“Inilah jalanku: aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” (Yusuf:108).

Jama'ah Penuh Berkah

Tidak ada dakwah tanpa kepemimpinan. Kadar tsiqah antara qiyadah dan jundiyah menjadi penentu bagi sejauh mana kekuatan sistem jamaah, kemantapan langkah-langkahnya, keberhasilan dalam mewujudkan tujuan-tujuannya, dan kemampuannya dalam mengatasi berbagai tantangan dan kesulitan.

Bekerja Untuk Ummat

Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (9:105)

Inilah Jalan Kami

Katakanlah: Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik. (12:108)

Yang Tegar Di Jalan Dakwah

Biduk kebersamaan kita terus berjalan. Dia telah menembus belukar, menaiki tebing, membelah laut. Sayatan luka, rasa sakit, air mata adalah bagian dari tabiat jalan yang sedang kita lalui. Dan kita tak pernah berhenti menyusurinya, mengikuti arus waktu yang juga tak pernah berhenti.

Kesungguhan Membangun Peradaban

Semua kesungguhan akan menjumpai hasilnya. Ini bukan kata mutiara, namun itulah kenyataannya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang diusahakan dengan sepenuh kesungguhan.

Minggu, 29 Juli 2012

PETUNJUK SINGKAT MASALAH NIFAS DAN HAID SAAT PUASA

* Di sepakati bahwa wanita haid dan nifas termasuk mereka yang memiliki uzur utk tidak puasa dan harus mengqadha di kemudian hari.

* Jika haid datang di siang hari, walaupun sesaat menjelang maghrib, maka puasa hari itu batal. Dia harus mengqadha..

* Jika wanita haidh yakin telah suci (darah berhenti) sesaat sebelum terbit fajar, maka dia harus niat dan berpuasa hari itu, walaupun belum sempat mandi dari haid. Hal itu tdk mengapa, karena dibolehkan memulai puasa dalam keadaan hadats besar, sebagaimana Nabi saw pernah mengalaminya.

* Jika wanita haid mengalami suci di pagi hari setelah terbit fajar. Puasa hari itu tidak dianggap dan dia harus mengqadha. Hanya saja, apakah dia harus berpuasa hari itu atau boleh berbuka?


Sebagian ulama mengatakan dia harus berpuasa. Tapi sebgian lainnya mengatakan tidak mengapa dia berbuka, sebab asalnya puasanya sudah tidak dianggap. Pendapat terakhir lebih kuat, namun hendaknya jika makan dan minum tidak di depan umum...

* Jika darah haid tetap keluar melebihi hari kebiasaannya... dia tetap dianggap haid selama diyakini darah yg keluar adalah darah haidh, kecuali jika keluar terus menerus melebihi 15 hari, maka darah tsb dianggap istihadhah...

* Adapun bagi wanita nifas... selama darah keluar dan tdk lebih 40 hari, maka dia dianggap nifas dan tidak wajib puasa dan shalat.

40 hari batas maksimal, sedngkan minimalnya tdk ada. Kapan saja darah berhenti, walaupun belum 40 hari, dia berarti telah suci. Maka wajib baginya shalat dan puasa..

Begitupula jika darah keluar melebih 40 hari.. maka setelah lebih dari 40 hari tdk lagi dianggap nifas. Darahnya dianggap istihadhah... dia harus puasa dan shalat.

