapat yang terakhir telah tercakup dalam pendapat-pendapat sebelumnya.”[5]
Jika telah dipahami apa yang dimaksudkan dengan haji mabrur, maka orang yang berhasil menggapai predikat tersebut akan mendapatkan keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349). An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud, ‘tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga’, bahwasanya haji mabrur tidak cukup jika pelakunya dihapuskan sebagian kesalahannya. Bahkan ia memang pantas untuk masuk surga.”[6]
Di antara bukti dari haji mabrur adalah gemar berbuat baik terhadap sesama. Dari Jabir, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang haji yang mabrur. Jawaban beliau,
إطعام الطعام و طيب الكلام
“Suka bersedekah dengan bentuk memberi makan dan memiliki tutar kata yang baik” (HR. Hakim no. 1778. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shahihul Jaami’ no. 2819).
Demikianlah kriteria haji mabrur. Kriteria penting pada haji mabrur adalah haji tersebut dilakukan dengan ikhlas dan bukan atas dasar riya’, hanya ingin mencari pujian, seperti ingin disebut “Pak Haji”. Ketika melakukan haji pun menempuh jalan yang benar, bukan dengan berbuat curang atau menggunakan harta yang haram, dan ketika melakukan manasik haji pun harus menjauhi maksiat, ini juga termasuk kriteria mabrur. Begitu pula disebut mabrur adalah sesudah menunaikan haji tidak hobi lagi berbuat maksiat dan berusaha menjadi yang lebih baik. Sehingga menjadi tanda tanya besar jika seseorang selepas haji malah masih memelihara maksiat yang dulu sering ia lakukan, seperti seringnya bolong shalat lima waktu, masih senang mengisap rokok atau malah masih senang berkumpul untuk berjudi. Jika demikian keadaannya, maka sungguh sia-sia haji yang ia lakukan. Biaya puluhan juta dan tenaga yang terkuras selama haji, jadi sia-sia belaka.
Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari-Nya. Oleh karenanya, senantiasalah memohon kepada Allah agar kita yang telah berhaji dimudahkan untuk meraih predikat haji mabrur. Yang tentu saja ini butuh usaha, dengan senantiasa memohon pertolongan Allah agar tetap taat dan menjauhi maksiat. Semoga Allah menganugerahi kita haji yang mabrur. Amin Yaa Mujibas Saailin.

Prepared on 10 Dzulqo’dah 1431 H, in KSU, Riyadh, Kingdom of Saudi Arabia
By: Muhammad Abduh Tuasikal
www.rumaysho.com


[1] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 3/382.
[2] Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1428 H, hal. 403.
[3] Lihat Fathul Bari, 3/382.
[4] Lihat Tafsir Al Qurthubi, Muhammad bin Ahmad Al Anshori Al Qurthubi, Mawqi’ Ya’sub, 2/408.
[5] Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, Dar Ihya’ At Turots, 1392, 9/118-119.
[6] Syarh Shahih Muslim, 9/119.

FIQH QURBAN



Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan.” (QS. Al Kautsar: 2). Syaikh Abdullah Alu Bassaam mengatakan, “Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; Yang dimaksud dengan menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied.” Pendapat ini dinukilkan dari Qatadah, Atha’ dan Ikrimah (Taisirul ‘Allaam, 534 Taudhihul Ahkaam, IV/450. Lihat juga Shahih Fiqih Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al Adhaahi (dengan huruf ha’ tipis)

Pengertian Udh-hiyah
Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)

Keutamaan Qurban
Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)
Hadis di atas didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (dhaif Ibn Majah, 671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah. (lih. Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’ 7/521)
Hukum Qurban
Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:
Pertama, wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (lih. Syarhul Mumti’, III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Pendapat kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454)
Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan: “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam.” (Tafsir Adwa’ul Bayan, 1120)
Yakinlah…! bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).
Hewan yang Boleh Digunakan Untuk Qurban
Hewan qurban hanya boleh dari kalangan Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak tertentu) yaitu onta, sapi atau kambing dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz 406) Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, “Dan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an’aam).” (QS. Al Hajj: 34) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Bahkan jika seandainya ada orang yang berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300 real maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak sah…” (Syarhul Mumti’, III/409)
Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga
Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266).
Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya kambing 1 untuk anak si A, kambing 2 untuk anak si B, karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk seluruh dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban. Sebelum menyembelih beliau mengatakan:”Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: “Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dst.
Namun seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban. Apakah harus izin terlebih dahulu kepada pemilik hewan?
Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada orang yang diberi sedekah.
Ketentuan Untuk Sapi & Onta
Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406)
Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.
Arisan Qurban Kambing?
Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dinukil oleh Ibn Katsir dari Sufyan At Tsauri (Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj:36)(*) Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran.
(*) Sufyan At Tsauri rahimahullah mengatakan: Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya: “Kamu berhutang untuk beli unta qurban?” beliau jawab: “Saya mendengar Allah berfirman: لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ (kamu memperoleh kebaikan yang banyak pada unta-unta qurban tersebut) (QS: Al Hajj:36).” (lih. Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36).
Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban. Di antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net di bawah pengawasan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 & 28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.” (Syarhul Mumti’ 7/455). Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang, dan beliau jawab: “Jika di hadapkan dua permasalahan antara berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang, lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat dekat.” (lih. Majmu’ Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin 18/144).
