“Inilah jalanku: aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” (Yusuf:108).

Jama'ah Penuh Berkah

Tidak ada dakwah tanpa kepemimpinan. Kadar tsiqah antara qiyadah dan jundiyah menjadi penentu bagi sejauh mana kekuatan sistem jamaah, kemantapan langkah-langkahnya, keberhasilan dalam mewujudkan tujuan-tujuannya, dan kemampuannya dalam mengatasi berbagai tantangan dan kesulitan.

Bekerja Untuk Ummat

Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (9:105)

Inilah Jalan Kami

Katakanlah: Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik. (12:108)

Yang Tegar Di Jalan Dakwah

Biduk kebersamaan kita terus berjalan. Dia telah menembus belukar, menaiki tebing, membelah laut. Sayatan luka, rasa sakit, air mata adalah bagian dari tabiat jalan yang sedang kita lalui. Dan kita tak pernah berhenti menyusurinya, mengikuti arus waktu yang juga tak pernah berhenti.

Kesungguhan Membangun Peradaban

Semua kesungguhan akan menjumpai hasilnya. Ini bukan kata mutiara, namun itulah kenyataannya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang diusahakan dengan sepenuh kesungguhan.

Sabtu, 28 Januari 2012

10 PENGHALANG TERKABULNYA DO'A

Seorang lelaki pernah mengadu kepada syekh Ibrahim bin Adham, “Mengapa kami sering berdo’a namun do’a-do’a kami tak kunjung terkabul.”
Syekh yang zuhud itu menjawab,
“Karena kalian telah mengenal Allah SWT sebagai Tuhan kalian, tapi kalian tidak mentaati aturan-Nya.
Kalian telah memahami bahwa Rasul adalah (panutan hidup), tapi kalian enggan mengikuti jalan hidupnya.
Kalian tahu bahwa al Qur’an adalah pedoman hidup, tapi kalian tidak mengamalkan petunjuknya.
Kalian telah mengecap berbagai nikmat pemberian Allah SWT, tapi kalian jauh dari nilai kesyukuran.
Kalian merindukan surga, tapi kalian tak mau mengejarnya.
Kalian takut kepada neraka, tapi kalian tiada lari darinya.
Kalian tahu bahwa setan itu adalah musuh, tapi kalian tidak mau memeranginya dan bahkan kalian mengikuti ajakannya.
Kalian yakin bahwa kematian itu pasti (kedatangannya), tapi kalian tidak menyiapkan diri untuk menyambutnya.
Kalian telah banyak memakamkan jenazah, tapi kalian tidak mau mengambil pelajaran darinya.
Dan kalian mengabaikan aib diri sendiri, namun kalian sibuk mengumpulkan aib orang lain.”
Wallahu a’lam bishawab..mudah-mudahan kita bisa mengambil manfaat dari nasehat ulama yang zuhud ini. Amien.
Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far
(http://www.facebook.com/profile.php?id=100000992948094)

RAJIN BACA QUR'AN TAPI TIDAK MENGAMALKANNYA

Assalamu ‘alaikumwr wb
Ada teman ana yang menanyakan dalil mengenai rajin membaca Al-Qur’an sudah terbata-bata maupun lancar bahkan tahu artinya, namun tidak mengamalkan isinya.
Setahu ana perbuatan membaca dan mengamalkan isi Al-Qur’an itu memang yang paling afdhol namun kedua hal itu kan terpisah dalam melakukannya.
Mohon penjelasan dr Ustadz apakah ada dalil tentang keutaman membaca Al-Qur’an dan mengamalkannya serta membaca namun tidak mengamalkannya?
Karena pertanyaan itu teman ana sering mikir sepertinya percuma kalau baca Al-Qur’an sudah tertatih-tatih tidak tahu artinya dan tak mengamalkannya. Syukron
Wassalamu ‘alaikumwr wb
Jawaban
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Yang paling baik tentu rajin baca Al-Quran dengan bacaan yang baik, lalu juga mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai muslim kita tidak memilah-milah antara keduanya.
Sebagai seorang muslim, tentu urusan mengamalkan isi Al-Quran sudah menjadi harga mati. Sebab Al-Quran bukan sekedar kitab untuk dibaca saja, tetapi lebih dari itu, Al-Quran adalah petunjuk hidup.
Allah SWT berfirman:
Dan demikianlah Kami menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab, dan Kami telah menerangkan dengan berulang kali, di dalamnya sebahagian dari ancaman, agar mereka bertakwa atau Al-Qur’an itu menimbulkan pengajaran bagi mereka.(QS. Thaha: 113)
Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al-Qur’an dalam bahasa Arab, supaya kamu memberi peringatan kepada ummul Qura dan penduduk sekelilingnya serta memberi peringatan tentang hari berkumpul yang tidak ada keraguan padanya. Segolongan masuk surga, dan segolongan masuk Jahannam.(QS. As-Syura: 7)
Menjalankan Isi Al-Quran
Namun kita juga perlu tahu bahwa isi Al-Quran itu sangat luas, mencakup wilayah yang menjadi pokok agama, tetapi juga ada wilayah yang bersifat anjuran. Kalau kita pinjam istilah para ahli fiqih, ada wajib dan ada sunnah. Ada haram dan ada makruh.
Jadi yang harus dijalankan terutama pada bagian yang paling esensial, seperti urusan dasar aqidah dan syariah.Jadi kami batasi dulu saja, bahwa mengamalkan isi Al-Quran adalah sesuatu yang mutlak wajib dijalankan, terutama pada wilayah yang paling esensial, yaitu aqidah dan syariah.
Di tataran aqidah, rasanya sedikit sekali wilayah perbedaan pendapatnya. Beda dengan tataran syariah yang agak lebih beragam teknis pelaksanaannya. Dan masalah itu nanti akan dibahas pada bab fiqih.
Tentu saja isi Al-Quran bukan hanya aqidah dan syariah saja, tapi mencakup semua ajaran Allah SWT. Namun karena jumlah ayat Al-Quran sangat terbatas, yaitu berkisar hanya 6000-an ayat lebih saja, maka tentu saja detail-detail isi dan teknisnya nanti dijelaskan lewat hadits-hadits nabawi. Boleh dibilang yang ada di dalam Al-Quran baru sebatas prinsip-prinsip dasarnya.
Membaca Al-Quran
Seorang muslim wajib bisa membaca Al-Quran, setidaknya mengucapkan lafadz surat Al-Fatihah. Sebab lafadz ini menjadi rukun shalat 5 waktu. Tanpa membaca surat ini dengan benar, maka shalatnya tidak sah.
Namun lepas dari urusan wajib, pendeknya membaca Al-Quran sangat dianjurkan untuk dilakukan oleh setiap muslim, baik di dalam shalat atau di luar shalat.
Di antara hadits yang menjadi dasar anjuran dan keutamaan kita membaca Al-Quran adalah:
1. Menjadi Syafaat di Hari Kiamat
Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Bacalah Al-Quran sebab Al-Quranvakan datang pada hari kiamat sebagai sesuatu yang dapat memberikan syafaat (pertolongan) kepada orang-orang yang mempunyainya.” (HR Muslim)
2. Hidup Bersama Para Malaikat
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha berkata bahwa RasulullahSAW bersabda, “Orang yang membaca al-Quran dan ia sudah mahir dengan bacaannya itu, maka ia adalah beserta para malaikat utusan Allah yang mulia lagi sangat berbakti, sedang orang yang membacanya al-Quran dan ia terbata-bata dalam bacaannya (tidak lancar) juga merasa kesukaran di waktu membacanya itu, maka ia dapat memperoleh dua pahala.” (HR Bukhari Muslim)
3. Membaca Satu Huruf Mendapat 10 Kebajikan
Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang yangmembaca sebuah huruf dari kitabullah (Al-Quran), maka ia memperoleh suatu kebaikan, sedang satu kebaikan itu akan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang seperti itu. Saya tidak mengatakan bahwa alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif adalah satu huruf, lam satu huruf dan mim juga satu huruf.”(HR Imam Termidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan shahih)
4. Mendapat Ketenangan, Rahmat, Malaikat dan Disebut-sebut Namanya
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah-rumah Allah untuk melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an dan mempelajarinya, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, akan dilingkupi pada diri mereka dengan rahmat, akan dilingkari oleh para malaikat dan Allah pun akan menyebut (memuji) mereka pada makhluk yang ada di dekat-Nya.“ (HR Muslim)
Membaca Al-Quran Tapi Melanggar Larangan
Yang paling parah dan harus segera dicegah adalah orang yang pandai membaca Al-Quran, bahkan rajin membacanya, tetapi rajin juga mengerjakan kemungkaran dan maksiat.
Pemandangan ini sesekali bisa kita saksikan di tengah kerancuan beragama di negeri kita. Ada orang yang bahkan sudah jadi Qari’, dalam arti pandai baca Quran dengan merdu, fasih dan lancar. Tapi kadang kelakuannya masih saja terbawa arus jahili. Entah dia pacaran, buka aurat, atau malah ikut kegiatan yang berlawanan dengan syariat Islam.
Atau bahkan melakukan syirik karena datang ke dukun, peramal, memelihara dan menghamba kepada jin, percaya kepada hari naas, bertathayyur.
Ini semua karena pengajaran Al-Quran tidak seimbang dengan pegajaran isi ajarannya. Akibat pemilahan mata pelajaran Al-Quran, di mana ilmu tilawah dibuat terpisah dengan ilmu tafsir. Sehingga muncullah orang yang pandai baca Al-Quran tapi tidak paham makna dan tafsirnya. Ilmunya boleh dibilang sepotong-sepotong.
Nantinya, kalau murid seperti sudah jadi guru ngaji, yang diajarkan hanya urusan bacaan Quran saja, sedangkan urusan tafsir dan maknanya boleh jadi dia awam. Dan kalau tidak diimbangi dengan kekuatan pribadi muslim yang baik, bisa jadi dia adalah pelaku kemungkaran dan maksiat, yang sebenarnya bertentangan dengan esensi ajaran Islam.
Maka selain kita wajib belajar membaca Al-Quran, kita juga wajib mempelajari isi dan tafsirnya. Tentu saja juga wajib mengamalkannya dengan benar.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Sumber:http://www.ustsarwat.com/web/syariah.php dan untuk beragam konsultasi lainya,  silahkan langsung berkunjung ke web Ustadz Ahmad Sarwat, LC tersebut.