Wallahua'lam





Oleh : Abdullah Haidir, Lc

Selasa, 24 Juli 2012

RAMADHAN MOMENTUM PERUBAHAN

“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa (di bulan Ramadhan) sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu (menjadi lebih ) bertaqwa” (QS.Al-Baqarah: 183).
Ramadhan adalah bulan istimewa bahkan paling istimewa, karena Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhususkannya dengan beragam keistimewaan dan bermacam kelebihan yang tidak terdapat di bulan-bulan yang lain. Dan karenanya, Ramadhan merupakan salah satu momentum paling istimewa dan paling kondusif bagi kaum muslimin, secara individual maupun komunal, untuk melakukan upaya-upaya penempaan, perbaikan dan perubahan diri serta kehidupan dalam rangka mencapai tingkat keimanan, ketaqwaan dan keshalehan yang lebih tinggi, dan untuk menggapai derajat kepribadian mukmin-mukmin sejati yang diidam-idamkan. Dan untuk itu, maka berbagai faktor pendukungpun disediakan dan diberikan dalam bulan yang mulia dan penuh berkah tersebut, disamping faktor-faktor penghalang juga dijauhkan dan dihilangkan.
Maka beruntung dan berbahagialah orang yang mampu dan mau mengoptimalkan pemanfaatan momentum istimewa ini, sehingga pasca Ramadhan iapun seperti terlahir kembali – dengan izin dan taufiq Allah – menjadi sosok pribadi mukmin baru yang serba istimewa pula. Dan sebaliknya, merugilah – dunia akherat – orang yang mengabaikan dan menyia-nyiakannya, sehingga Ramadhan demi Ramadhan lewat dan berlalu begitu saja, tanpa meninggalkan perubahan apapun dalam diri pribadi dan kehidupannya.
BULAN PUASA (Syahrush-Shiyam)
Faktor pertama dan utama yang menjadikan Ramadhan sebagai momentum istimewa bagi perubahan dan perbaikan adalah, dipilihnya bulan tersebut bagi pelaksanaan fardhu puasa yang merupakan salah satu rukun utama dalam Islam. Dan puasa, sebagaimana penegasan Allah, adalah salah satu sarana teristimewa untuk menggapai derajat ketaqwaan yang lebih tinggi (QS.Al-Baqarah: 183).
Namun puasa yang dimaksud tentu bukanlah puasa parsial yang hanya terbatas pada puasa menahan diri dari lapar dan dahaga semata. Melainkan ia adalah puasa total dengan mempuasakan seluruh entitas diri seorang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan nista, maka sekali-kali Allah tidak butuh pada puasanya dengan hanya meninggalkan makan dan minum saja” (HR.Al-Bukhari). Dan sabda beliau pula (yang artinya): “Jika salah seorang diantara kamu sedang berpuasa, maka janganlah ia berlaku tidak senonoh atau membuat keributan. Dan jika seseorang mencacinya atau mengajaknya berkelai, maka hendaklah ia berkata: sungguh aku sedang berpuasa!” (HR.Muttafaq ‘alaih).
Dan agar bisa total, optimal dan tidak parsial, maka puasa kita harus meliputi:
• Mempuasakan hati dan pikiran
• Mempuasakan emosi dan perasaan
• Mempuasakan syahwat perut
• Mempuasakan syahwat seks
• Mempuasakan syahwat lidah dan mulut
• Mempuasakan syahwat mata
• Mempuasakan syahwat telinga
• Mempuasakan syahwat tangan
• Mempuasakan syahwat kaki
• Dan mempuasakan syahwat-syahwat yang lainnya.
Puasa total seperti itulah yang akan mewujudkan perubahan besar dalam diri pribadi dan kehidupan orang perorang secara khusus dan juga masyarakat secara umum. Adapun puasa parsial yang hanya merubah jadwal makan dan minum dari siang ke malam saja, maka tidak akan meninggalkan perubahan yang berarti.
BULAN AL-QUR’AN (Syahrul Qur’an)
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil).” (QS.Al-Baqarah: 185).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): ”Sesungguhnya Allah meninggikan dengan Al-Qur’an ini derajat kaum-kaum tertentu (karena berinteraksi dengannya secara baik), dan merendahkan dengannya pula derajat kaum-kaum yang lain lagi (karena mengabaikan, menjauhi dan meninggalkannya)” (HR.Muslim).
Al-Qur’an sebagai sumber petunjuk, cahaya dan rahmat bagi kaum muttaqin, merupakan salah satu kunci utama yang paling efektif untuk membuka pintu-pintu perubahan dan perbaikan dalam diri pribadi dan kehidupan ummat serta masyarakat beriman. Dan hal itu hanya bisa terwujud melalui adanya pola interaksi dan hubungan yang baik dan harmonis dengan Kitabullah ini. Semakin dekat dan harmonis hubungan seseorang atau suatu masyarakat dengan Al-Qur’an, maka akan semakin terbukalah pintu-pintu perubahan dan perbaikan dalam kehidupan orang dan masyarakat tersebut. Dan Ramadhan adalah momentum yang paling tepat dan kondusif untuk membangun dan meningkatkan keharmonisan hubungan dan interaksi dengan wahyu terakhir dari Allah ini.
BULAN LIMPAHAN RAHMAT (Syahrur-Rahmah)
• Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, Allah telah mewajibkan atas kamu berpuasa di bulan ini ……., dan di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, barangsiapa yang tidak mendapat bagian kebaikannya, maka sungguh berarti ia telah dijauhkan dari rahmat Allah” (HR.An-Nasa’i, Al-Baihaqi dan dishahihkan oleh Al-Albani).
• Ramadhan adalah bulan limpahan rahmat, curahan berkah, dan peluang istimewa bagi pembebasan diri dari api Neraka.
• Selama Ramadhan, doa-doa dikabulkan, munajat didengar oleh Allah Ta’ala, tobat dan istighfar hamba-hamba pendosa diterima oleh Dzat Maha Pengampun dan Penerima taubat. Maka selama Ramadhan, dosa-dosapun berguguran, kecuali bagi orang-orang yang memang tidak ingin dosa-dosanya diampunkan.
• Pahala amal dan ibadah dilipat gandakan, sampai-sampai ada satu malam diantara malam-malam istimewa Ramadhan, yang disebut Lailatul Qadr, yang keutamaan, fadhilah dan nilainya mengungguli seribu bulan (QS.Al-Qadr: 1-5).
• Ibadah-ibadah di bulan Ramadhan terasa demikian nikmat dan lezat, sehingga semangat dan motivasi beribadah pun meningkat sangat mencolok, khususnya pada sepuluh malam terakhir, dimana disunnahkan beri’tikaf di masjid dengan berbagai rangkaian ibadah khususnya, sebagai upaya puncak untuk menggapai taqwa. Dan karena keistimewaan ini, bulan Ramadhan bisa menjadi parameter ibadah setiap orang beriman, baik secara kuantitas maupun kualitas.
BULAN BEBAS GANGGUAN SYETAN (Syahrul-Khalash Minasy-Syaithan)
• Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Apabila bulan Ramadhan telah tiba, maka pintu-pintu Surga dibuka selebar-lebarnya, pintu-pintu Neraka ditutup serapat-rapatnya, dan syetan-syetan pengganggu dibelenggu/dirantai seerat-eratnya” (HR.Muttafaq ‘alaih).
• Ramadhan – dengan keistimewaan spesial ini – adalah cermin terbaik dimana seseorang bisa melihat dan berhadap-hadapan face to face dengan jiwa dan dirinya sendiri tanpa campur tangan dan gangguan syetan yang selama ini selalu menjadi penghalang dan pengganggu utama, tentu dalam rangka muhasabah dan evaluasi diri menuju kepribadian Islami yang paripurna.
• Keleluasaan yang sangat langka untuk penempaan dan pembinaan diri dan masyarakat secara optimal, total dan integral, menuju perubahan dan reformasi hakiki sesuai dengan standar Islami.
• Selama Ramadhan pintu-pintu ketaatan terbuka selebar-lebarnya dan peluang-peluang kebaikan tersedia sebanyak-banyaknya, sementara itu jalan-jalan kemaksiatan, keburukan dan kejahatan disempitkan sesempit-sempitnya. Dan ini merupakan salah satu faktor pendukung perubahan diri yang paling penting, dan yang harus dimanfaatkan seoptimal mungkin selama Ramadhan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Dan seorang penyeru (dari malaikat) pun menyeru (ketika Ramadhan tiba): Wahai orang yang menginginkan kebaikan, kemari dan datanglah! Wahai orang yang menginginkan keburukan, surut dan mundurlah!” (HR.At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah).
Itulah beberapa faktor pendukung yang menjadikan bulan Ramadhan sebagai momentum perubahan yang sangat istimewa. Tentu saja masih banyak faktor lain yang tidak disebutkan disini. Semoga yang disebutkan diatas sudah cukup mewakili untuk bisa memotivasi semangat kita dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan setiap Ramadhan bagi terealisasikannya perubahan besar dalam diri dan kehidupan kita.
Namun perlu dicatat bahwa, Ramadhan adalah salah satu momentum istimewa bagi upaya perubahan, dan bukan satu-satunya. Masih banyak momentum yang lainnya. Bahkan setiap saat dalam kehidupan kita bisa menjadi momentum perubahan, selama ada niat, kemauan, tekad dan kesungguhan! Maka jangan ada yang salah persepsi, sehingga menganggap jika seseorang ingin berubah menjadi lebih baik, maka ia harus menunggu sampai Ramadhan tiba! Tidak, justru prinsip yang harus kita yakini dan pegangi dalam hal ini adalah bahwa, siapapun yang ingin dan mau berubah, maka ia harus melakukannya saat ini juga, dan tidak menunda-nunda lagi, termasuk tidak perlu menunggu datangnya bulan Ramadhan! Karena tidak ada seorangpun yang tahu, apakah ia masih akan dapat kesempatan untuk bisa berjumpa dengan Ramadhan yang ditunggu-tunggu itu atau tidak.
INDIKASI PERUBAHAN DIRI PASCA RAMADHAN:
• Berbahagia dan bergembira karena merasa telah cukup optimal dalam mengisi dan memanfaatkan Ramadhan, dan bukan karena bulan Ramadhan dan puasanya telah usai dan “lebaran” (baca: bubaran)!
• Berhasil membuat syetan kecewa dan kecele, karena telah memiliki “kekebalan” dan “immunitas” istimewa terhadap godaan, bisikan dan ajakan jahatnya pasca Ramadhan, setelah si syetan sendiri lepas dari ikatan rantai yang telah membelenggunya selama Ramadhan.
• Tetap atau bahkan semakin semangat dalam beribadah dan beramal, serta lebih bisa merasakan nikmat dan manisnya setiap ibadah dan ketaatan yang ditunaikan.
• Tetap atau bahkan lebih akrab dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an dengan berbagai bentuk interaksi.
• Tetap atau bahkan lebih akrab, dekat dan terikat hati dengan masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa, salah satu diantara tujuh golongan orang yang akan memperoleh naungan Allah pada hari kiamat adalah: “…dan seseorang yang hatinya senantiasa terikat dan terpaut dengan masjid…” (HR.Muttafaq ‘alaih).
• Lebih waspada dan berhati-hati dalam setiap langkah dan prilaku, dengan motivasi menjaga agar lembaran diri yang telah menjadi bersih dan putih kembali dengan datangnya ‘Iedul Fitri, tidak terkotori lagi oleh dosa-dosa dan kemaksiatan-kemaksiatan baru.
• Secara umum tingkat keistiqamahan terjaga dengan baik dan bahkan meningkat secara signifikan.
• Memiliki kepribadian yang stabil, karena lebih mampu mengontrol diri dan mengendalikan nafsu, yang merupakan salah satu tujuan dan hikmah utama ibadah puasa.
• Meningkatnya orientasi ukhrawi dalam menjalani setiap aktivitas dalam hidup.
• Lebih mampu menegakkan hidup disiplin berdasarkan standar Islami, dengan mengatur dan menjalani segala aktivitas sesuai dengan agenda dan jadual Allah.
Oleh:Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri, MA

KEBIASAAN TAK SEHAT ORANG INDONESIA SAAT PUASA

Saat bulan Ramadan tiba, seluruh umat Muslim di dunia diwajibkan menunaikan ibadah puasa. Tak hanya untuk mendapatkan pahala, berpuasa juga banyak memberikan manfaat kesehatan. Sayangnya, ada beberapa kebiasaan orang Indonesia yang dinilai tidak sehat dan justru membuat puasa terasa semakin berat.
Jika dilakukan dengan benar, puasa memberikan banyak manfaat untuk kesehatan, antara lain detoksifikasi (membersihkan tubuh), memicu proses penyembuhan dan penurunan berat badan.
Namun beberapa kebiasaan berikut dapat membuat ibadah puasa terasa berat dan juga tak sehat untuk tubuh, seperti dirangkum detikHealth, Senin (23/7/2012):

1. Banyak makan manis saat sahur
“Sebaiknya menghindari makanan yang cepat meningkatkan rasa lapar seperti terlalu manis,” jelas DR. Dr. Saptawati Bardosono, MSc dari Departemen Ilmu Gizi FKUI kepada detikHealth.
Menurut Dr Tati, makanan yang terlalu manis dan karbohidrat sederhana akan meningkatkan gula darah secara cepat namun kemudian akan menurunkannya secara drastis, yang akhirnya akan menyebabkan tubuh kekurangan zat gula sebagai zat tenaga sehingga tubuh cepat lemas, cepat lapar dan mengantuk.

2. Langsung tidur sehabis sahur
“Setelah makan, makanan akan disimpan di dalam lambung. Nah, ketika Anda langsung tidur sehabis sahur, maka makanan itu akan berbalik arah lagi ke atas. Setidaknya beri jedah 1-2 jam,” ujar Dr Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH, dari FKUI-RSCM.
Kondisi ini disebut refluks esofagus. Bila ini terjadi, makanan yang baru saja mencapai lambung akan berbalik arah ke kerongkongan dan membawa asam lambung. Akibatnya, kerongkongan akan terasa kering, panas, membuat mual, mulas dan ingin muntah. Ini akan semakin parah pada penderita maag.

3. Buka puasa pakai gorengan
Gorengan membawa efek yang tidak baik untuk saluran tenggorokan dan pencernaan, terutama bagi orang yang seharian mengosongkan perut. Makanan yang tinggi lemak seperti gorengan akan membuat orang rentan terserang batuk dan memperlambat pengosongan lambung.
Hal ini tidak baik untuk orang yang baru berbuka puasa. Karena setelah 14 jam lambung kosong, tubuh butuh nutrisi yang cukup, tapi dengan adanya lemak tubuh akan merasa sudah kenyang dan akhirnya penyerapan nutrisi pun terhambat.
4. ‘Balas dendam’ saat buka puasa bikin kolesterol naik
“Puasa sebenarnya bagus sekali untuk kesehatan tubuh, sepanjang orang mau membatasi pola makannya. Dan tidak ada itu kata balas dendam,” ujar dr Arieska Ann Soenarta, Sp.JP (K), spesialis penyakit jantung dan pembuluh darah RS Harapan Kita.
Menurut dr Ann, banyak sekali kecenderungan orang makan tidak terkontrol pada bulan puasa, terutama pada saat buka puasa. Hal ini dapat diamati dengan penuhnya restoran-restoran mahal yang menyajikan berbagai makanan termasuk makanan berkolesterol tinggi, di saat buka puasa.