Namun pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika qurban dipahami untuk kasus orang yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau kasus hutang yang jatuh temponya masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada qurban dipahami untuk kasus orang yang kesulitan melunasi hutang atau hutang yang menuntut segera dilunasi. Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu hal yang baik. Wallahu a’lam.
Qurban Kerbau?
Para ulama’ menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya disikapi sebagai satu jenis (Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan kerbau, dari kalangan Syafi’iyah (lih. Hasyiyah Al Bajirami) maupun dari Hanafiyah (lih. Al ‘Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan Fathul Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya satu jenis.
Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.
Pertanyaan:
“Kerbau dan sapi memiliki perbedaan dalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al An’am 143. Apakah boleh berqurban dengan kerbau?”
Beliau menjawab:
“Jika hakekat kerbau termasuk sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah sebut dalam alqur’an adalah jenis hewan yang dikenal orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab.” (Liqa’ Babil Maftuh 200/27)
Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama di atas maka bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu a’lam.
Urunan Qurban Satu Sekolahan
Terdapat satu tradisi di lembaga pendidikan di daerah kita, ketika iedul adha tiba sebagian sekolahan menggalakkan kegiatan latihan qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani iuran sejumlah uang tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih di hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?
Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah dalam islam yang memiliki aturan tertentu sebagaimana yang digariskan oleh syari’at. Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut adalah masalah pembiayaan. Sebagaimana dipahami di muka, biaya pengadaan untuk seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang. Oleh karena itu kasus tradisi ‘qurban’ seperti di atas tidak dapat dinilai sebagai qurban.
Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?
Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
  • Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya meskipun ada yang sudah meninggal.
  • Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Namun sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuknya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51.
Umur Hewan Qurban
Untuk onta dan sapi: Jabir meriwayatkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelihdomba jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih)
Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, dengan rincian:
No.
Hewan
Umur minimal
1.
Onta
5 tahun
2.
Sapi
2 tahun
3.
Kambing jawa
1 tahun
4.
Domba/ kambing gembel
6 bulan
(domba Jadza’ah)
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/371-372, Syarhul Mumti’, III/410, Taudhihul Ahkaam, IV/461)
Cacat Hewan Qurban
Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:
Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4 (**):
  • Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya: Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama’ madzhab syafi’iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
  • Sakit dan tampak sekali sakitnya.
  • Pincang dan tampak jelas pincangnya: Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
  • Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.
Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti’ 3/294).
Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2 (***):
  • Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
  • Tanduknya pecah atau patah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.
Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a’lam
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
(**) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang cacat hewan apa yang harus dihindari ketika berqurban. Beliau menjawab: “Ada empat cacat… dan beliau berisyarat dengan tangannya.” (HR. Ahmad 4/300 & Abu Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih oleh Turmudzi). Sebagian ulama menjelaskan bahwa isyarat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya ketika menyebutkan empat cacat tersebut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi jenis cacat yang terlarang. Sehingga yang bukan termasuk empat jenis cacat sebagaimana dalam hadis boleh digunakan sebagai qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/464)
(***) Terdapat hadis yang menyatakan larangan berqurban dengan hewan yang memilki dua cacat, telinga terpotong atau tanduk pecah. Namun hadisnya dlo’if, sehingga sebagian ulama menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan makruh dipakai untuk qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/470)
Hewan yang Disukai dan Lebih Utama untuk Diqurbankan
Hendaknya hewan yang diqurbankan adalah hewan yang gemuk dan sempurna. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “…barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu adalah berasal dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32). Berdasarkan ayat ini Imam Syafi’i rahimahullah menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan untuk memilih hewan qurban yang besar dan gemuk. Abu Umamah bin Sahl mengatakan, “Dahulu kami di Madinah biasa memilih hewan yang gemuk dalam berqurban. Dan memang kebiasaan kaum muslimin ketika itu adalah berqurban dengan hewan yang gemuk-gemuk.” (HR. Bukhari secara mu’allaq namun secara tegas dan dimaushulkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Mustakhraj, sanadnya hasan)
Diantara ketiga jenis hewan qurban maka menurut mayoritas ulama yang paling utama adalah berqurban dengan onta, kemudian sapi kemudian kambing, jika biaya pengadaan masing-masing ditanggung satu orang (bukan urunan). Dalilnya adalah jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiallahu ‘anhu tentang budak yang lebih utama. Beliau bersabda, “Yaitu budak yang lebih mahal dan lebih bernilai dalam pandangan pemiliknya” (HR. Bukhari dan Muslim). (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/374)
Manakah yang Lebih Baik, Ikut Urunan Sapi atau Qurban Satu Kambing?
Sebagian ulama menjelaskan qurban satu kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau onta, karena tujuh kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi (lih. Shahih Fiqh Sunnah, 2/375, Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 & Syarhul Mumthi’ 7/458). Disamping itu, terdapat alasan lain diantaranya:
  • Qurban yang sering dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utuh satu ekor, baik kambing, sapi, maupun onta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 onta.