DEMONSTRAN KEMBALI PENUHI TAHRIR SQUARE PERINGATI REVOLUSI MESIR

Para pengunjuk rasa Mesir melanjutkan aksi demo mereka menandai ulang tahun pemberontakan berbaris menuju ke Kairo Tahrir Square pada Jumat kemarin (27/1), menyebut aksi mereka sebagai "Jumat Kebanggaan dan Martabat" pada saat mereka menuntut perubahan demokratis.
Para pengunjuk rasa bergabung dengan hampir 60 partai dan gerakan politik , termasuk Gerakan Pemuda 6 April, Partai Aliansi Sosialis Rakyat, kaum Sosialis Revolusioner dan Gerakan pemuda Kebebasan dan Keadilan, koran pemerintah Mesir Al-Ahram melaporkan.
Peserta aksi meninggalkan masjid Kairo setelah shalat Jumat dan menuju Tahrir, jantung aksi protes revolusi Mesir tahun lalu.
"Ganyang kekuasaan militer!" Teriak demonstran yang meninggalkan masjid Istiqamah di Giza, menggemakan ketidakpuasan atas penanganan junta militer dalam berkuasa sejak penggulingan Mubarak pada bulan Februari 2011.
"Legitimasi berasal dari alun-alun," teriak mereka, sambil bertepuk tangan dan melambaikan bendera.
Di Tahrir, ribuan orang berkumpul shalat Jumat di tengah alun-alun, di antara tenda-tenda yang menandai aksi duduk yang diluncurkan pada Rabu lalu, ulang tahun pertama dimulainya pemberontakan.
Syaikh Mazhar Syahin, khatib jumat, mengatakan bahwa sementara pemberontakan telah menghasilkan prestasi penting, perjalanan menuju pemerintahan yang demokratis masih jauh dari selesai.
"Orang-orang keluar pada tanggal 25 Januari 2011 untuk menyerukan kebebasan, keadilan, martabat dan akhir rezim yang menyebarkan segala bentuk korupsi," kata Syahin di tengah kerumunan massa.
"Mereka berhasil untuk menghapus kepala rezim hanya dalam 18 hari dan menaruh beberapa simbol rezim di belakang. Namun, revolusi belum mencapai semua tujuan dan inilah alasan rakyat kembali turun ke jalan lagi di ulang tahun pertama revolusi, "kata Syahin.
Aksi protes juga meletus di kota kanal Suez dan di Alexandria, di mana demonstran terjebak dalam hujan, lapor Al-Ahram.(fq/aby)