5. Puasa malah makin gemuk karena makan berlebihan
“Pada prinsipnya, orang menjadi gemuk karena makanan yang dikonsumsi lebih banyak dari makanan yang diolah menjadi tenaga. Hal ini banyak terjadi di bulan puasa,” ungkap Dr Samuel Oetoro, SpG.K., ahli gizi klinik FKUI-RSCM.
Biasanya orang yang berpuasa akan makan berlebihan ketika sahur karena takut lemas atau makan balas dendam saat buka. Sedangkan di pagi dan siang harinya, aktivitas fisik yang dilakukan berkurang, banyak tidur dan jarang sekali bergerak. Alhasil, lemak menumpuk dan akhirnya berat badan meningkat.

Sumber : detik.com & cybermed.cbn.net.id

Senin, 23 Juli 2012

BOLEH TAHAJUD / QIYAMULLAIL SESUDAH TARAWIH

Pendapat jumhur ulama, dan ini yang lebih kuat, bahwa orang yang sudah shalat witir di awal malam, tidak ada halangan baginya untuk shalat malam lagi di akhir malam jika dia ingin melakukannya.

Karena terdapat riwayat bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan shalat dua raat setelah shalat witir (HR. Tirmizi, Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh Al-Albany).

Sejumlah ulama, Imam Nawawi di antaranya, menyatakan bahwa perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam ini untuk menunjukkan kebolehan shalat malam setelah shalat Witir.

Dia tidak perlu shalat witir lagi apabila sudah shalat witir sebelumnya. Karena sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ

"Tidak ada dua witir dalam satu malam." (HR. Abu Daud, Tirmizi, dll).

Adapun hadits,

اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا

"Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari dengan shalat Witir," (muttafaq alaih)

dipahami para ulama sebagai hanya sebagai anjuran untuk menjadikan shalat witir sebagai akhir shalat malam. Atau ada juga yang memahami bahwa shalat witir hendaknya didahului oleh shalat-shalat yang genap, karena sebelumnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berbicara, bahwa shalat malam itu dua rakaat.

Intinya adalah bahwa dalam hadits tersebut tidak terdapat larangan untuk shalat malam lagi setelah shalat witir.

Karena itu, bagi yang shalat berjamaah Taraweh, sebaiknya dia ikut shalat bersama imam hingga selesai, termasuk shalat witir bersama imam. Kalaupun di akhir malam dia ingin shalat lagi, dia dapat melakukannya tanpa mengulangi lagi shalat witirnya. Karena shalat bersama imam hingga selesai, dianjurkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan dianggap sebagai shalat malam secara sempurna.

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ

"Sesungguhnya siapa yang shalat (taraweh) bersama imam hingga selesai, akan dicatat baginya qiyamullail secara sempurna." (HR. Tirmizi dan Nasa'i)

Disamping hal tersebut lebih mendatangkan kesatuan dan keutuhan di antara jamaah masjid.

Wallahua'lam.

Oleh : Abdullah Haidir, Lc

SERIAL PUASA (2) : NIAT SHAUM

Kajian spesial bulan suci Ramadhan kedua kedua membahas niat berpuasa.
Hadits 656
وَعَنْ حَفْصَةَ أُمِّ اَلْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا, عَنِ اَلنَّبِيِّ  قَالَ:  مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ اَلصِّيَامَ قَبْلَ اَلْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ 
(رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَمَالَ النَّسَائِيُّ وَاَلتِّرْمِذِيُّ إِلَى تَرْجِيحِ وَقْفِهِ, وَصَحَّحَهُ مَرْفُوعًا اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ.  وَلِلدَّارَقُطْنِيِّ: لاَ صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يَفْرِضْهُ مِنَ اَللَّيْلِ)
Dari Hafshah; Ummul Mukminin radhiallahu anha, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
“Siapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.”
(Diriwayatkan oleh perawi yang lima (Ahmad, Abu Daud, Tirmizi, Nasai dan Ibnu Majah). An-Nasai dan Tirmizi lebih condong menguatkan bahwa hadits ini mauquf. Sedangkan Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah setuju bahwa hadits ini marfu. Sedangkan redaksi dalam riwayat Ad-Daruquthni berbunyi, “Tidak ada puasa bagi yang tidak memantapkan niat di malam hari.”)
Catatan:
-       Hadits mauquf adalah hadits yang riwayatnya hanya sampai kepada shahabat, dalam riwayat di atas hanya sampai kepada Hafshah.
-       Hadits marfu’ adalah hadits yang riwayatkan bersambung terus hingga sampai kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
-       Hadits ini dinyatakan shahih oleh beberapa pakar hadits, di antaranya oleh Al-Albany dalam Shahih Al-Jami Ash-Shagir, no. 11480
 Hadits 657
 وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:  دَخَلَ عَلَيَّ اَلنَّبِيُّ ذَاتَ يَوْمٍ، فَقَالَ: “هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ? ” قُلْنَا: لاَ. قَالَ: فَإِنِّي إِذًا صَائِمٌ ، ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ, فَقُلْنَا: أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ, فَقَالَ: أَرِينِيهِ, فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا  فَأَكَلَ   (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
Dari Aisyah radhiallahu anha, dia berkata,
“Nabi suatu saat mendatangi aku, lalu dia bertanya, ‘Apakah padamu ada sesuatu (makanan)?’ Kami katakan, ‘Tidak.’ Beliau berkata, ‘Kalau begitu aku berpuasa.’ Kemudian pada hari yang lain dia mendatangi kami lagi, maka kami katakan kepadanya, ‘Ada yang memberi kita hais (sejenis makanan).’ Maka beliau berkata, ‘Perlihatkan kepadaku, hari ini aku (sebenarnya) berpuasa.’ Lalu beliau memakannya.”  (HR. Muslim)
Pemahaman dan Kesimpulan Hukum
-       Para ulama berbeda pendapat tentang niat puasa. Sebagian memasukkan niat sebagai rukun puasa, sebagian lainnya menjadikan niat sebagai syarat puasa. Apapun kesimpulannya, orang yang hendak berpuasa diharuskan menyertakan niat berpuasa untuk beribadah karena Allah Ta’ala.
-       Dalam hadits Hafshah (656) disimpulkan bahwa bagi yang ingin berpuasa, diharuskan memantapkan niat di malam sebelum fajar. Waktunya sejak terbenam matahari hingga menjelang terbit fajar.  Para ulama umumnya mengatakan bahwa keharusan ini berlaku pada puasa Ramadan, juga termasuk puasa yang dianggap wajib, seperti puasa nazar, kafarat, dll.
-       Adapun terhadap puasa sunah, dibolehkan jika baru niat di pagi hari setelah fajar, jika dia belum melakukan sesuatu yang membatalkan puasa, berdasarkan dalil hadits Aisyah (657) yang disebutkan berikutnya.
-       Niat itu sendiri adalah berkehendak di dalam hati untuk melakukan sesuatu. Maka seseorang cukup dikatakan telah niat apabila di malam Ramadan dia sudah niat puasa keesokan harinya, atau jika dia makan sahur untuk puasa, maka itu pun sudah dianggap niat. Jika melihat kasusnya, sebenarnya sangat jarang didapatkan seorang muslim yang tinggal di negeri muslim yang tidak niat berpuasa di malam harinya.
-       Tidak ada redaksi khusus yang ditetapkan syariat untuk diucapkan sebagai niat berpuasa. Di sebagian masyarakat, selepas shalat taraweh, jamaah shalat membaca redaksi yang mereka anggap sebagai niat, seperti bacaan “nawaitu shauma ghodin….. “ Sebagian orang merasa dirinya belum niat kalau dia tidak membaca redaksi tersebut. Itu keliru. Sebagaimana telah dikatakan, dia sudah dianggap niat, jika besok dia sudah berencana berpuasa Ramadan, atau dia sahur untuk berpuasa.
-       Apakah cukup niat sekali untuk sebulan Ramadan ataukah niat harus dilakukan setiap malam? Jumhur ulama berpendapat bahwa niat harus dilakukan setiap malam. Sebab menurut mereka, puasa di bulan Ramadan masing-masing berdiri sendiri, kalau ada satu hari yang batal, maka hari-hari lainnya tidak dianggap batal. Adapun yang masyhur dalam mazhab Maliki, niat puasa dapat dilakukan pada malam pertama untuk sebulan, kecuali jika ada satu hari dia tidak berpuasa, maka dia harus berniat lagi untuk puasa hari berikutnya. Karena menurutnya, puasa di bulan Ramadan adalah satu kesatuan yang tak terpisah. Pendapat jumhur ulama lebih hati-hati. Wallahua’lam.
-       Terkait dengan hadits Aisyah (657) di dalamnya terdapat pelajaran tentang kesederhanaan rumah tangga Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan bahwa beliau tidak memberatkan isterinya.
-  Berdasarkan hadits ini (657) para ulama menyimpulkan bahwa dalam puasa sunah, seseorang boleh niat di pagi hari selama belum melakukan sesuatu yang membatalkan puasa. Juga disimpulkan oleh para ulama bahwa dalam puasa sunah, seseorang boleh membatalkannya begitu saja. Apalagi jika ada alasan yang dipandang baik. Namun jika ada alasan mendesak, lebih baik diteruskan berpuasa, bahkan sebagian ulama mengharuskannya. Tetapi dalam puasa wajib, seorang yang telah niat berpuasa, tidak boleh membatalkannya begitu saja, kecuali jika ada uzur/alasan yang diterima syara’. Wallahua’lam.