  • Kegiatan menyembelihnya lebih banyak. Lebih-lebih jika hadis yang menyebutkan keutamaan qurban di atas statusnya shahih. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh penulis kitab Al Muhadzab Al Fairuz Abadzi As Syafi’i. (lih. Al Muhadzab 1/74)
  • Terdapat sebagian ulama yang melarang urunan dalam berqurban, diantaranya adalah Mufti Negri Saudi Syaikh Muhammad bin Ibrahim (lih. Fatwa Lajnah 11/453). Namun pelarangan ini didasari dengan qiyas (analogi) yang bertolak belakang dengan dalil sunnah, sehingga jelas salahnya.
Apakah Harus Jantan?
Tidak ada ketentuan jenis kelamin hewan qurban. Boleh jantan maupun betina. Dari Umu Kurzin radliallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aqiqah untuk anal laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing. Tidak jadi masalah jantan maupun betina.” (HR. Ahmad 27900 & An Nasa’i 4218 dan dishahihkan Syaikh Al Albani). Berdasarkan hadis ini, Al Fairuz Abadzi As Syafi’i mengatakan: “Jika dibolehkan menggunakan hewan betina ketika aqiqah berdasarkan hadis ini, menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk berqurban.” (Al Muhadzab 1/74)
Namun umumnya hewan jantan itu lebih baik dan lebih mahal dibandingkan hewan betina. Oleh karena itu, tidak harus hewan jantan namun diutamakan jantan.
Larangan Bagi yang Hendak Berqurban
Orang yang hendak berqurban dilarang memotong kuku dan memotong rambutnya (yaitu orang yang hendak qurban bukan hewan qurbannya). Dari Ummu Salamah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Apabila engkau telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin berqurban maka janganlah dia menyentuh sedikitpun bagian dari rambut dan kulitnya.” (HR. Muslim). Larangan tersebut berlaku untuk cara apapun dan untuk bagian manapun, mencakup larangan mencukur gundul atau sebagian saja, atau sekedar mencabutinya. Baik rambut itu tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan maupun di ketiak (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/376).
Apakah larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga ataukah berlaku juga untuk anggota keluarga shohibul qurban?
Jawab: Larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga (shohibul qurban) dan tidak berlaku bagi anggota keluarganya. Karena 2 alasan:
  • Dlahir hadis menunjukkan bahwa larangan ini hanya berlaku untuk yang mau berqurban.
  • Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berqurban untuk dirinya dan keluarganya. Namun belum ditemukan riwayat bahwasanya beliau menyuruh anggota keluarganya untuk tidak memotong kuku maupun rambutnya. (Syarhul Mumti’ 7/529)
Waktu Penyembelihan
Waktu penyembelihan qurban adalah pada hari Iedul Adha dan 3 hari sesudahnya (hari tasyriq). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap hari taysriq adalah (hari) untuk menyembelih (qurban).” (HR. Ahmad dan Baihaqi) Tidak ada perbedaan waktu siang ataupun malam. Baik siang maupun malam sama-sama dibolehkan. Namun menurut Syaikh Al Utsaimin, melakukan penyembelihan di waktu siang itu lebih baik. (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 33). Para ulama sepakat bahwa penyembelihan qurban tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya fajar di hari Iedul Adha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat Ied maka sesungguhnya dia menyembelih untuk dirinya sendiri (bukan qurban). Dan barangsiapa yang menyembelih sesudah shalat itu maka qurbannya sempurna dan dia telah menepati sunnahnya kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/377)
Tempat Penyembelihan
Tempat yang disunnahkan untuk menyembelih adalah tanah lapangan tempat shalat ‘ied diselenggarakan. Terutama bagi imam/penguasa/tokoh masyarakat, dianjurkan untuk menyembelih qurbannya di lapangan dalam rangka memberitahukan kepada kaum muslimin bahwa qurban sudah boleh dilakukan dan mengajari tata cara qurban yang baik. Ibnu ‘Umar mengatakan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyembelih kambing dan onta (qurban) di lapangan tempat shalat.” (HR. Bukhari 5552).
Dan dibolehkan untuk menyembelih qurban di tempat manapun yang disukai, baik di rumah sendiri ataupun di tempat lain. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378)
Penyembelih Qurban
Disunnahkan bagi shohibul qurban untuk menyembelih hewan qurbannya sendiri namun boleh diwakilkan kepada orang lain. Syaikh Ali bin Hasan mengatakan: “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam masalah ini.” Hal ini berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di dalam Shahih Muslim yang menceritakan bahwa pada saat qurban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyembelih beberapa onta qurbannya dengan tangan beliau sendiri kemudian sisanya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu untuk disembelih. (lih. Ahkaamul Idain, 32)
Tata Cara Penyembelihan
  • Sebaiknya pemilik qurban menyembelih hewan qurbannya sendiri.
  • Apabila pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri maka sebaiknya dia ikut datang menyaksikan penyembelihannya.
  • Hendaknya memakai alat yang tajam untuk menyembelih.
  • Hewan yang disembelih dibaringkan di atas lambung kirinya dan dihadapkan ke kiblat. Kemudian pisau ditekan kuat-kuat supaya cepat putus.