Sumber : www.eramuslim.com

INILAH PENYIMPANGAN DAN KESESATAN AQIDAH SYIAH

Secara garis besar ada empat hal yang menyebabkan kaum Syiah disebut aliran sesat, yaitu: Tashbih (menyerupakan Imam dengan Tuhan), Ba’da, Raj’ah (kembalinya sang imam setelah wafatnya yang bukan sebenarnya) dan Tanusukh (reinkarnasi).
Menurut terminologi, kata Syiah tertuju kepada satu sekte (firqah) yang mengaku sebagai pengikut dan pendukung setia Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, sehingga menjadi nama yang khusus bagi mereka. Syiah adalah kaum muslimin yang menganggap pengganti Nabi Saw merupakan hak istimewa keluarga Nabi, dalam hal ini Ali ra dan keturunannya.
Syiah lahir karena simpati golongan kaum muslimin terhadap Ali dan keturunannya. Bahkan diantara segolongan kaum muslimin yang simpati terhadap Ali menganggap Ali sebagai sahabat Nabi Saw yang paling utama. Namun demikian, akidah Syiah berpijak di atas pencacian, pencelaan dan pengkafiran terhadap para sahabat Rasulullah.
Satu diantara sekian banyak racun yang telah ditebar di tubuh umat, yaitu membangkitkan  fanatisme buta terhadap keimamahan Ali bin Abi Thalib. Lalu bergulir menjadi sebuah akidah (keyakinan) di kalangan Saba’iyah (para pengikut Abdullah bin Saba’), bahwa keimamahan yang pertama dipegang oleh Ali bin Thalib dan berakhir pada Muhammad bin Al-Husain Al-Mahdi. Inilah keyakinan di kalangan Syiah yang merupakan keyakinan sesat. Kalangan Syiah meyakini hal itu sebagai bentuk aqidah ar-raj’ah.
Propagandis Syiah sering melakukan kampanye pendekatan atau penyatuan Sunni-Syiah, dengan tema Ukhuwah Islamiyah. Ini sebenanrnya siasat kaum Syiah agar bisa diterima oleh kaum Sunni (Ahlussunnah wal Jamaah). Padahal di Negara Iran sendiri, kaum Sunni tertindas dari berbagai segi, termasuk tidak diperbolehkan memiliki masjid sendiri.
Penyimpangan Aqidah Syiah
Dalam sebuah kajian mengenai Syiah di Depok, pengamat Syiah Prof. DR. H. Mohammad Baharun, SH, MA saat membedah buku "Mewaspadai Gerakan Syiah di Indonesia", mengungkapkan ajaran-ajaran Syiah yang menyesatkan. Nah, agar tidak tersesat, berikut ini adalah ajaran-ajaran Syiah yang menyimpang, sesat dan menyesatkan :
  • Aqidah Syirik, menisbatkan sifat Ilahiyah kepada imam mereka seperti pemilik dunia akhirat, rob bumi.
  • Aqidah Bada’, yaitu keyakinan bahwa Allah mengetahui sesuatu setelah sebelumnya tidak mengetahui.
  • Aqidah Raj’ah, yaitu kembali hidup sesudah mati sebelum hari kiamat.
Arroj’ah adalah salah satu diantara sekian banyak ajara Syi’ah Imamiyyah Itsna Asyariyyah (Ja’fariyah), yang jelas-jelas menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Ajaran Roj’ah ini menurut ulama-ulama Islam, telah membuat Syiah Imamiyah Itsna Asyariyyah (Ja’fariyah) masuk golongan Ghulaah. Ajaran tersebut sangat menyimpang dari ajaran Rasulullah Saw.
Arroj’ah adalah suatu keyakinan , orang-orang Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariyyah (Ja’fariyah), bahwa suatu saat nanti, Imam mereka yang bernama Muhammad bin Husain al-Askari – yang dikenal sebagai Imam Syiah yang ke-12 dan sekarang menurut mereka masih sembunyi di dalam gua Sarro Man Roa, akan muncul kembali. Kemudian imam itu akan membangkitka Rasulullah, Imam Ali, Siti Fatimah, Imam Hasan, Imam Husein dan imam-imam lain, serta orang-orang yang dekat kepada mereka.
Selanjutnya, semua orang-orang tersebut akan membaiatnya, yang diawali oleh Rasulullah dan disusul yang lain. Bersamaan dengan itu, menurut mereka, Abu Bakar, Umar dan Aisyah serta orang-orang yang dianggap zhalim oleh mereka, dibangkitkan dalam keadaan hidup untuk menerima siksaan-siksaan.
Sunni atau Ahlusunnah wal jamaah tidak membenarkan adanya ajaran Roj’ah dalam Islam. Bagi orang-orang yang berakal sehat, ajaran Syiah tersebut tidak dapat diterima.
  • Kesesatan akidah Syiah lainnya adalah adanya Aqidah Taqiyyah, yakni suatu perkataan dan perbuatan yang dilakukan tidak sesuai dengan keyakinan, untuk menghindari bahaya yang mengancam jiwa, harta dan kehormatan.
  • Aqidah Kema’suman Para Imam, yakni para imam mereka ma’sum (terjaga dari kesalahan dan dosa) serta mengetahui yang ghaib. Menurutnya, para imam lebih utama dari para nabi dan rasul, dan imam itu memiliki kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh malaikat dan para rasul.
  • Aqidah Syiah tentang Al Qur’an (Al-Kafi I/239): “Mushaf Fatimah itu ada dan tebalnya tiga kali lipat Al Qur’an yang ada, dan di dalamnya tidak ada satu huruf pun yang sama dengan Al Qur’an.
  • Aqidah Kota Najaf dan Tanah Karbala: Orang Syiah meyakini bahwa Najaf, Karbala dan Qum sebagai tanah haram, karena terdapat kuburan para imam mereka. Tanah Karbala, menurut orang Syiah, lebih utama daripada Ka’bah.
  • Peringatan Hari Aasyuroo, atau hari yang bersejarah Imam Husein, selalu diperingati kaum Syiah dengan jalan menangis, memukul-mukul badannya, bahkan ada yang melukai dirinya sendiri sampai berlumuran darah, ada yang memukuli badannya sendiri dengan rantai, bahkan ada yang melukai dirinya dengan belati atau pedang.
Ulama-ulama Sunni menilai acara kaum Syiah tersebut, merupakan suatu perbuatan bid’ah (dholalah), karena sangat menyimpang dari ajaran Rasulullah Saw. Bukankah Rasulullah bersabda: “Bukan dari golonganku, orang-orang yang suka memukuli wajahnya dan merobek kantongnya (pakaiannya) serta menyerukan kepada perbuatan jahiliyah.”
Perlu diketahui, bahwa orang-orang Syiah dalam memperingati hari Aasyuuro, mereka hanya mengambil satu peristiwa saja, yakni dimana pada hari itu, Sayyidina Husein menjadi syahid di Karbala (Irak). Atas kematian Husein kaum syiah menangis dan memukul-mukul badannya sebagai bentuk usaha menebus dosa orang-orang Syiah terdahulu.
Dalam kitab Attasyasyyu Baina Mafumil Aimmah wa mafhumil Farisi, disebutkan: Bahwa orang-orang Syiah juga berpuasa pada hari Aasyuuro, tetapi hanya sampai waktu Ashar saja. Berpuasa semacam ini jelas merupakan suatu perbuatan bid’ah karena tidak pernah dilakukan dan diajarkan oleh Rasulullah Saw.
Seorang ahli sejarah (tokoh Syiah) yang dikenal dengan sebutan Al-Ya’quubi, menerangkan dalam kitabnya sebagai berikut: Ketika Imam Ali Zainal Abidin memasuki kota Kufah, beliau melihat orang-orang Syiah (Syiah pengikut ayahnya, Ali bin Abi Thalib) menangis,kemudian Imam Ali Zainal Abidin berkata kepada mereka: “Kalianlah yang membunuhnya, tetapi kalian pula yang menangisinya..”.
Anehnya, orang Syiah selalu membawa cerita-cerita Karbala dengan mengkambinghitamkan orang lain, padahal mereka lah penyebab terbunuhnya Imam Husein di Karbala.
Riwayat & Hadits Palsu
Sejak dahulu, orang-orang Syiah sudah terkenal dalam membuat hadits-hadits palsu, bahkan mereka mempunyai keahlian dalam membuat riwayat-riwayat palu. Mereka tidak segan-segan mencatut nama-nama Ahlul Bait, demi kepentingan golongannya. Mereka juga terbiasa menghalalkan segala cara demi kepentingannya.
Begitu juga dalam memperingati hari Aasyuuro. Ulama Syiah dalam usahanya menguatkan cara memperingati hari tersebut, mereka telah membuat riwayat-riwayat palsu, dengan mengatasnamakan Ahlul Bait. Diantaranya sebagai berikut:
(1)Barangsiapa menangis atau menangis-tangiskan dirinya atas kematian Husein, maka Allah akan mengampuni segala dosanya, baik yang sudah dilakukan maupun yang akan dilakukan. (2) Barangsiapa menangis atau menangis-tangiskan dirinya atas kematian Husein, wajiblah (pastilah) dirinya memperoleh surga. Demikian jaminan dari ulama Syiah, cukup menangis atas kematian Sayyidina Husein ra sudah bisa masuk surga. Bukan itu ajaran Rasulullah Saw!!
Disamping itu, masih banyak lagi riwayat-riwayat palsu yang mereka buat, tidak kurang dari 458 riwayat, mengenai ziarah ke makam Imam-imam Syiah, bahkan dari jumlah tersebut, 338 khusus mengenai kebesaran dan keutamaan serta pahala besar bagi peziarah ke makan Imam Husein ra atau ziarah ke Karbala. Sebagai contoh:
1)Barangsiapa haji sebanyak 20 kali, maka ganjarannya sama dengan ziarah ke kuburan Husein sekali.
2) Barangsiapa ziarah ke makam Imam Husein di Karbala pada hari Arofah, maka ganjarannya sama dengan haji 1.000 kali bersama Imam Mahdi, disamping mendapatkan ganjarannya memerdekakan 1.000 budak  dan ganjarannya bershadaqah 1.000 ekor kuda.
3) Barangsiapa ziarah ke makam Imam Husein pada Nifsu Sya’ban, maka sama dengan ziarah Allah di Arasy-Nya.
4) Barangsiapa ziarah ke makam Husein di Karbala pada hari Aasyuuro, maka ia akan mendapatkan ganjaran dari Allah, seperti orang haji 2.000 kali dan seperti orang yang berperang bersama Rasulullah 2.000 kali.
5) Andaikan saya katakana mengenai ganjaran ziarah ke makam Imam Husein, niscaya kalian tinggalkan haji dan tidak ada seorang pun yang perhi haji.
Itulah diantara hadits-hadits palsu yang bersumber dari kitab Syiah: Wasaailussyiah oleh Al-Khuurul Amily (Ulama Syiah). Seperti itulah kedustaan orang Syiah.
  • Mengenai Nikah Mut’ah, kaum Syiah menjadikan dasar ajaran Syiah, siapa mengingkarinya kafir. Mereka menganggap, menika mut’ah sekali akan menjadi ahli surga. Orang yang meninggal dan belum pernah menikah mut’ah , akan datang di hari kiamat dalam kondisi bunting. Derajat orang yang menikah mut’ah sekali seperti Husain, dua kali seperti Hasan, tiga kali seperti Ali, dan tiga kali seperti Rasulullah Saw.
  • Penilaian Syiah terhadap selain kelompoknya (khususnya Sunni): Orang bukan Syiah adalah buta mata dan hati, terlaknat, sesat dan menyesatkan, murtad, kafir. Syiah memandang halal harta dan darah Sunni (Ahlu Sunnah), lebih kafir daripada Yahudi dan Nasrani. Wanita Syiah tidak boleh dinikahkan dengan laki-laki Sunni, karena ia kafir.  (A. Satria) 
  •  Sumber : www.voa-islam.com