FIQH SAHUR DAN IFTHOR

Kaum muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah, website tercinta kita ini insya Allah akan menurunkan kajian Kitab Bulughul Maram yang berkenaan dengan bab Shaum Ramadhan secara berkala. Semoga bermanfaat untuk mencerahkan pengetahuan umat Islam. Kaidah pelaksanaan ibadah dalam ajaran agama Islam adalah “al-ittiba’ la al-ibtida’ yaitu mengikuti apa yang diperintahkan dan dilaksanakan Nabi, bukan berkreasi atau membuat-buat sendiri.”
Berikut uraikan fiqh sahur dan ifthor sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad saw.

وَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا, أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ  قَالَ: لاَ يَزَالُ اَلنَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا اَلْفِطْرَ  (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
 Dari Sahal bin Sa’ad radhiallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah bersabda, “Masih ada kebaikan pada orang-orang selama mereka menyegerakan berbuka.” (Muttafaq alaih)
وَلِلتِّرْمِذِيِّ: مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ  عَنِ اَلنَّبِيِّ  قَالَ: قَالَ اَللَّهُ : أَحَبُّ عِبَادِي إِلَيَّ أَعْجَلُهُمْ فِطْرًا
 Dalam riwayat Tirmizi, dari hadits Abu Hurairah, dari Nabi, beliau bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Hamba yang paling Aku cintai adalah mereka yang paling cepat berbuka.”

- وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ  قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ : تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي اَلسَّحُورِ بَرَكَةً  (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
 Dari Anas bin Malik, dia berkata, “Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) bersabda, “Hendaknya kalian makan sahur, sesungguhnya pada makanan sahur terdapat barokah.” (Muttafaq alaih)
وَعَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ اَلضَّبِّيِّ  عَنِ اَلنَّبِيِّ  قَالَ: إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ, فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى مَاءٍ, فَإِنَّهُ طَهُورٌ  (رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ)
Dari Salman bin Amir Adh-Dhabby, dari Nabi, beliau bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian berbuka puasa, hendaklah dia berbuka dengan korma, jika tidak, hendaklah dia berbuka dengan air. Karena air itu mensucikan.” (Riwayat perawi yang lima, dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban serta Al-Hakim)

Pemahaman Hadits dan Kesimpulan Hukum

-       Hadits 658 dan 659 menunjukkan disunahkan segera berbuka apabila telah jelas datang waktu Maghrib atau matahari telah terbenam.
-       Hadits 660 meskipun redaksinya adalah bersifat perintah untuk makan sahur, namun jumhur ulama menyimpulkan bahwa makan sahur merupakan sunah puasa, dan bahwa di dalamnya terdapat barokah.
-       Makan sahur, jika dikaitkan dengan kata-kata sahar yang berarti akhir malam, menunjukkan bahwa yang disunahkan dalam makan sahur adalah mengakhirkannya. Hal ini dikuatkan oleh beberapa hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menganjurkan untuk segera berbuka dan mengakhirkan sahur.
-       Makan sahur dikatakan barokah karena di dalamnya terdapat beberapa kebaikan; Padanya terdapat pelaksanaan sunah Nabi. Pembeda antara puasa orang-orang Islam dengan Ahlul Kitab. Waktu sahur termasuk sepertiga malam terakhir, waktu yang dianjurkan beristighfar dan waktu yang mustajabah saat Allah Ta’ala turun ke langit dunia dan memenuhi keinginan hamba-Nya yang meminta kepada-Nya.
-       Menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur kembali menunjukkan bahwa waktu puasa Ramadan hendaknya jelas awal dan akhirnya.
-       Hadits 661 menunjukkan tentang makanan yang disunahkan untuk dimakan pertama kali saat berbuka. Berdasarkan hadits di atas, yang pertama dimakan adalah korma. Jika tidak ada, maka berbuka dengan air putih. Dalam riwayat Abu Daud dan Tirmizi diriwayatkan bahwa yang pertama kali beliau makan adalah ruthab (korma setengah matang), jika tidak ada ruthab, memakan korma, jika tidak ada korma, maka meminum beberapa teguk air putih.
-          Sedikit agak berbeda dengan apa yang sering diungkapkan, bahwa kalau tidak ada korma maka berbuka dengan sesuatu yang manis. Jika merujuk hadits ini adalah bahwa jika tidak ada korma, maka hendaknya berbuka dengan air putih. Wallahua’lam.
-       Air putih dikatakan mensucikan dalam hadits ini maksudnya adalah membersihkan lambung dan pencernaan.
Beberapa Hukum dan Ketentuan Terkait Berbuka
-       Menyegarakan berbuka, selain merupakan bentuk bersegara dalam kebaikan yang Allah tawarkan, dia juga merupakan sikap untuk berbeda dengan orang Yahudi dan Nashrani yang menunda waktu berbuka mereka. Begitu pula makan, sahur, selain bahwa di dalamnya terdapat barokah, juga dengan melakukan makan sahur, akan menjadi pembeda puasa kita dengan puasa ahli kitab. Sebagaimana dijelaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
-       Jika masih ragu, apakah waktu maghrib sudah masuk atau belum, tidak dibolehkan berbuka. Apalagi jika diyakini bahwa matahari belum tenggelam. Karena hukum asalnya adalah siang, jika terbenamnya matahari masih diragukan, maka yang dianggap adalah hari masih siang. Akan tetapi, jika diduga kemungkinan besar matahari telah tenggelam, dibolehkan berbuka.
-       Jika seseorang berbuka puasa dengan keyakinan matahari telah tenggelam. Namun terbukti kemudian bahwa matahari masih tampak. Maka berdasarkan pendapat jumhur ulama, dia harus melanjutkan puasa hingga Maghrib tapi harus mengqadha puasa hari itu.
-       Perlu diperhatikan pula sunah berbuka lainnya, yaitu berdoa, baik dengan doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, atau dengan doa-doa kebaikan yang diinginkan. Karena saat itu termasuk waktu yang mustajabah. Disunahkan pula memberi makan orang berbuka. Dapat dilakukan dengan memberi sumbangan berbuka, atau memasak sendiri dan mengundang orang untuk berbuka puasa.
-       Jika seseorang naik pesawat di siang hari dalam keadaan puasa, maka jika dia ingin meneruskan puasanya, berbukanya ditentukan dengan tenggelamnya matahari saat dia di pesawat, bukan berdasarkan waktu di negaranya atau di tempat tujuannya. Walaupun konsekwensinya bisa lebih cepat atau lebih lama dari waktu yang biasa dia lakukan di darat.
Beberapa Hukum Dan Ketentuan Terkait Makan Sahur
-       Jika ketika berbuka, sunahnya adalah disegerakan, maka sahur sunahnya adalah diakhirkan. Hanya saja, jika diyakini telah masuk waktu fajar, harus langsung dihentikan.
-       Berbeda dengan berbuka, dalam sahur jika masih ragu apakah sudah terbit fajar atau belum, maka masih dibolehkan makan sahur. Karena asalnya adalah tetapnya malam. Jika terbitnya fajar masih diragukan, maka yang dianggap bahwa hari masih malam. Bahkan jika seseorang bangun dari tidur, lalu dia menganggap hari masih gelap dan fajar belum terbit, kemudian dia meminum segelas air, lalu terbukti bahwa ternyata waktu Shubuh sudah masuk, maka puasanya tetap sah.
-       Tetap menyantap makanan saat azan berkumandang, sedangkan azan tersebut diyakini dikumandangkan setelah waktu fajar telah masuk, merupakan kekeliruan. Pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang dibolehkan untuk terus makan saat azan adalah apabila  azannya Bilal. Karena Bilal, kebiasaannya azan beberapa lama sebelum terbit fajar, yaitu sebagai azan pertama untuk menunjukkan bahwa terbitnya fajar telah dekat. Adapun apabila mendengar azan Abdullah bin Ummi Maktum, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang kaum muslimin (yang hendak berpuasa) untuk meneruskan makannya, sebab Abdullah bin Umi Maktum seorang buta, dia tidak mengumandangkan azan sebelum ada orang yang memberitahu bahwa waktu fajar sudah masuk.
Aisyah radhiallahu anha berkata,
أَنَّ بِلاًلاً كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan azan di waktu malam (sebelum terbit fajar). Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan, karena dia tidak azan kecuali setelah terbit fajar.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa tujuan azan Bilal adalah agar yang qiyamullail segera menghentikan shalatnya untuk istirahat atau makan sahur jika dia hendak puasa, serta yang masih tidur agar segera bangun.
-       Kalaupun ada yang dibolehkan berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, adalah apabila gelas telah diangkat ke mulut dan siap diminum, kemudian azan berkumandang, maka ketika itu dia boleh meneruskan minumnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ  (رواه الحاكم أبو داود وصححه الحاكم ووافقه الذهبي وصححه الألباني في صحيح سنن أبي داود)
“Jika salah seorang dari kalian mendengar seruan (azan) sedangkan wadahnya telah ada di tangannya, maka jangan letakkan kembali (wadah tersebut) sebelum dia memenuhi keinginannya (memakan atau meminum yang ada di wadah tersebut).” (HR. Hakim dan Abu Daud. Hakim menyatakan hadits ini shahih dan disetujui oleh Az-Zahaby. Al-Albany juga menyatakannya shahih dalam Shahih Sunan Abu Daud)
-       Yang paling baik adalah seseorang mengakhirkan sahurnya di penghujung malam sebelum terbit fajar, namun 10 atau 15 menit sebelum terbit fajar hendaknya dia sudah selesai makan dan minum, agar terhindar dari keraguan dan memulai ibadah puasa dengan keyakinan. Di samping itu dirinya memiliki waktu untuk segera bersiap-siap melaksanakan shalat Shubuh.
Hal ini bersandar pada riwayat Anas bin Malik; Zaid bin Tsabit memberitahunya bahwa dia pernah sahur bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu (setelah itu) mereka menunaikan shalat (Fajar). Ketika dia ditanya tentang berapa lama masa antara (selesai) sahur dengan azan? Beliau berkata, “Seukuran membaca 50 ayat.” (HR. Bukhari)
-       Jadi, ada dua sikap berlebihan dalam masalah sahur pada sebagian masyarakat. Sebagian mempercepatnya di tengah malam jauh sebelum terbit fajar. Sementara sebagian lagi tetap makan dan minum meskipun azan yang diyakini sebagai pertanda terbit fajar telah berkumandang. Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan berdasarkan petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Disimpulkan pula dari hadits di atas bahwa dalam sahur pun dianjurkan untuk makan bersama sebagaimana Zaid bin Tsabit makan sahur bersama Rasulullah shallallahu alaihi  wa sallam.
-       Ada satu perkara yang  sering dibicarakan dalam masalah sahur ini. Yaitu ketetapan imsak yang sering dijadikan acuan sebagian masyarakat. Biasanya ditetapkan 10 menit sebelum masuknya waktu Shubuh (terbit fajar).
Kalau permasalahannya kembali kepada sikap dalam point sebelumnya, yaitu sebagai bentuk kehati-hatian agar beberapa saat sebelum azan fajar sudah selesai dari aktifitas makan dan minum, dan bahwa setelah itu masih memungkinkan bagi seseorang untuk makan dan minum selama belum diyakini telah masuk waktu fajar. Maka hal ini tidak mengapa insya Allah, bahkan itu lebih baik dibanding seseorang tetap makan ketika azan berkumandang. Permasalahan inilah yang perlu dipertegas kepada masyarakat dalam memahami dan mensikapi masalah imsak di bulan Ramadan.
Adapun jika ketetapan imsak tersebut dijadikan sebagai batas awal dimulainya puasa, yaitu bahwa  apabila telah masuk waktu imsak seseorang yang hendak berpuasa tidak lagi dibolehkan makan dan minum serta perkara yang membatalkan lainnya, maka hal tersebut jelas bertentangan dengan ketetapan syariat yang jelas-jelas menetapkan terbit fajar sebagai awal dari kewajiban menahan diri dalam berpuasa sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah: 187.
Maka di sini, ada dua permasalahan  yang perlu dibedakan dan diperjelas. Wallahua’lam. (aburumaisha)