  • Ketika akan menyembelih disyari’akan membaca “Bismillaahi wallaahu akbar” ketika menyembelih. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, sedangkan menurut Imam Syafi’i hukumnya sunnah. Adapun bacaan takbir – Allahu akbar – para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan:
    • hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud 2795) Atau
    • hadza minka wa laka ‘anni atau ‘an fulan (disebutkan nama shahibul qurban).” atau
    • Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, “Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban)” (lih. Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 92)Catatan: Tidak terdapat do’a khusus yang panjang bagi shohibul qurban ketika hendak menyembelih. Wallahu a’lam.
Bolehkah Mengucapkan Shalawat Ketika Menyembelih?
Tidak boleh mengucapkan shalawat ketika hendak menyembelih, karena 2 alasan:
  • Tidak terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan shalawat ketika menyembelih. Sementara beribadah tanpa dalil adalah perbuatan bid’ah.
  • Bisa jadi orang akan menjadikan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai wasilah ketika qurban. Atau bahkan bisa jadi seseorang membayangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih, sehingga sembelihannya tidak murni untuk Allah. (lih. Syarhul Mumti’ 7/492)
Pemanfaatan Hasil Sembelihan
Bagi pemilik hewan qurban dibolehkan memanfaatkan daging qurbannya, melalui:
  • Dimakan sendiri dan keluarganya, bahkan sebagian ulama menyatakan shohibul qurban wajib makan bagian hewan qurbannya. Termasuk dalam hal ini adalah berqurban karena nadzar menurut pendapat yang benar.
  • Disedekahkan kepada orang yang membutuhkan
  • Dihadiahkan kepada orang yang kaya
  • Disimpan untuk bahan makanan di lain hari. Namun penyimpanan ini hanya dibolehkan jika tidak terjadi musim paceklik atau krisis makanan.
Dari Salamah bin Al Akwa’ dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa diantara kalian yang berqurban maka jangan sampai dia menjumpai subuh hari ketiga sesudah Ied sedangkan dagingnya masih tersisa walaupun sedikit.” Ketika datang tahun berikutnya maka para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu ?” Maka beliau menjawab, “(Adapun sekarang) Makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami kesulitan (makanan) sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Menurut mayoritas ulama perintah yang terdapat dalam hadits ini menunjukkan hukum sunnah, bukan wajib (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378) Oleh sebab itu, boleh mensedekahkan semua hasil sembelihan qurban. Sebagaimana diperbolehkan untuk tidak menghadiahkannya (kepada orang kaya, ed.) sama sekali kepada orang lain (Minhaajul Muslim, 266). (artinya hanya untuk shohibul qurban dan sedekah pada orang miskin, ed.)
Bolehkah Memberikan Daging Qurban Kepada Orang Kafir?
Ulama madzhab Malikiyah berpendapat makruhnya memberikan daging qurban kepada orang kafir, sebagaimana kata Imam Malik: “(diberikan) kepada selain mereka (orang kafir) lebih aku sukai.” Sedangkan syafi’iyah berpendapat haramnya memberikan daging qurban kepada orang kafir untuk qurban yang wajib (misalnya qurban nadzar, pen.) dan makruh untuk qurban yang sunnah. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 29843). Al Baijuri As Syafi’I mengatakan: “Dalam Al Majmu’ (Syarhul Muhadzab) disebutkan, boleh memberikan sebagian qurban sunnah kepada kafir dzimmi yang faqir. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk qurban yang wajib.” (Hasyiyah Al Baijuri 2/310)
Lajnah Daimah (Majlis Ulama’ saudi Arabia) ditanya tentang bolehkah memberikan daging qurban kepada orang kafir.
Jawaban Lajnah:
“Kita dibolehkan memberi daging qurban kepada orang kafir Mu’ahid (****) baik karena statusnya sebagai orang miskin, kerabat, tetangga, atau karena dalam rangka menarik simpati mereka… namun tidak dibolehkan memberikan daging qurban kepada orang kafir Harby, karena kewajiban kita kepada kafir harby adalah merendahkan mereka dan melemahkan kekuatan mereka. Hukum ini juga berlaku untuk pemberian sedekah. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah 8)
Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Asma’ binti Abu Bakr radhiallahu ‘anhu untuk menemui ibunya dengan membawa harta padahal ibunya masih musyrik.” (Fatwa Lajnah Daimah no. 1997).
Kesimpulannya, memberikan bagian hewan qurban kepada orang kafir dibolehkan karena status hewan qurban sama dengan sedekah atau hadiah, dan diperbolehkan memberikan sedekah maupun hadiah kepada orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat yang tidak kuat karena tidak berdalil.
(****) Kafir Mu’ahid: Orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Termasuk orang kafir mu’ahid adalah orang kafir yang masuk ke negeri islam dengan izin resmi dari pemerintah. Kafir Harby: Orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Kafir Dzimmi: Orang kafir yang hidup di bawah kekuasaan kaum muslimin.
Larangan Memperjual-Belikan Hasil Sembelihan
Tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, baik daging, kulit, kepala, teklek, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan terdapat ancaman keras dalam masalah ini, sebagaimana hadis berikut:
من باع جلد أضحيته فلا أضحية له
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada nilainya.” (HR. Al Hakim 2/390 & Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan: Hasan)
Tetang haramnya pemilik hewan menjual kulit qurban merupakan pendapat mayoritas ulama, meskipun Imam Abu Hanifah menyelisihi mereka. Namun mengingat dalil yang sangat tegas dan jelas maka pendapat siapapun harus disingkirkan.