Senin, 23 Januari 2012

IKHWANUL MUSLIMIN MENANG 47% KURSI PARLEMEN

Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP), Ikhwanul Muslimin telah memenangkan 47,18 persen kursi di parlemen Mesir. Demikian disampaikan Komisi Pemilu Mesir mengumumkan pada Sabtu (21/1), usai menilai hasil akhir dari pemilu maraton tersebut.

"Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) memenangkan 235 kursi di Majelis Rakyat baru, atau 47,18 persen," ujar Kepala Komisi Pemilu Mesir, Abdel Moez Ibrahim.

Ini mengukuhkan penghitungan suara sebelumnya, yang menunjukkan keunggulan partai-partai Islam dalam pemilu yang digelar setahun setelah tumbangnya rezim Hosny Mubarak.

Berdasarkan hasil akhir itu, partai Islam moderat Ikhwanul Muslimin Mesir menjadi fraksi terkuat, dengan meraih 235 dari 498 kursi di parlemen. Sementara partai Al Nur atau juga disebut kelompok Salafi yang berhaluan konservatif garis keras, meraih 121 kursi.

Sedangkan partai-partai sekuler dan liberal hanya dapat mencapai perolehan suara yang kurang memuaskan. Partai liberal Wafd hanya memperoleh sekitar 8 persen suara atau 42 kursi. Partai Aliansi Mesir yang berhaluan sekuler hanya meraih sekitar 7 persen suara atau 33 kursi.

Media massa Mesir melaporkan, seluruhnya 15 partai terwakili di parlemen. Partai remaja revolusioner yang berperan besar menumbangkan rezim Mubarak, samasekali tidak terwakili di parlemen. Juga partai perempuan dan partai Kristen.

Majelis Rakyat, atau majelis rendah parlemen, terdiri dari 498 anggota parlemen terpilih dan 10 diangkat oleh militer yang berkuasa.

www.republika.co.id

SUDAH SUCI DARI HAID TAPI BELUM MANDI JINABAH,APAKAH BOLEH BERJIMA'?

Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh. Wb. Ust, Apa hukumnya bersetubuh tapi belum mandi haid, namun sudah bersih dari haid? (dari 085252330xxx)

Jawaban:

Wa ‘alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu wa Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala  Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah, wa ba’d:

Semoga Allah merahmati sdr/i penanya dan kita semua ...
Hendaklah bersabar dan jangan terburu-buru. Walaupun secara jasadiyah sudah bersih dari haid, namun secara ma’nawiyah (nilai) masih belum sempurna kesuciannya, sebelum disempurnakan dengan mandi haid. Maka, sempurnakanlah kesucian Anda dengan mandi wajib. Selain memang itu lebih bersih dan menyegarkan bagi Anda berdua.