Jumat, 13 Juli 2012

SERIAL PUASA (1) : PUASA SEHARI DUA HARI SEBELUM RAMADHAN

Oleh : Abdullah Haidir, Lc

Hadits no. 650


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم: لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ, إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا, فَلْيَصُمْهُ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata, 'Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Jangan kalian mendahului Ramadan dengan berpuasa sehari atau dua hari. Kecuali seseorang yang berpuasa dengan puasa tertentu, maka hendaklah dia berpuasa." (Muttafaq alaih)


Pemahaman dan Kesimpulan:

  • Para ulama menyimpulkan bahwa hadits ini mengandung pemahaman larangan berpuasa sebelum bulan Ramadan sehari atau dua hari, jika tujuannya hanya kehati-hatian saja (khawatir kalau Ramadan sudah masuk sementara dia tidak tahu).
  • Dikecualikan dari larangan ini adalah orang yang telah terbiasa berpuasa pada hari itu, seperti puasa Senen Kamis, puasa pertengahan bulan. Atau dia memiliki kewajiban puasa yang harus dia lakukan, seperti puasa qadha, kafarat atau nazar. Berdasarkan ucapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (إلا رجل كان يصوم صوما فليصمه) "Kecuali seseorang yang berpuasa dengan puasa tertentu, maka hendaklah dia berpuasa."
  • Di antara hikmah pelarangan dalam hadits ini adalah;
  1. Tidak boleh melakukan suatu ibadah yang telah ditentukan waktunya, sebelum waktunya telah masuk dengan jelas.
  2. Ibadah yang sudah ditentukan dengan jelas bilangan dan jumlahnya, tidak boleh ditambah dan dikurangi.
  3. Hendaknya ada jeda yang jelas antara ibadah wajib dan ibadah sunah jika jenisnya sama. Sebagaimana dalam shalat Fardhu, hendaknya ada jeda dengan shalat rawatib yang dilakukan sebelum dan sesudahnya.
  4. Hadits ini juga memberi isyarat bahwa tidak selamanya sikap ihtiyath (hati-hati) itu baik. Khusunya ihtiyat yang bersifat memberatkan dan dapat mengaburkan pengamalan ibadah.

*Syarah Kitab Bulughul Maram Bab Puasa

Wallahu ta'ala A'lam.

Kamis, 05 Juli 2012

MASA DEPAN MILIK KAUM MUSLIMIN

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwRYH8njrb1Q8XLQOQxc9AxxkXR5UxV9EkxG4kXyQt1uxpmlTQ5wzdQkn-ESLLZSRVgZHzVL9E7iWpWwtSgg60tc7L4tFbLJ7jmNaCVJ9JIgfoIWbuxQaKiYM88HrlnD7Fll2s8Cj5FzA/s1600/farid.jpgOleh : Ust.Farid Nu’man Hasan
 Bagi seorang muslim kita wajib meyakini bahwa dunia akan menjadi milik kaum muslimin, dalam pengertian umat Islam akan kembali menjadi soko guru dunia, menebarkan rahmat untuk sekalian alam. Keyakinan ini tidak boleh berubah walau sejengkal. Sebab keyakinan ini bukanlah impian kaum yang tertidur, bukan pula igauan kaum yang tak sadar, tetapi keyakinan yang berasal dari jiwa yang hidup dan hati yang menggelora, serta kabar gembira dari wahyu Ilahiyah dan petunjuk kenabian. Benar apa yang dikatakan salah seorang pahlawan Islam, Al Imam Hasan Al Banna Rahimahullah: “Kenyataan hari ini adalah impian hari kemarin, kenyataan hari esok adalah khayalan hari ini.”