Catatan:
  • Termasuk memperjual-belikan bagian hewan qurban adalah menukar kulit atau kepala dengan daging atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing. Karena hakekat jual-beli adalah tukar-menukar meskipun dengan selain uang.
  • Transaksi jual-beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang tidak sah. Artinya penjual tidak boleh menerima uang hasil penjualan kulit dan pembeli tidak berhak menerima kulit yang dia beli. Hal ini sebagaimana perkataan Al Baijuri: “Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban) disamping transaksi ini adalah haram.” Beliau juga mengatakan: “Jual beli kulit hewan qurban juga tidak sah karena hadis yang diriwayatkan Hakim (baca: hadis di atas).” (Fiqh Syafi’i 2/311).
  • Bagi orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan (disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun shohibul qurban.
Larangan Mengupah Jagal Dengan Bagian Hewan Sembelihan
Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwa “Beliau pernah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurusi penyembelihan ontanya dan agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana. Dan dia tidak boleh memberikannya kepada jagal barang sedikitpun.” (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam lafaz lainnya beliau berkata, “Kami mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim). Danini merupakan pendapat mayoritas ulama (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/379)
Syaikh Abdullah Al Bassaam mengatakan, “Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia termasuk orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin…..” (Taudhihul Ahkaam, IV/464). Pernyataan beliau semakna dengan pernyataan Ibn Qosim yang mengatakan: “Haram menjadikan bagian hewan qurban sebagai upah bagi jagal.” Perkataan beliau ini dikomentari oleh Al Baijuri: “Karena hal itu (mengupah jagal) semakna dengan jual beli. Namun jika jagal diberi bagian dari qurban dengan status sedekah bukan upah maka tidak haram.” (Hasyiyah Al Baijuri As Syafi’i 2/311).
Adapun bagi orang yang memperoleh hadiah atau sedekah daging qurban diperbolehkan memanfaatkannya sekehendaknya, bisa dimakan, dijual atau yang lainnya. Akan tetapi tidak diperkenankan menjualnya kembali kepada orang yang memberi hadiah atau sedekah kepadanya (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, 69)
Menyembelih Satu Kambing Untuk Makan-Makan Panitia? Atau Panitia Dapat Jatah Khusus?
Status panitia maupun jagal dalam pengurusan hewan qurban adalah sebagai wakil dari shohibul qurban dan bukan amil (*****). Karena statusnya hanya sebagai wakil maka panitia qurban tidak diperkenankan mengambil bagian dari hewan qurban sebagai ganti dari jasa dalam mengurusi hewan qurban. Untuk lebih memudahkan bisa diperhatikan ilustrasi kasus berikut:
Adi ingin mengirim uang Rp 1 juta kepada Budi. Karena tidak bisa ketemu langsung maka Adi mengutus Rudi untuk mengantarkan uang tersebut kepada Budi. Karena harus ada biaya transport dan biaya lainnya maka Adi memberikan sejumlah uang kepada Rudi. Bolehkah uang ini diambilkan dari uang Rp 1 juta yang akan dikirimkan kepada Budi?? Semua orang akan menjawab: “TIDAK BOLEH KARENA BERARTI MENGURANGI UANGNYA BUDI.”
Status Rudi pada kasus di atas hanyalah sebagai wakil Adi. Demikian pula qurban. Status panitia hanya sebagai wakil pemilik hewan, sehingga dia tidak boleh mengambil bagian qurban sebagai ganti dari jasanya. Oleh karena itu, jika menyembelih satu kambing untuk makan-makan panitia, atau panitia dapat jatah khusus sebagai ganti jasa dari kerja yang dilakukan panitia maka ini tidak diperbolehkan.
(*****) Sebagian orang menyamakan status panitia qurban sebagaimana status amil dalam zakat. Bahkan mereka meyebut panitia qurban dengan ‘amil qurban’. Akibatnya mereka beranggapan panitia memiliki jatah khusus dari hewan qurban sebagaimana amil zakat memiliki jatah khusus dari harta zakat. Yang benar, amil zakat tidaklah sama dengan panitia pengurus qurban. Karena untuk bisa disebut amil, harus memenuhi beberapa persyaratan. Sementara pengurus qurban hanya sebatas wakil dari shohibul qurban, sebagaimana status sahabat Ali radhiallahu ‘anhu dalam mengurusi qurban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak ada riwayat Ali radhiallahu ‘anhu mendapat jatah khusus dari qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nasehat & Solusi Untuk Masalah Kulit
Satu penyakit kronis yang menimpa ibadah qurban kaum muslimin bangsa kita, mereka tidak bisa lepas dari ‘fiqh praktis’ menjual kulit atau menggaji jagal dengan kulit. Memang kita akui ini adalah jalan pintas yang paling cepat untuk melepaskan diri dari tanggungan mengurusi kulit. Namun apakah jalan pintas cepat ini menjamin keselamatan??? Bertaqwalah kepada Allah wahai kaum muslimin… sesungguhnya ibadah qurban telah diatur dengan indah dan rapi oleh Sang Peletak Syari’ah. Jangan coba-coba untuk keluar dari aturan ini karena bisa jadi qurban kita tidak sah. Berusahalah untuk senantiasa berjalan sesuai syari’at meskipun jalurnya ‘kelihatannya’ lebih panjang dan sedikit menyibukkan. Jangan pula terkecoh dengan pendapat sebagian orang, baik ulama maupun yang ngaku-ngaku ulama, karena orang yang berhak untuk ditaati secara mutlak hanya satu yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka semua pendapat yang bertentangan dengan hadis beliau harus dibuang jauh-jauh.