Sebenarnya para ulama kita berbeda pendapat dalam hal ini, perbedaan tersebut diterangkan oleh Imam Athb Thabari dalam Tafsirnya.  Namun kebanyakan mereka melarang jima’ dengan isteri yang sudah selesai haid tetapi belum mandi haid. Allah Ta’ala berfirman:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah (2): 222)

Dalam Tafsir Ath Thabari disebutkan tentang makna “Suci” dalam ayat tersebut:
 فقال بعضهم: هو الاغتسال بالماء، لا يحل لزوجها أن يقربها حتى تغسل جميع بدنها.
وقال بعضهم: هو الوضوء للصلاة.
وقال آخرون: بل هو غسل الفرج، فإذا غسلت فرجها، فذلك تطهرها الذي يحلّ به لزوجها غشيانُها.
“Sebagian mereka berkata: maksudnya adalah mandi dengan air, tidak halal bagi seorang suami mendekati isterinya (maksudnya bersetubuh), sebelum dia memandikan seluruh badannya.
Sebagian mereka berkata: maksudnya adalah wudhu untuk shalat
Sedangkan yang lain mengatakan: maksudnya adalah mencuci kemaluan, jika sudah mencuci kemaluannya, maka itu telah mensucikannya, yang dengannya maka suaminya halal untuk bersetubuh dengannya.” [1]
Keterangan dari Imam ath Thabari ini membuktikan bahwa memang telah terjadi perselisihan pendapat dalam masalah ini.
Imam Ath Thabari Rahimahullah[2] melanjutkan:
فتأويل الآية إذًا: ويسألونك عن المحيض قل هو أذى، فاعتزلوا جماع نسائكم في وقت حيضهنّ، ولا تقربوهن حتى يغتسلن فيتطهرن من حيضهن بعد انقطاعه.
“Maka, takwil ayat tersebut adalah: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid, katakanlah dia adalah penyakit, maka jauhilah bersetubuh dengan  wanita kalian pada waktu haid mereka, dan jangan dekati mereka (bersetubuh) sampai mereka mandi, yang bisa mensucikan mereka dari haidnya  setelah terhentinya darah.”  [3]
Berkata Imam Hasan Al Bashri Radhiallah ‘Anhu[4] :
لا يغشاها زوجُها حتى تغتسل وتحلَّ لها الصلاة.
“Suami tidak boleh bersetubuh dengan isterinya, sampai isterinya mandi,  yang dengan mandi  itu  dibolehkan baginya shalat.” [5]
Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Utsman bin al Aswad, dan Ibrahim an Nakha’i Radhiallahu ‘Anhum.
Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhamamdin wa ‘Ala Alihi wa Shahbihi ajma’in.

Wallahu A’lam.

Farid Nu'man Hasan


[1] Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ al Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Juz. 4, Hal. 384. Mu’asasah Risalah, cet.1, 2000M/1420H.  
[2] Dia adalah Abu Ja’far bin Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Ghalib, biasa disebut Imam Ibnu Jarir Ath Thabari. Lahir di Thabaristan pada 224H (839M). Dia dijuluki Imamul Mufassirin (Imamnya para ahli tafsir). Kuat hafalannya, cerdas, tawadhu, wara’ (hati-hati terhadap perkara syubhat), zuhud, dan suka bergurau. Karyanya Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran merupakan kitab tafsir besar tertua yang masih ada sampai saat ini. Begitu pula dalam bidang sejarah, karyanya Tarikhul Umam wal Muluk merupakan kitab sejarah lengkap dan belum ada yang mampu menyamainya. Sehingga dia pun juga dijuluki Aba At Tarikh (Bapaknya ahli sejarah). Wafat di Baghdad Ahad sore tahun 310H (923M). Banyak sekali manusia mengantarkan jenazahnyadan hanya Allah Ta’ala yang mengetahui jumlahnya.
[3] Ibid, Juz. 4, Hal. 385.
[4] Dia adalah Al Hasan bin Abi Al Hasan, nama aslinya adalah Yassar Al Bashri Abu Said. Imamnya generasi tabi’in, lahir dua tahun sebelum wafatnya Khalifah Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu. Ketika bayi pernuh disusui oleh Ummu Salamah, isteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Orang shalih, salah satu wali Allah, hidupnya berkawan dengan kesedihan dan kesusahan, ucapannya penuh hikmah, bahkan ada yang mengatakan bak hikmah para nabi, tampan mempesona, ahli ibadah, zuhud, dan menjadi gurunya para imam  masa tabi’in, seperti Atha’, Thawus, Amr bin Syu’aib dan Mujahid. Tak ada manusia yang menyamainya dalam masalah keilmuan pada masanya, namun jika dia punya masalah dia bertanya kepada kawannya pada masa tabi’in yakni Imam Said bin Al Musayyib (mantu Abu Hurairah) sebagaimana diceritakan oleh Qatadah. Al Hasan wafat pada hari Jumat bulan Rajab 110H.
[5] Ibid, Juz. 4, Hal. 386. 