Kabar Dari Al Quran
                Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
 وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. An Nuur (24): 55)
Lihatlah …….. Allah ‘Azza wa Jalla telah berjanji kepada kaum beriman dan beramal shalih bahwa Dia akan menjadikan mereka sebagai penguasa dunia, dan Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan pernah mengingkari janjiNya, selama syaratnya terpenuhi; beriman dan beramal shalih.
Berkata Imam Ibnu Katsir Rahmatullah ‘Alaih:
هذا وعد من الله لرسوله صلى الله عليه وسلم  . بأنه سيجعل أمته خلفاء الأرض، أي: أئمةَ الناس والولاةَ عليهم، وبهم تصلح  البلاد، وتخضع  لهم العباد، ولَيُبدلَنّ بعد خوفهم من الناس أمنا وحكما فيهم، وقد فعل تبارك وتعالى ذلك.
“Ini adalah janji dari Allah kepada RasulNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwasanya Dia akan menjadikan umatNya sebagai khalifah di muka bumi, yaitu para pemimpin manusia dan penguasa atas mereka,  ditangan  merekalah perbaikan negeri, dan kepada mereka manusia akan tunduk, dan Allah akan benar-benar menggantikan dengan rasa aman kepada manusia setelah diliputi rasa takut dan menjadikannnya sebagai pengadil di antara mereka, dan Allah Tabaraka wa Ta’ala telah membuktikan hal itu.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/77. Darul Kitab Al ‘Arabi)
Ayat lain:
إِنَّهُمْ لَهُمُ الْمَنْصُورُونَ  وَإِنَّ جُنْدَنَا لَهُمُ الْغَالِبُونَ
“Sesungguhnya mereka itulah yang akan mendapat pertolongan, dan sesungguhnya tentara Kamilah yang pasti menang.” (QS. Ash Shaaffaat (37): 172-173)
Berkata Imam Asy Syaukani Rahmatullah ‘Alaih:
وهذا الوعد لهم بالنصر ، والغلبة لا ينافيه انهزامهم في بعض المواطن ، وغلبة الكفار لهم ، فإن الغالب في كل موطن هو : انتصارهم على الأعداء ، وغلبتهم لهم ، فخرج الكلام مخرج الغالب ، على أن العاقبة المحمودة لهم على كل حال ، وفي كل موطن كما قال سبحانه : { والعاقبة لِلْمُتَّقِينَ } [ القصص : 83 ]
“Ini adalah janji kemenangan untuk mereka, dan kemenangan  tidak berarti meniadakan adanya kekalahan mereka di beberapa medan perang, dan kemenangan terhadap orang  yang inkar adalah untuk mereka. Sesungguhnya kemenangan pada setiap medan tempur itu bentuknya adalah: mereka ditolong ketika melawan musuh-musuh dan mereka menang melawan musuhnya, lalu keluarlah perkataan yang berasal dari  orang yang menang  bahwa hasil yang terpuji adalah milik mereka pada setiap keadaan  pada setiap medan pertempuran, sebagaimana firmanNya: dan akibat yang baik adalah bagi orang-orang bertaqwa. (Al Qashash: 83).” (Fathul Qadir, 6/224. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Ayat lain:
كَتَبَ اللَّهُ لأغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِي إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Allah telah menetapkan, Aku dan RasulKu pasti menang, sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa.” (QS. Al Mujadilah (58): 21)
Imam Ibnu Katsir Rahmatullah ‘Alaih mengatakan:
أي: كتب القوي العزيز أنه الغالب لأعدائه. وهذا قدر محكم وأمر مبرم، أن العاقبة والنصرة للمؤمنين في الدنيا والآخرة.
“Yaitu: Allah Yang maha Kuat dan Perkasa telah menetapkan bahwa Dialah pemenang atas musuh-musuhNya. Ini merupakan hukum yang telah diutuskan dan perkara yang telah pasti. Bahwa akibat yang baik dan pertolongan adalah bagi kaum mukminin baik di dunia maupun akhirat.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/54)
Tiga ayat ini sudah mencukupi untuk menegaskan kembali keyakinan seorang muslim, bahwa mereka tidak boleh berputus asa, tidak boleh berhenti berjuang, karena masa depan dunia berada dalam genggaman mereka, sesuai apa yang dijanjikanNya.
Kabar Dari Al Hadits An Nabawi
                Berikut ini akan kami paparkan beberapa berita kenabian yang menguatkan apa-apa yang sudah tercantum dalam Al Quran.
Dari Ubai bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
بَشِّرْ هَذِهالْأُمَّةَ بِالسَّنَاءِ وَالرِّفْعَةِ، وَالدِّينِ، وَالنَّصْرِ، وَالتَّمْكِينِ فِي الْأَرْضِ
“Berikan kabar gembira kepada umat ini dengan keagungan, ketinggian, agama, pertolongan, dan kedudukan di muka bumi.” (HR. Ahmad No. 21220, Syaikh Syu’aib Al Arna’uth mengatakan: isnaduhu qawwiy. Juga diriwayatkan oleh Asy Syaasyi No. 1491, Al Hakim, 4/311. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 6834, 10335, juga dalam Dalail An Nubuwah, 6/317-318 , dari jalan Zaid bin Al Hibab, dan lain-lain. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ No. 2825)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إن الله يبعث إلى هذه الأمة على رأس كل مائة سنة من يجدد لها دينها
“Sesungguhnya Allah mengutus kepada umat ini pada   setiap seratus tahun orang yang memperbarui agamanya.” (HR. Abu Daud No. 4291, Al Hakim No. 8592, Al Baihaqi dalam Al Manaqib, 1/137.  Syaikh Syu’aib Al Arna’uth mengatakan: rijaaluhu tsiqaat (para periwayatnya terpercaya). Syaikh Al Albani menshahihkan dalam berbagai kitabnya, As Silsilah Ash Shahihah No.  599, Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4291, Shahihul Jami’ No. 1874, dan Misykah Al Mashabih No. 247)
 Imam Adz Dzahabi Rahimahullah mengatakan:
قال أحمد بن حنبل من طرق عنه: إن الله يقيض للناس في رأس كل مئة من يعلمهم السنن، وينفي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم الكذب، قال: فنظرنا، فإذا في رأس المئة عمر بن عبد العزيز، وفي رأس المئتين الشافعي
Berkata Ahmad bin Hambal dari berbagai jalur periwayatan darinya: “Sesungguhnya Allah akan mendatangkan bagi manusia pada awal setiap seratus tahun dengan orang yang mengajarkan mereka as sunah, dan akan mengingkari kedustaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” Dia (Ahmad) berkata: “Kami melihat pada seratus tahun pertama adalah Umar bin Abdul Aziz, dan pada awal seratus tahun kedua adalah Asy Syafi’i.” (Siyar A’lamin Nubala, 10/46. Lihat juga kitab lain, Tarikh Baghdad, 2/62. Ma’rifah As Sunan wal Atsar, 1/138. Hiyatul Auliya, 9/97-98. Tarikh Ibnu ‘Asakir, 14/412/2. ‘Aunul Ma’bud, 11/260-261. Syamilah)
Hadits lain, dari Hudzaifah bin Yaman Radhiallahu ‘Anhu:
" تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ   أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ، فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا ، فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً ، فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ نُبُوَّةٍ "   ثُمَّ سَكَتَ
“Akan terjadi masa kenabian sesuai kehendak Allah masanya, kemudian Dia hilangkan jika Dia kehendaki. Lalu datang masa kekhilafahan di atas manhaj (metode/jalan) kenabian selama sesuai kehendak Allah, lalau Dia hapuskan sesuai kehendakNya. Kemudian zaman raja-raja menggigit selama sesuai kehendak Allah, lalu Allah hapuskan sesuai kehendakNya. Lalu datang masa raja-raja totoriter selama sesuai kehendak Allah, lalu Dia hapus sesuai kehendakNya. Kemudian akan datang masa kekhilafahan sesuai manhaj kenabian,” kemudian dia terdiam. (HR. Ahmad No. 18406, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: isnaduhu hasan. Al Bazzar dalam Al Bahr Az Zikhar No. 2796. Syaikh Al Albani juga menghasankan. Lihat Misykah Al Mashabih No. 5378. Al Haitsami mengatakan: rijaaluhu tsiqaat. Lihat Majma’ Az Zawaid, 5/188-189)
Tanda – Tanda Kemenangan Sudah Terlihat
                Bagi seorang yang dianugerahi akal dan kekuatan, maka keyakinan tersebut mesti ditindaklanjuti dengan kerja nyata dan analisa yang mendalam. Kita lihat hari ini tanda-tanda kemenangan Umat Islam sudah terlihat. Di antaranya:
¡  Islam Agama tercepat pertumbuhannya di berbagai benua
- Kegagalan kaum misionaris dalam memurtadkan umat Islam di banyak negeri-negeri Muslim
- Frustasinya gerakan Zionis menghadapi perlawanan Palestina
- Kesadaran berislam sejak awal abad 15 Hijriyah semakin Nampak. Hal ini dapat kita lihat berupa bangkitnya berbagai gerakan kebangkitan Islam di berbagai Negara dan institusi, jilbabisasi, maraknya islamic center, bank syariah,  banyaknya majelis ta’lim, buku-buku Islam adalah buku terlaris, hidupnya sunah nabi, hukum-hukum Islam sudah mulai masuk ke hukum Negara baik secara substansi atau formal, dll)
- Bangkrutnya peradaban Barat (merosotnya moral, kejenuhan mereka terhadap budaya sendiri, dll)
Potensi Yang Dimiliki Umat Islam
- SDM yang sangat banyak (1.5 Milyar penduduk dunia adalah muslim), bahkan terbanyak di dunia jika Katolik dan Protestan dipisahkan.
- Banyak menduduki negeri-negeri yang memiliki kekayaan alam melimpah
- Solidaritas keagamaan masih kuat
- Pernah menguasai dunia selama hampir satu milenium
- Memiliki kekuatan ideologi yang tidak dimiliki umat lain; yaitu aqidah islam, dan lainnya
Kekurangan Dan Tantangan Umat Islam
- Masih kurang Percaya Diri jika berhadapan dengan orang Barat, setelah dijajah mereka beberapa abad (mentalitas orang kalah)
- Masih ada friksi (perpecahan) dalam tubuh umat Islam
- Belum terkelolanya SDM dan SDA yang dimiliki
- Dalam masalah moralitas remaja dan pejabatnya masih memprihatinkan
- Dalam ekonomi masih tergantung negeri-negeri non muslim dan lembaga mereka
- Cenderung reaksioner dalam menghadapi berbagai masalah
Tidak adanya pempimpin yang menyatukan mereka di tingkat Internasional
Mudah-mudahan dengan keimanan yang mendalam (Imanul ‘Amiq),  kesadaran keisalaman yang membaik, upaya yang tiada henti (amaliyah mutawashil),  dibarengi saling ta’awun (tolong menolong) di atas bajikan, serta diiringi munajat kepada Allah Ta’ala, masa-masa keemasan akan kembali milik umat Islam.
Wallahu A’lam wa ilaihil Musta’an …


sumber:islamedia.web.id 

Senin, 02 Juli 2012

TIGA WARNA CINTA DALAM KEHIDUPAN KITA


Saudaraku…
Syekh Mustafa Siba’i rahimahullah menyebutkan bahwa cinta memiliki 3 warna:
 Cinta Ilahi, cinta insani dan cinta hewani.

Cinta Ilahi, lahir dari ketundukan seorang hamba kepada Zat yang dicintainya dan buah dari rasa syukur terhadap anugerah-Nya.

Cinta Insani, merupakan buah dari kesetiaan seseorang terhadap saudara yang dicintainya dan penghargaan terhadapnya.

Cinta hewani, cinta yang memperdayakan pemiliknya dan melahirkan malapetaka bagi yang dicintainya.
(hakadza ’allamatnil hayat).