Tidak perlu bingung dan merasa repot. Bukankah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah mengurusi qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jumlahnya 100 ekor onta?! Tapi tidak ada dalam catatan sejarah Ali bin Abi thalib radhiallahu ‘anhu bingung ngurusi kulit dan kepala. Demikianlah kemudahan yang Allah berikan bagi orang yang 100% mengikuti aturan syari’at. Namun bagi mereka (baca: panitia) yang masih merasa bingung ngurusi kulit, bisa dilakukan beberapa solusi berikut:
  • Kumpulkan semua kulit, kepala, dan kaki hewan qurban. Tunjuk sejumlah orang miskin sebagai sasaran penerima kulit. Tidak perlu diantar ke rumahnya, tapi cukup hubungi mereka dan sampaikan bahwa panitia siap menjualkan kulit yang sudah menjadi hak mereka. Dengan demikian, status panitia dalam hal ini adalah sebagai wakil bagi pemilik kulit untuk menjualkan kulit, bukan wakil dari shohibul qurban dalam menjual kulit.
  • Serahkan semua atau sebagian kulit kepada yayasan islam sosial (misalnya panti asuhan atau pondok pesantren). (Terdapat Fatwa Lajnah yang membolehkan menyerahkan bagian hewan qurban kepada yayasan).
Mengirim sejumlah uang untuk dibelikan hewan qurban di tempat tujuan (di luar daerah pemilik hewan) dan disembelih di tempat tersebut? atau mengirimkan hewan hidup ke tempat lain untuk di sembelih di sana?
Pada asalnya tempat menyembelih qurban adalah daerah orang yang berqurban. Karena orang-orang yang miskin di daerahnya itulah yang lebih berhak untuk disantuni. Sebagian syafi’iyah mengharamkan mengirim hewan qurban atau uang untuk membeli hewan qurban ke tempat lain – di luar tempat tinggal shohibul qurban – selama tidak ada maslahat yang menuntut hal itu, seperti penduduk tempat shohibul qurban yang sudah kaya sementara penduduk tempat lain sangat membutuhkan. Sebagian ulama membolehkan secara mutlak (meskipun tidak ada tuntutan maslahat). Sebagai jalan keluar dari perbedaan pendapat, sebagian ulama menasehatkan agar tidak mengirim hewan qurban ke selain tempat tinggalnya. Artinya tetap disembelih di daerah shohibul qurban dan yang dikirim keluar adalah dagingnya. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 2997, 29048, dan 29843 & Shahih Fiqih Sunnah, II/380
Kesimpulannya, berqurban dengan model seperti ini (mengirim hewan atau uang dan bukan daging) termasuk qurban yang sah namun menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tiga hal:
  • Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radiallahu ‘anhum tidak pernah mengajarkannya
  • Hilangnya sunnah anjuran untuk disembelih sendiri oleh shohibul qurban
  • Hilangnya sunnah anjuran untuk makan bagian dari hewan qurban.
Wallaahu waliyut taufiq.
Bagi para pembaca yang ingin membaca penjelasan yang lebih lengkap dan memuaskan silakan baca buku Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diterjemahkan Ustadz Aris Munandar hafizhahullah dari Talkhish Kitab Ahkaam Udh-hiyah wadz Dzakaah karya Syaikh Al Utsaimin rahimahullah, penerbit Media Hidayah. Semoga risalah yang ringkas sebagai pelengkap untuk tulisan saudaraku Abu Muslih hafizhahullah ini bermanfaat dan menjadi amal yang diterima oleh Allah ta’ala, sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta seluruh pengikut beliau yang setia. Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin.
Yogyakarta, 1 Dzul hijjah 1428
Keutamaan Tanggal 1 Sampai 10 Dzul Hijjah
Dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ما من أيّام العمل الصّالح فيها أحبّ إلى اللّه من هذه الأيّام – يعني أيّام العشر – قالوا : يا رسول اللّه ولا الجهاد في سبيل اللّه ؟ قال : ولا الجهاد في سبيل اللّه ، إلاّ رجل خرج بنفسه وماله ، فلم يرجع من ذلك بشيء.
Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan selama 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah.” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud & dishahihkan Syaikh Al Albani)
Berdasarkan hadis tersebut, ulama’ sepakat dianjurkannya berpuasa selama 8 hari pertama bulan Dzul hijjah. Dan lebih ditekankan lagi pada tanggal 9 Dzul Hijjah (Hari ‘Arafah)
Diceritakan oleh Al Mundziri dalam At Targhib (2/150) bahwa Sa’id bin Jubair (Murid terbaik Ibn Abbas) ketika memasuki tanggal satu Dzul Hijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah sampai hampir tidak bisa mampu melakukannya.