sumber : islamedia.web.id

DOA SEPERTI AKSES INTERNET

Internet dan pengguna internet saat ini telah hampir digunakan dari semua kalangan, dari mahasiswa, anak sekolah, orang kantoran, ibu rumah tangga, pengangguran, anak TK, dari yang digunakan untuk main game, interaksi sosial, mencari wawasan, mencari uang, hingga internet telah menjadi target-target program perusahaan dan pemerintahan “Internet masuk desa”.
Lalu ada apa dengan doa? Dalam menggunakan internet, melakukan akses dipengaruhi biaya/paket yang dikeluarkan, waktu dan tempat mengakses internet, belum lagi hardware-software yang digunakan untuk mempercepat akses, dan doa pun juga seperti akses internet.
Kecepatan akses internet, kadang tergantung kapan kita menggunakan internet, di pagi hari, siang, sore, atau malam, kalau jam-jam aktivitas menggunakan internet lebih lambat, begitu juga dimana kita menggunakan internet, di kampus, di rumah, di perkotaan, di desa, kadang ada orang yang membangun mini tower signal untuk mendapat sinyal kuat, kadang mencari tempat-tempat yang menyediakan akses kecepatan yang lebih, pakai modem paket bulanan, mingguan, harian, unlimited, atau dengan kuota yang kecepatan tergantung harga dari paket. Bagaimana dengan doa? Hadits Rasulullah:
1. Sepertiga Akhir Malam
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Rabb kami yang Maha Berkah lagi Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia pada sepertiga akhir malam terakhir, lalu berfirman: Barangsiapa yang berdoa, pasti akan Kukabulkan, barangsiapa yang memohon pasti akan Aku perkenankan dan barangsiapa yang meminta ampun, pasti akan Ku ampuni.” (HR Bukhari)
2. Di saat berbuka puasa
Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu’anhu, dia mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa pada saat berbuka ada doa yang tidak ditolak.” (HR Ibnu Majah)
3. Pada shalat fardhu sebelum salam di tasyahud akhir
Dari Abu Umamah Radhiyallahu’anhu, Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam ditanya tentang doa yang paling didengar oleh Allah Subhanahu wata’alla, beliau menjawab:
“Di pertengahan malam yang akhir dan pada setiap dubur shalat fardhu.” (HR At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani)
4. Di antara adzan dan iqamah
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Doa tidak akan ditolak antara adzan dan iqamah.” (HR Abu Daud, dishahihkan Al-Albani)
5. Pada saat sedang turun hujan
Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Dua doa yang tidak pernah ditolak; doa pada waktu adzan dan doa pada waktu turun hujan.” (HR Hakim dan dishahihkan oleh Al-Albani)
6. Pada waktu bangun tidur malam hari bagi orang yang bersuci dan berdzikir sebelum tidur
Dari ‘Amr bin ‘Anbasah Radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Tidaklah seorang hamba tidur dalam keadaan suci lalu terbangun pada malam hari kemudian memohon sesuatu tentang urusan dunia atau akhirat melainkan Allah akan mengabulkannya.” (HR Ibnu Majah)
Ada waktu-waktu yang memang membuat doa itu menjadi lebih spesial dibanding doa-doa di waktu lain, seperti di antara yang telah disebutkan di atas. Sepertiga malam, akses di internet di waktu malam akan lebih cepat karena apa? Pengguna internet pada tidur, pengguna internet berkurang, dan sepertiga malam adalah waktu doa, karena merekalah yang bangun di kala orang lain tidur dan waktu yang sulit untuk bangun, mereka berdiri untuk shalat di saat orang lain terbaring di tempat tidur, mereka membasahi diri mereka dengan air wudhu dan tangisan di saat orang lain sedang menutup matanya. Jangan mengeluh ketika hujan, berdoalah karena hujan adalah rahmat, banjir, longsor, dan bencana yang terjadi di saat hujan, bukan karena hujannya, tapi coba introspeksi kerusakan apa yang telah diperbuat manusia, di saat orang banyak mengeluh, “yah hujan, pake hujan segala lagi, kok hujan sih” maka janganlah menjadi pribadi-pribadi yang seperti itu, berdoalah yang baik.
Dan tempat dimana orang itu berdoa, betapa banyak orang-orang mencari tempat makan yang ada akses internetnya, tempat prasarana umum yang ada akses internetnya, maka seharusnya kita juga mencari tempat-tempat yang di situlah doa mudah terkabulkan, di masjid, di majelis ta`lim, di Masjidil Haram, tempat-tempat yang telah Allah berkahi dan memiliki keutamaan karena Allah yang telah memberikannya, rumah-rumah yatim karena di sana banyak anak yatim, santuni anak yatim, rumah para ulama(sekolah, pondok pesantren) bukan karena rumahnya tapi karena di sana ada ulama dan orang-orang shalih, mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Allah, silaturahim ke rumah ulama, ke rumah guru-guru, ke rumah saudara-saudara dan perbanyaklah saudara yang shalih,
Doa seorang muslim terhadap saudaranya tanpa sepengetahuan saudaranya
Dari Abu Darda’ Radhiyallahu’anhu, dia berkata bahwa Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Tidak seorang muslim berdoa untuk saudaranya yang tidak ada dihadapannya kecuali ada seorang malaikat yang ditugaskan berkata kepadanya: ‘Aamiin, dan bagimu seperti yang kau do’akan.” (HR Muslim)
Bukan ke kuburan, bukan ke dukun, melakukan kesyirikan dengan bertawasul kepada orang-orang yang sudah mati, perbanyaklah pulang ke rumah yang masih orang tuanya hidup, pergi ke pantai mengarung sesaji, meminta kepada setan. Lalu perbanyaklah waktu di rumah yang orang tuanya masih hidup, berbaktilah:
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu, dia Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Tiga doa yang tidak ditolak; doa orangtua terhadap anaknya, doa orang yang sedang puasa, dan doa seorang musafir.” (HR Baihaqi dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Selain tempat dan waktu, kita juga membayar paket internet. Maka paket doa adalah dengan amalan-amalan baik yang kita lakukan, shalat, puasa, baca Quran, sedekah, silaturahim, mohon ampun, berhenti dan berusaha semaksimal untuk berkurang maksiat yang kita lakukan tiap waktunya dan amalan lainnya, bahkan kita diperbolehkan berdoa dengan menyebut amalan baik kita(bertawasul dengan amalan baik). Dalam berdoa yang ditekankan adalah kita hidup ini sebenarnya dalam keadaan berperang, selain berperang dengan godaan setan, nafsu, maksiat, kita juga sedang berperang dalam doa, usaha, dan dalam tawakkal, maka kita juga harus punya dan memanfaatkan strategi-strategi yang telah Allah dan RasulNya beritahukan, memang Allah maha Mengabulkan, Maha mendengar, Maha mengetahui, tapi kita sedang berperang setidaknya doa kita juga berperang dengan maksiat yang telah kita lakukan, karena sesungguhnya maksiat adalah penghalang terkabulnya doa. Wallahu`alam.

MARI BIASAKAN STW (SHALAT TEPAT WAKTU)

Abdullah Ibnu Mas’ud RA berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, amal perbuatan apa yang paling afdhal?” Beliau menjawab, “Shalat tepat pada waktunya.” Aku bertanya lagi, “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Berjihad di jalan Allah.” (HR. Bukhari)
Mendirikan shalat sudah menjadi rutinitas muslim, karena memang itu salah satu hal yang wajib dari perintah wajib lainnya yang harus ditunaikan. Begitu pentingnya shalat ini sehingga tidak ada ruang untuk kita melalaikannya(terutama bagi laki-laki yang sudah baligh); tidak mampu berdiri, kita bisa dengan duduk, tidak bisa duduk dengan berbaring, dan sebagainya sampai kita bisa melakukannya. Atau ketika tidak ada air kita bisa bertayamum, ketika dalam perjalanan kita bisa mengatur waktu shalat kita dengan menjamak atau mengqashar shalat kita. Inilah yang membedakan shalat dengan ibadah lain. Oleh karena itu, hendaklah kita sebagai seorang muslim terus meningkatkan kualitas ibadah shalat yang kita lakukan setiap harinya dengan baik dan benar. Benar dalam arti sesuai dengan Sunnah, Baik dalam arti mengerjakannya Semata-mata hanya karena Allah dan melaksanakan shalat dengan tidak menunda2 waktunya.
Ketika Adzan berkumandang, sudahkah kita menyegerakan shalat? Sudahkah kita memenuhi langsung seruan Allah itu? Saat waktu shalat tiba, tidak ada yang lebih penting untuk dilakukan selain mendirikan shalat dan bergegaslah mencari air untuk berwudhu lalu segera shalat.
Senang rasanya bila senantiasa bisa shalat tepat pada waktunya, apalagi shalatnya berjamaah di Masjid. Selain akan mendapatkan nilai pahala dua puluh tujuh kali lebih utama dibanding shalat sendirian di rumah, seiring dengan itu ingin membangun prestasi dalam shalat. Setiap mukmin seharusnya ada keinginan untuk menjadi yang terbaik di hadapan Allah.
“Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.(QS 67:1-2)
Bukankah amal shalat yang pertama akan dihisab nanti di akhirat, seperti yang dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya, “Yang pertama dihisab dari amalan hamba pada hari Kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, ia beruntung dan selamat. Akan tetapi jika shalatnya kurang, ia merugi.” Ini kutipan ayat, kita dianjurkan untuk memakmurkan masjid “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman pada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat” Surah At-Taubah ayat 18.
Utsman bin ‘Affan RA berkata; “Barang siapa selalu mengerjakan shalat lima waktu tepat pada waktu utamanya, maka Allah akan memuliakannya dengan sembilan macam kemuliaan, yaitu :
  1. Dicintai Allah
  2. Badannya selalu sehat;
  3. Keberadaannya selalu dijaga malaikat;
  4. Rumahnya diberkahi;
  5. Wajahnya menampakkan jati diri orang shalih;
  6. Hatinya dilunakkan oleh Allah;
  7. Dia akan menyeberang Shirath (jembatan di atas neraka) seperti kilat;
  8. dia akan diselamatkan Allah dari api neraka; dan Allah Akan menempatkannya di surga kelak bertetangga dengan orang-orang yang tidak ada rasa takut bagi mereka dan tidak pula bersedih hati”
Abul Aliyah mengatakan, “Aku akan bepergian beberapa hari untuk menemui seseorang, dan yang pertama kali akan kulihat darinya yaitu shalatnya. Jika ia mendirikan shalat dengan sempurna dan tepat waktu, maka aku akan bersamanya, dan mengambil ilmu darinya. Jika kutemukan ia tidak mempedulikan shalat, maka aku akan meninggalkannya dan mengatakan kepada diriku bahwa selain daripada itu (shalat), pastilah dia lebih tidak peduli lagi”
Allahu Akbar.. Ya Allah aku hadapkan wajahku di hadapan-MU ya Allah semata-mata untuk mengharapkan RidhaMU Segala Puji Hanya bagiMU Ya Rabb… Yang lain kecil Ya Allah Engkaulah Yang Maha Besar
Sudah shalat 5 waktukah anda hari ini? Sudah baik dan benar kah shalat anda? Berjama’ah kah? Dan sudah tepat waktu kah?