Saudaraku..
Tak terbayangkan, jika hidup kita tanpa cinta. Tentu kehidupan kita menjadi gelap tanpa pelita. Langit-langit hati kita menjadi mendung dan berawan, yang tak pernah menghadirkan hujan dalam kehidupan. Bumi jiwa kita kering kerontang, tanpa pernah diguyur air kehidupan.

Hidup terasa hampa, monoton tak berwarna. Alur perjalanan hidup bagaikan tanpa arah dan tujuan. Tiada motivasi untuk mengukir prestasi. Tiada gairah untuk meneruskan langkah perjalanan hidup. Keceriaan sirna. Kebahagiaan hidup lenyap. Kelelahan jiwa bertumpuk. Penderitaan hati menggumpal. Luka-luka di tubuh terasa menganga dan perih tak terkira. Seulas senyum, kaku untuk dihadirkan. Dan hidup seolah-olah bernafas dalam lumpur. Menatap dalam debu.

Saudaraku…
Karena cinta, kita terinspirasi untuk berbuat yang terbaik. Bertahan dalam kesulitan. Sabar dalam menghadapi ujian. Tsabat dalam perjuangan. Ikhlas dalam membantu. Tulus dalam memberi. Senang dalam berbagi. Terpacu untuk berprestasi.

Apalah arti baju jabatan yang kita kenakan. Permaisuri cantik jelita yang menemani hidup kita. Harta kekayaan yang bertaburan. Emas permata, intan dan mutiara yang memenuhi ruangan. Kebun karet dan sawit yang terbentang luas. Popularitas yang terus meroket. Kedudukan dan tempat yang luas di hati masyarakat dan yang senada dengan itu. Jika hati kita sepi dari cinta. Jika jiwa kita kering dari kasih sayang.

Saudaraku…
Cinta Ilahi adalah cinta seorang mukmin terhadap Rabb-nya.
Cinta Ilahi, hendaknya melebihi cinta kita kepada anak-anak permata hati kita, permaisuri hati kita, orang tua kita, karib kerabat kita, orang-orang dekat kita dan seluruh manusia. Juga melebihi cinta kita terhadap harta benda, simpanan berharga, sawah ladang, dan barang-barang berharga lainnya milik kita.

Cinta Ilahi tumbuh saat kita tunduk, patuh, pasrah, merasa lemah di hadapan-Nya. Dan berbuah saat kita mengenang anugerah, nikmat dan karunia-Nya yang tak terhitung yang telah dikucurkan kepada kita.

Nikmat hidup, kebebasan dalam beribadah, keindahan pekerti, sehat, kran-kran rezki yang terbuka. Pasangan hidup dan anak keturunan yang manis dan lucu. Kemudahan memperdalam ilmu pengetahuan, dibentangkan-Nya ladang amal shalih dan sawah tempat menanam benih amal ketaatan.

Anugerah usia hingga saat ini. Dicintai banyak sahabat dan saudara di jalan-Nya. Sabar dalam menjalani hidup. Qana’ah dalam menerima garis takdir-Nya. Dijauhkan dari hutang dan tanggungan kepada orang lain. Dan yang senada dengan itu.

Jika kita mencoba untuk menghitung karunia, nikmat dan pemberian-Nya kepada kita. Niscaya kita tak akan sanggup menghitungnya. Walaupun sekarang sudah tersedia alat hitung yang super canggih. "Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari nikmat-Nya." S. Ibrahim: 34.

Dengan mengenang berbagai nikmat dan karunia pemberian-Nya dan kita mampu berterima kasih kepada-Nya dengan hati, ucapan dan perilaku kita. Akan melahirkan rasa tunduk dan pasrah pada hukum-hukum-Nya. Memelihara dan menjaga rambu-rambu-Nya. Mengabdi dan beribadah kepada-Nya dengan rasa cinta dan pengagungan.

Kita mengabdi kepada-Nya untuk mengharap wajah-Nya, bukan wajah selain-Nya. Mendamba pujian-Nya dan bukan pujian makhluk-Nya. Mengharap balasan-Nya dan bukan balasan dari hamba-Nya yang lemah.

Generasi terbaik umat ini, para sahabat dan generasi sesudahnya telah membuktikan cinta mereka kepada Allah Swt. Jiwa, raga, harta, waktu dan segala apa yang mereka punya telah dikorbankan demi mengecap cinta Ilahi. Demi meraih cinta sejati. Demi menggapai kebahagiaan abadi. Di akherat nanti.

Saudaraku..
Cinta Insani adalah cinta seseorang terhadap saudara dan sahabatnya. Atau dengan ungkapan yang familiar di telinga kita; persaudaraan Islam, persahabatan Iman.

Suatu ikatan persaudaraan yang didasari cinta karena Allah. Dibangun di atas pondasi ketaatan pada Ilahi.

Persaudaraan yang tumbuh karena akidah yang satu. Bukan tercipta karena kepentingan dan kebutuhan sesaat seperti koalisinya partai politik, walau tidak semua demikian. Bukan pula terjalin karena melihat penampilan fisik, seperti ketampanan dan paras yang menarik. Bukan pula harta benda yang menjadi pijakannya. Atau manfaat dan nikmat duniawi lainnya.

Ukhuwah imaniyah adalah cinta yang tak mengenal musim. Panas, dingin, hujan, kemarau, berawan, berdebu, petir dan seterusnya. Ia akan langgeng dan abadi.

Ia akan setia dalam keadaan yang bagaimanapun jua. Sehat atau sakit. Suka maupun duka. Kaya atau miskin. Bahagia maupun merana. Lapang ataupun sempit. Mudah ataupun sulit. Dan yang senada dengan itu.

Dan ukhuwah imaniyah, yang didasari cinta karena Allah inilah yang pernah dipraktekkan oleh para sahabat dan generasi terbaik setelahnya dan ditulis oleh sejarah dengan tinta emas. Yang sulit kita temukan di zaman kini.

Di mana kita bersahabat dan bersaudara pada saat orang yang kita cintai dalam keadaan kaya, berparas menawan, senang, bahagia, berkedudukan, lapang, bergelimang nikmat, sehat dan yang seirama dengan itu.

Namun pada saat sahabat dan saudara kita dalam kesulitan, pailit, sakit, merana, dililit hutang, akrab dengan penderitaan dan seterusnya. Kita pun menghindar dan menghilang dari kehidupan mereka. Jika demikian bagaimana mungkin indahnya cinta dan persaudaraan iman dapat kita kecap dalam kehidupan kita?.

Saudaraku..
Cinta hewani adalah cinta yang dilandasi nafsu birahi. Yang dapat menyeret pemiliknya pada hubungan seksual terlarang.

Hasrat memenuhi tuntutan kebutuhan biologis merupakan fitrah yang Allah Swt tancapkan dalam diri kita. Dan bahkan ketika kita salurkan pada jalur yang benar dan sesuai dengan koridor syar’i melalui jalur pernikahan, maka hubungan seksual itu menjadi suci, penuh berkah dan ibadah yang bergelimang pahala.

Namun ketika hasrat birahi, tak diarahkan sesuai dengan aturan agama, maka ia menjadi bencana dan malapetaka bagi kita, keluarga, orang tua, masyarakat dan bahkan Negara. Menghitamkan wajah orang tua, mencoreng nama baik keluarga, menjadi aib di masyarakat dan menjadi kenistaan bagi sebuah Negara.

Hubungan seks terlarang, selingkuh, teman tapi mesra, kumpul kebo dan yang senada dengan itu, menghiasi media massa dan elektronik. Lagi-lagi atas nama cinta. Walaupun lebih tepat, bila kita katakan sebagai cinta hewani yang kotor dan tak bermartabat.

Ketika nafsu telah kita nobatkan sebagai raja, maka kemudahan, fasilitas, dan keluasan yang diberikan-Nya, bukan kita pergunakan untuk meraih cinta-Nya dan cinta sahabat di jalan Allah Swt. Tapi, justru kita pergunakan untuk memuluskan hasrat cinta hewani yang hina.

Maka kita tidak heran, jika jabatan, kedudukan, kekayaan dan kelapangan sering membuat orang lupa diri. Dan terjebak pada hubungan cinta terlarang. Cinta hewani. Yang akan membawa pada kesengsaraan abadi. Di akherat nanti.

Saudaraku..
Mari kita ciptakan keindahan hidup, dengan meraih cinta Ilahi, cinta sahabat sejati dan cinta fitrah insani yang suci. Wallahu a’lam bisshawab.

 Oleh Fir’adi Nasruddin, Lc )*

SEPUTAR QUNUT NAZILAH

Oleh Abdullah Haidir, Lc

Di masjid-masjid dalam Kerajaan Arab Saudi selama beberapa bulan terakhir ini kerap dibacakan do’a qunut nazilah pada shalat fardhu dalam rangka mendo’akan rakyat Suriah yang sedang mengalami penderitaan akibat kedhaliman penguasa. Apa dan bagaimana sebenarnya qunut nazilah itu? Berikut sedikit uraiannya, semoga bermanfaat bagi pembaca.


Definisi

Qunut (قنوت) memilik banyak makna, namun dalam hal ini, yang dimaksud adalah berdoa kala berdiri dalam shalat.

Nazilah (نازلة) artinya:  Bencana yang sangat berat. Jamaknya adalah nawazil   (نوازل)

Maka, yang dimaksud Qunut Nazilah secara umum adalah doa yang dipanjatkan saat berdiri dalam shalat apabila terjadi bencana bencana besar yang menimpa kaum muslimin secara masal. Seperti adanya pihak yang memerangi kaum muslimin, kelaparan masal, wabah penyakit atau sebagainya.