Bagaimana dengan Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzul Hijjah) Secara Khusus?
Terdapat hadis yang menyatakan: “Orang yang berpuasa pada hari tarwiyah maka baginya pahala puasa satu tahun.” Namun hadis ini hadits palsu sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Zauzy (Al Maudhu’at 2/198), As Suyuthi (Al Masnu’ 2/107), As Syaukani (Al Fawaidul Majmu’ah).
Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzul Hijjah karena hadisnya dhaif. Namun jika berpuasa karena mengamalkan keumuman hadis shahih di atas maka diperbolehkan. (disarikan dari Fatwa Yas-aluunaka, Syaikh Hissamuddin ‘Affaanah). Wallaahu a’lam.
***
Penulis: Ammi Nur Baits

ANTARA UDHIYAH (BERQURBAN) DAN TADHIYAH (BERKORBAN)

Setelah berpisah dengan ‘Iedul Fithri yang baru lalu, insyaa-allah sebentar lagi kita akan dipertemukan kembali dengan hari raya kedua dalam Islam, ‘Iedul Adha, yang insya-allah akan serempak jatuh pada hari Jum’at, 26 Oktober 2012. Itulah dua hari raya yang dimiliki oleh kaum muslimin. Jika ‘Iedul Fithri terkait dan tergantung pada rukun ibadah
shaum Ramadhan, maka ‘Iedul Adha terkait dan tergantung pada rukun ibadah haji ke Baitullah di Tanah Suci. Salah satu hikmah yang bisa kita petik dibalik pengaitan kedua ‘ied tersebut dengan kedua rukun Islam itu adalah agar penyambutan dan peringatan kedua hari kegembiraan islami tersebut tetap dalam nuansa ibadah yang penuh kekhusyukan, dan didasari oleh komitmen syar’i yang tinggi. Yaumun-Nahr
‘Iedul Adha adalah nama lain dari Yaumun-Nahr yang merupakan “harinya jamaah haji” yang bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijah ketika jamaah haji sampai di Mina – setelah malamnya mabit di Muzdalifah, dan sehari sebelumnya wuquf di Arafah – untuk melempar jumrah Aqabah, menyembelih hadyu dan bercukur. Dan Yaumun-Nahr berarti hari penyembelihan karena amalan yang paling utama dan menonjol pada hari istimewa itu adalah menyembelih udhiyah atau hewan qurban (dan juga hewan-hewan yang lainnya selain qurban bagi jamaah haji). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Tidak ada satu amal pun yang dilakukan seorang anak manusia pada Yaumun-Nahr yang lebih dicintai Allah selain mengalirkan darah (hewan qurban yang disembelih). Maka berbahagialah kamu karenanya” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim dengan sanad yang shahih). Berdasarkan hadits tersebut, berqurban merupakan amalan yang paling istimewa yang tidak bisa digantikan oleh amalan-amalan lain pada hari istimewa itu, dan menyembelih udhiyah tetap lebih afdhal daripada bershadaqah yang senilai dengan harga hewan qurban, sebagaimana di-tarjih oleh banyak ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan lain-lain. Oleh karena itu – dalam rangka menyambut ‘Iedul Adha – patutlah bagi setiap orang Islam yang mampu agar mengikhlaskan niat, menguatkan tekad hati dan mempersiapkan diri untuk memprioritaskan pelaksanaan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini yang sekaligus merupakan sunnah imam para muwahhidin (orang-orang yang mentauhidkan Allah), yakni Khalilullah Nabi Ibrahim ‘alaihis-salam (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah}.
Ibadah Persembahan
Menyembelih udhiyah merupakan salah satu bentuk ibadah ritual yang hanya boleh dipersembahkan dan ditujukan dengan ikhlas kepada Allah semata. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Maka dirikanlan shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah (karena Tuhanmu pula)” (QS. Al-Kautsar [108]: 2). Dengan demikian prosesi menyembelih hewan qurban yang dilakukan sebagai ibadah ritual persembahan untuk Allah Ta’ala adalah salah satu bentuk representasi kemurnian iman dan tauhid seorang mukmin. Allah berfirman (yang artinya): “Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadah sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam; tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (kepada Allah)” (QS. Al-An’am [6]: 162). Dan sebaliknya memperuntukkan dan mempersembahkan sembelihan apapun kepada selain Allah adalah sebuah tindakan syirik yang dilaknat oleh Allah (lihat HR. Muslim). Dan memang penyembelihan hewan sebagai persembahan untuk selain Allah (yakni untuk berhala-berhala) merupakan salah satu bentuk ritual istimewa yang biasa dilakukan oleh orang-orang musyrik sepanjang sejarah. Sebagaimana ritual yang sama juga biasa dilakukan oleh para dukun dan penyihir sebagai bentuk persembahan kepada jin yang dimintai bantuan dalam aktivitas perdukunan dan penyihiran mereka. Atau itu juga biasa menjadi salah satu persyaratan yang mereka minta agar dilakukan oleh orang-orang yang mendatangi mereka untuk berbagai maksud dan tujuan, seperti pengobatan, perjodohan dan lain-lain. Apa yang sering kita dengar tentang adanya penanaman kepala kerbau, sapi, kambing atau yang lainnya dalam proses pembangunan rumah, jembatan dan proyek-proyek lainnya misalnya, hanyalah contoh dan bentuk lain dari ritual penyembelihan syirik tersebut. Kita juga tidak jarang mendengar adanya ritual mempersembahkan hewan-hewan tertentu dalam penanggulangan bencana-bencana alam yang banyak terjadi di Tanah Air. Mungkin juga ada yang melakukan hal semacam itu dalam upaya penanggulangan bencana lumpur Lapindo misalnya. Itu semua dan semacamnya adalah tindak kenaifan yang sangat tidak logis disamping merupakan penyimpangan akidah yang sangat memprihatinkan.