Rabu, 18 Januari 2012

MENGENAL WALI ALLAH

Oleh Abdullah Haidir, Lc
Wali Allah, adalah istilah yang tidak asing di kalangan kaum muslimin. Namun demikian, banyak kaum muslimin yang tidak memahami masalah ini secara tepat dari sudut pandang syari’ah. Padahal tidak jarang terjadi penyimpangan dalam aqidah yang bersumber dari rancunya pemahaman istilah tersebut pada diri seseorang.

Siapakah Wali Allah?

Menurut bahasa: Wali (ولي) berarti pembela dan pencinta.[1])

Sedangkan menurut istilah, pemahaman tentang wali secara lugas telah dinyatakan dalam Al-Quran dalam surat Yunus: 62-63.

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus: 62-63)

Al-Laalikai berkata:

"Wali adalah kedudukan tinggi dalam agama yang hanya dicapai oleh orang yang telah menegakkan agama, baik lahir maupun batin. [2])

Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya tentang ayat ini, setelah menyebutkan pendapat tentang siapa yang dimaksud wali Allah, berkata,

"Yang benar, wali maksudnya wali Allah, adalah mereka yang memiliki sifat sebagaimana yang telah Allah sifati, yaitu; Beriman dan bertakwa, sebagaimana firman-Nya, "(Yaitu) orang-orang beriman dan mereka selalu bertakwa.” [3])

Ibnu Katsir berkata:

“Allah Ta’ala mengabarkan bahwa sesungguhnya para wali-Nya adalah mereka yang beriman dan bertaqwa -sebagaimana yang telah Dia dijelaskan-. Maka siapa saja yang bertaqwa, dia adalah wali Allah Ta’ala” [4])

Istilah wali dapat dipahami dari dua sisi yang saling berkaitan satu sama lain:

Pertama, dari sisi seorang hamba. Seseorang dikatakan sebagai wali Allah (Waliyullah) jika dia adalah orang beriman kepada-Nya, mencintai dan membela ajaran-Nya dan menjalankan syariat-syariat-Nya.

Kedua, dari sisi Allah Ta’ala. Allah adalah Wali bagi orang beriman (Waliyullazina Aamanuu). Maka itu berarti Dia mencintai dan menolong hamba-Nya yang beriman dengan sebenar-benarnya.

Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits Rasullah saw dalam riwayat Bukhari:

« إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ  بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَلاَ يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ  حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ     وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ     الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِي لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لأُعِيْذَنَّهُ » [رواه البخاري]              

“Sesungguhya Allah Ta’ala berfirman: Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengumumkan perang terhadapnya. Tidak ada ibadah seorang hamba yang lebih Aku cintai kecuali ibadah yang telah Aku wajibkan kepadanya. Jika hamba-Ku selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan perkara-perkara sunah (setelah melaksanakan yang fardhu) maka Aku akan mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku (akan menjaga) pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, (menjaga) penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, (menjaga) tangannya yang digunakannya untuk memukul dan (menjaga) kakinya yang digunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan berikan dan jika dia minta perlindungan dari-Ku niscaya Aku akan lindungi.” (HR Bukhari)

Berdasarkan pemahamaman yang bersumber Al-Quran dan Sunnah, kita dapat menyimpulkan bahwa seseorang –siapapun dia- dikatakan sebagai wali Allah manakala dia telah mewujudkan keimanan dan ke-taqwaannya kepada Allah Ta’ala dengan sebenarnya, dan tingkat kewaliannya berbanding dengan tingkat keimanan dan ketakwaannya.

Wali Allah yang paling tinggi adalah pada para Nabi dan Rasul. Maka setiap Nabi dan Rasul pastilah dia wali Allah, tapi tidak setiap wali Allah dia seorang Nabi Rasul. Maka, kelirulah orang yang berpendapat bahwa wali Allah lebih tinggi sedikit tingkatannya di atas para Nabi dan dibawah tingkatan para Rasul. 

Beberapa Pemahaman Keliru Tentang Wali Allah dan Penjelasan Atasnya

-Adanya keyakinan bahwa status wali adalah berdasarkan penunjukkan secara khusus dari Allah kepada seseorang sebagaimana halnya para Nabi dan Rasul. Bahkan ada yang memahami bahwa di daerah-daerah tertentu telah ditunjuk wali-wali tertentu sebagai “Wakil Allah”.

Tidak ada ayat atau hadits yang menunjukkan adanya penetapan khusus dari Allah tentang status wali pada orang-orang tertentu (si fulan dan si fulan), sebagaimana halnya para Nabi dan Rasul. Yang Allah khabarkan hanyalah sifat-sifat yang ada pada wali-Nya. 

Jika orang tersebut beriman kepada Allah dengan benar, men-jalankan perintah dan menjauhkan larangan-Nya serta membela ajaran-Nya, maka dia adalah wali Allah, meskipun tidak ada orang yang memberinya gelar wali. Sebaliknya, jika dia pelaku maksiat, bid’ah dan kesyirikan, maka dia bukanlah wali Allah, meskipun orang-orang menjulukinya sebagai wali.

-Adanya pemahaman bahwa wali Allah harus memiliki kemampuan luar biasa.

Adapun perkara kejadian luar biasa atau yang disebut karomah, hal tersebut bukan syarat bagi seseorang untuk dikatakan wali Allah, meskipun tidak mustahil jika hal itu terjadi. Maka dapat disimpulkan bahwa adanya karomah, jika benar hal itu terjadi dan benar bahwa itu karomah, menunjukkan kewalian seseorang, sedangkan kewalian seseorang tidak harus ditunjukkan dengan adanya karomah. Tapi cukup dengan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah Ta’ala sesuai tingkatannya.