Qunut nazilah merupakan bentuk perhatian dan empati seorang muslim terhadap nasib yang menimpa saudara-saudaranya walau di kejauhan. Yaitu dalam bentuk memanjatkan doa kepada Allah Ta’ala. Di dalamnya terdapat ketergantungan kepada Allah dan persaudaraan terhadap sesama muslim.


Landasan Hukum


Banyak riwayat yang menunjukkan pelaksanaan qunut nazilah yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Di antaranya diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiallahu anhu, dia berkata,


أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَلْعَنُ رِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَوُا اللَّهَ وَرَسُولَهُ


"Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam melaksanakan qunut selama sebulan. Beliau melaknat (suku) Ri’l, Dzakwan dan Ushayyah. Mereka telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya." (Muttafa ’alaih)


Latar belakangnya adalah karena suku-suku tersebut membunuh para shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang dikirim untuk mengajarkan Islam kepada mereka atas permintaan mereka sebelumnya. Diriwayatkan pula bahwa beliau melakukan qunut ketika ada seorang shahabat ditawan kaum musyrikin.


Kedudukan


Qunut Nazilah sunah dilakukan apabila ada sebab-sebab yang melatabelakanginya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Qunut ini disunahkan ketika terjadi musibah besar. Pendapat ini merupakan pendapat ulama fiqih dari kalangan Ahli Hadits. Hal ini juga dinyatakan para Khulafa Rasyidin." (Majmu Fatawa, 23/108)


Waktu Pelaksanaan


dilakukan atau tidak dilakukan qunut tergantung sebabnya. Jika ada sebabnya, maka qunut hendaknya dilakukan. Jika sebabnya telah hilang, maka qunut hendaknya dihentikan. Adapun qunut Rasulullah shallallahu shallallau alaihi wa sallam selama sebulan, itu terkait sebab yang melatarbelakanginya, bukan patokan masa atau waktu pelaksanannya.


Pelaksanaan qunut dilakukan setelah bangun dari ruku pada rakaat terakhir dalam semua shalat fardhu yang lima seraya mengangkat kedua tangan.


Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, dia berkata,


قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلاَةِ الصُّبْحِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ


"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan qunut selama sebulan berturut-turut pada shalat Zuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Shubuh di penghujung shalat, jika selesai membaca ’sami’allahu liman hamidah’ di rakaat terakhir. Beliau mendoakan perkampungan Bani Sulaim, Ra’l, Zakwan, Ushayyah. Lalu (makmum) di belakangnya mengaminkannya."


(HR. Ahmad, Abu Daud dan Hakim. An-Nawawi berkata, sanadnya hasan dan shahih. Ibnu Qayim berkata, ’Haditsnya shahih.’ Al-Albany mencantumkannya dalam Shahih Sunan Abu Daud, no. 1443)


Imam Nawawi berkata, "Pendapat yang shahih dan masyhur bahwa apabila terjadi bencana besar, seperti serbuan musuh, paceklik, wabah penyakit, kehausan, dan bahaya yang tampak di kalangan kaum muslimin atau semacamnya, mereka melakukan qunut dalam seluruh shalat fardhu. Jika tidak ada (sebab-sebab itu), maka tidak dilakukan qunut. (Syarah Muslim, Nawawi, 5/176)


Namun berdasarkan riwayat yang ada, qunut yang dilakukan Rasulullah shallallalhu alaihi wa sallam, lebih sering dilakukan pada shalat Shubuh, kemudian Maghrib, lalu Isya, kemudian Zuhur dan Ashar. (Majmu Fatawa, 22/269, Zadul Ma’ad, 1/273)


Adapun qunut pada shalat Jumat, para ulama berbeda pendapat. Sebagian membolehkan berdasarkan keumuman dalil. Sebagian melarangnya, karena tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, disamping dalam Khutbah Jumat sudah dipanjatkan doa untuk kaum muslimin.


Tata Cara Qunut

 Dari segi kandungan, maka isi dari qunut nazilah adalah mendoakan kaum muslimin yang tertimpa bencana agar diberikan pertolongan, keselamatan dan kesabaran. Sementara yang wafat semoga diberikan rahmat dan diterima amalnya serta diampuni dosanya. Selain itu mendoakan kehancuran, turunnya azab dan laknat kepada musuh-musuh Islam. Tidak mengapa dalam hal ini menyebutkan nama-nama yang bersangkutan jika jelas dia telah berbuat jahat terhadap kaum muslimin.


· Tidak selayaknya berdoa untuk kebaikan diri sendiri dalam Qunut Nazilah. Sebab qunut ini memang dikhususkan untuk mendoakan kebaikan bagi saudara-saudara muslim dan kehancuran bagi musuh-musuh Islam. Berbeda dalam qunut shalat witir yang dibolehkan untuk berdoa bagi kebaikan diri sendiri.


· Dianjurkan tidak terlalu panjang dalam berdoa agar tidak memberatkan makmum yang memiliki berbagai keperluan. Ketika Anas bin Malik ditanya tentang apakah dalam shalat Shubuh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan qunut? Beliau berkata, "Ya, beliau qunut sebentar." (HR. Muslim). Hal tersebut juga tampak dari contoh doa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan redaksi yang pendek.


· Disunahkan bagi imam mengeraskan bacaan qunut dan diaminkan oleh makmum seraya mengangkat kedua tangan, bahkan termasuk dalam shalat-shalat sirriyah (yang tidak dikeraskan bacaannya).


Ibnu Hajar berkata, "Yang tampak bagi saya tentang hikmah dijadikannya tempat qunut saat I’tidal, bukan saat sujud, padahal sujud adalah tempat terkabulnya doa dan terdapat dalil yang memerintahkan hal itu, karena yang diinginkan dari qunut nazilah adalah agar makmum ikut mengaminkan bersama imam. Karena itu, mereka (para ulama) sepakat (berpendapat) bahwa bacaannya dikeraskan." (Fathul Bari, 2/570)


·       Tidak ada redaksi khusus dalam qunut nazilah. Hendaknya disesuaikan dengan apa yang didoakan. Tidak membaca Allahummahdinii fiiman hadaiit, wa aafinii fiiman aafaiit….sebagaimana biasa dibaca dalam qunut shalat Witir.


Contoh qunut nazilah yang disesuaikan dengan kondisi kaum muslimin di Suriah sekarang ini:


اللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي سُورِيَا ، اللَّهُمَّ أَعِنْهُمْ وانْصُرْهُمْ عَلَى أَعْدَائِهِمْ،  اللَّهُمَّ أَفْرِغْ عَلَيهِمْ صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَهُمْ . اللَّهُمَّ اشْفِ جَرْحَاهُمْ وَتَقَبَّلْ مَوْتَاهُمْ فِي الشُّهَدَاءِ .  اللَّهُمَّ ارْحَمْ بُكَاءَ الأَطْفَالِ الْيَتَامَى وَالنِّسَاءِ الثَّكْلىَ  .


Ya Allah, selamatkan orang-orang yang lemah dari kaum mukminin di Suriah. Ya Allah, bantulah mereka, menangkanlah mereka atas musuh-musuh mereka. Ya  Allah, limpahkan kesabaran pada mereka dan kuatkan kaki-kaki mereka. Ya Allah, sembuhkan orang yang luka di antara mereka, terimalah yang wafat di antara mereka sebagai para syuhada. Ya Allah, kasihanilah tangisan anak-anak yatim, wanita-wanita yang kehilangan sanak saudara.


اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلىَ بَشَّار وُجُنُودَهُ ، وَمَنْ شَايَعَهُم وَأَعْانَهُمْ ، اللَّهُمَّ اَلْعِنْهُمْ ، اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِينِ يُوسُف.  اللَّهُمَّ لاَ تَرْفَعْ لَهُمْ رَايَة وَاجْعَلْهُمْ لِمَنْ خَلْفَهُمْ آيَة. اللَّهُمَّ أَرِنَا فِيهِمْ بَأْسَكَ الَّذِي وَعَدْتَ ، اللَّهُمَّ إِنَّهُمْ بَغَوا وَعَتَوا فَأَرِنَا فِيهِمْ عَجَائِبَ قُدْرَتِكَ يَا عَزِيزُ يَا جَبَّارُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير . وَصَلىَّ اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ .

Ya Allah, keraskanlah injakan-Mu (azab-Mu) kepada Basyar dan tentara-Nya serta siapa yang berpihak dan membantu mereka. Ya Allah, turunkanlah azab kepada mereka seperti malapetaka yang menimpa bertahun-tahun pada zaman Nabi Yusuf. Ya Allah, jangan tegakkan panji mereka, jadikanlah mereka sebagai pelajaran bagi orang-orang sesudah mereka. Ya Allah, perlihatkan kami  pada mereka azab-Mu yang Engkau janjikan. Ya Allah, mereka telah melampaui batas dan berbuat kerusakan, perlihatkan kami dahsyatnya kekuasaan-Mu pada mereka, yaa rabbal aalamiin, wahai Yang Maha Perkasa, sesungguhnya Engkau berkuasa atas segala sesuat. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhamad, para keluarga dan seluruh shahabatnya.


Riyadh, Rabiul Awal 1433 H