Hikmah Qurban
Sebagai persembahan untuk Allah, hewan qurban disyaratkan harus baik, sehat dan sempurna. Semakin baik dan sempurna hewan qurban seseorang, maka semakin baik dan sempurna pulalah nilai ibadah dan pahalanya di sisi Allah. Dan sebaliknya, tidak boleh atau tidak sah seseorang berqurban dengan hewan yang cacat dengan kecacatan yang nyata, seperti juling yang nyata, sakit yang nyata, pincang yang nyata, kurus yang nyata (lihat HR. Ahmad, Ash-habus Sunan dan Ibnu Hibban, dishahihkan oleh At-Tirmidzi), dan cacat-cacat sejenis lainnya. Dari sini kita mengambil pelajaran besar bahwa, apapun yang kita persembahkan untuk Allah dalam hidup ini haruslah kita lakukan dengan penuh totalitas, tidak setengah-setengah, dan bersifat sempurna yang tidak mengandung cacat, tentu sebatas kemampuan. Baik itu dalam hal shalat, puasa, zakat, infaq, haji, dakwah, jihad, berkorban dan lain-lain.
Dan karena sifatnya sebagai persembahan khusus untuk Allah itu pula, maka menurut jumhur ulama, tidak ada bagian manapun dari hewan qurban yang boleh dijual atau dijadikan sebagai upah jagal misalnya, termasuk kulitnya, bulunya dan bahkan kain penutup yang dipakaikan pada hewan qurban sebagai penahan cuaca panas dan dingin sejak seekor hewan telah ditetapkan sebagai udhiyah sampai saat disembelih. Karena sejak ditetapkan sebagai qurban yang dipersembahkan untuk Allah, maka hewan udhiyah itu telah murni menjadi “milik” Allah. Dan Allah Ta’ala – melalui Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam – hanya mengizinkan agar “milik”-Nya itu dikonsumsi oleh pequrban dan keluarganya, disimpan, dan dibagi-bagikan sebagai sedekah atau hadiah, dan tidak untuk dijual (HR.Muttafaq ‘alaih). Dan dari sini kita kita mendapatkan pelajaran besar bahwa, jika kita benar-benar telah menjual jiwa, harta dan segala milik kita kepada Allah (lihat QS. At-Taubah [9]: 111), yang berarti jiwa, harta dan semua milik kita telah murni menjadi ”milik” Allah, maka apapun yang kita lakukan terhadap apa-apa yang ada pada kita itu haruslah atas seizin dan perkenan Sang Pemilik, Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan bukan sekehendak dan semau kita sendiri.
Antara Udhiyah dan Tadhiyah
Ada hikmah lain yang sangat penting di balik syariat ibadah ber-udhiyah, yakni adanya keterkaitan yang sangat erat antara udhiyah (berqurban, menyembelih hewan qurban) dan tadhiyah (berkorban secara umum), baik secara bahasa maupun secara makna. Secara bahasa, udhiyah dan tadhiyah berasal dari kata dhahha yudhahhi yang berarti berqurban dan berkorban sekaligus. Adapun secara makna, ber-udhiyah adalah bagian dari tadhiyah, karena memang esensi dari ibadah qurban (ber-udhiyah) adalah pengorbanan itu sendiri. Apalagi jika kita mengingat bagaimana pada mulanya sunnah qurban ini harus dilaksanakan oleh Khalilullah Ibrahim ‘alaihis-salam, dimana beliau diperintahkan untuk berkorban dan berqurban dengan menyembelih putra tercinta beliau, Nabi Ismail ‘alaihis-salam, meskipun akhirnya ditukar dengan sembelihan kambing yang besar, setelah terbukti secara nyata ketaatan dan kesabaran beliau berdua dalam memenuhi perintah Allah (lihat QS. Ash-Shaaffaat [37]: 102-107). Maka ibadah ber-udhiyah, dengan demikian, akan menanamkan dalam diri kita dan diri setiap pequrban kecintaan dan semangat untuk selalu siap berkorban dengan apa saja yang kita miliki di jalan Islam, dakwah dan perjuangan, yang merupakan syarat untuk mencapai kemenangan Islam dan mengembalikan’izzah (kemuliaan) serta kekuatan kaum muslimin sebagai khairu ummah (sebaik-baik ummat). Maka marilah kita selalu ber-udhiyah (berqurban) dan ber-tadhiyah (berkorban) agar kita dan ummat kita tidak selalu menjadi atau dijadikan korban! Ingat, kita adalah ummat pequrban dan bukan ummat korban! Wassalam.

Oleh:Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri, MA