Perlu dipahami, bahwa setiap orang yang mengalami kejadian luar biasa tidak serta merta dia dikatakan wali Allah, bahkan mungkin juga terjadi pada wali setan jika ternyata pelakunya adalah orang kafir, atau pelaku maksiat, syirik dan bid’ah, sebab hal tersebut dapat juga bersumber dari setan.

Sekali lagi, Wali Allah tidak identik dengan  kejadian luar biasa, dan kejadian luar biasa tidak identik menunjukkan kewalian seseorang.

-Adanya pemahaman bahwa para wali adalah makhluk yang mengetahui perkara gaib dan dapat menentukan nasib seseorang. Sehingga dengan keyakinan tersebut, banyak  yang mendatangi kuburannya jika dia telah meninggal dan memohon sesuatu kepadanya.

Tidak ada yang mengetahui perkara gaib, baik yang ada di langit maupun di bumi selain Allah Ta’ala.

“Katakanlah (hai Muhammad): Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara gaib, kecuali Allah.” (QS. An-Naml: 65)

Begitu pula di alam ini. Tidak ada yang dapat menentukan dan mengatur segala sesuatu kecuali Allah Ta’ala. Tidak satupun selain-Nya yang dapat melakukan hal tersebut, apakah itu wali, dewa, jin, setan, bahkan hingga Nabi dan Rasul.

Bahkan Allah memerintahkan Rasulullah untuk menyatakan kepada umatnya:

“Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan suatu kemudharatan kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfaatan.” (QS. Al-Jin: 21)

Karena itu, meyakini adanya seseorang yang dapat mengetahui perkara gaib atau dapat menentukan sesuatu di alam ini apalagi kemudian memohon atau berdoa kepadanya setelah dia meninggal, adalah termasuk perkara syirik.

Adapun mendatangi orang saleh semasa hidupnya dan memohon agar dia mendoakannya kepada Allah, hal tersebut termasuk tawassul yang dibolehkan dalam syariat.

-Adanya pemahaman bahwa para wali adalah makhluk yang boleh keluar dari ketentuan syariat.

Pemahaman ini sering terjadi di tengah masyarakat. Sehingga tidak jarang terjadi, ada tindakan seseorang di depan publik yang nyata-nyata menyimpang dari syari’at, namun sebagian masyarakat masih mentolerirnya karena menganggap bahwa pelakunya termasuk wali yang derajatnya berbeda dengan masyarakat awam. Bahkan orang tersebut tetap diagung-agungkan dan disanjung-sanjung serta diterima setiap perkataannya.

Semua manusia –tanpa kecuali- tidak ada yang mendapat penge-sahan bahwa dirinya dapat keluar dari aturan syariat. Justru semakin tinggi tingkat ketakwaan seseorang, semakin takut dia meninggalkan ketentuan syariat, baik perkara kecil apalagi yang besar.

Hal itulah yang tercermin dalam kehidupan para nabi, para shahabat dan generasi pertama yang saleh.

-Adanya pemahaman bahwa para wali dapat menjadi sumber pengamalan agama, selain Al-Quran dan Hadits. Baik dalam bentuk keyakinan, zikir, wirid, shalat, puasa dan sebagainya.

Sumber dasar pengamalan agama dalam Islam hanyalah Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah). Siapapun yang ingin menyampaikan ajaran Islam, tidak boleh keluar dari aturan dasar yang telah dite-tapkan kedua sumber tersebut. Bahkan jika ada perbedaan pendapat, kedua sumber itulah yang harus dijadikan rujukan.

Allah Ta’ala berfirman :

“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. An-Nisa: 59)

Maka sekalipun dia dijuluki masyarakat sebagai wali, tapi ajaran Islam yang dia sampaikan harus ditimbang sesuai ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Jika sesuai, maka harus kita ambil dan amalkan. Jika tidak, apalagi yang di dalamnya ada unsur dan keyakinan syirik, maka harus kita buang jauh-jauh dari kehidupan agama. 

Imam Syafi’i rahimahullah berkata:

وَإِذَا رَأَيْتُمْ قَوْلاً لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَالِفُ قَولِي فَاضْرِبُوا بِقَولِي عُرْضَ الْحَائِطِ

“Jika kalian melihat sabda Rasulullah bertentangan dengan pendapatku, maka lemparlah pendapatku ke luar pagar.” [5])

-Adanya pemahaman bahwa para wali harus diagungkan dan tidak boleh ditentang sama sekali. Kalau tidak, maka hidup kita akan sengsara (kualat).

Menghormati wali Allah –jika mereka orang yang iman dan ketak-waannya kepada Allah benar- memang diperintahkan dalam agama. Namun berlebih-lebihan menyanjungnya, dilarang dalam agama.

Rasulullah saw  bersabda :

« لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوا: أَنَا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُوْلُهُ »  [رواه البخاري]

“Janganlah kalian memuji aku berlebih-lebihan sebagaimana orang-orang Nashrani memuji (Isa) anak Maryam secara berlebih-lebihan. Sesungguhnya aku adalah seorang hamba, maka hendaklah kalian berkata: Aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR Bukhari)

Adapun masalah menentang mereka, jika ternyata masalah yang mereka sampaikan adalah sesuatu yang diajarkan syariat, maka kita memang dilarang untuk menentang sesuatu yang diajarkan dalam syari’at.

Namun jika hal tersebut ternyata bertentangan dengan ajaran syari’at, misalnya mereka mengajarkan kita wirid tertentu yang tidak ada sumbernya dalam Al-Quran dan Sunah, atau menyimpan jimat atau minta barokah dari kuburan-kuburan, dll. Maka pada masalah tersebut kita boleh tidak menaatinya dengan tetap menjaga adab yang berlaku.

Sikap tersebut tidak akan membuat hidup kita sengsara (kualat). Karena selain Allah, tidak ada yang dapat menentukan nasib kita. Kalaupun benar terjadi musibah, hal itu bukan semata-mata karena wali tersebut dapat menentukan nasib kita, tapi semata-mata dari Allah sebagai bentuk ujian kepada kita. Wallahu ta’ala a’lam.

Riyadh, Shafar 1433H

[1]. Al-Mu’jam Al-Wasith, item (الولي), hal. 1058
[2]. Syarh I’tiqod Ahlussunnah…, Al-Laalika’i, IX/7
[3]. Tafsir Ath-Thabari, 15/123
[4]. Tafsir Ibnu Katsir, II/422
[5]. Lihat I’lamul Muwaqqi’in, oleh Ibnu Qayim Al-Jauziah II/361.

IKHLAS DALAM NIAT, HUKUM DAN KEUTAMAANNNYA (Bagian ke-4 HABIS)

g. Niat ikhlas menjadi kunci pahala dari suatu amal
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَصَلَاتِهِ فِي سُوقِهِ بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً وَذَلِكَ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ لَا يَنْهَزُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ فَلَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِي الصَّلَاةِ مَا كَانَتْ الصَّلَاةُ هِيَ تَحْبِسُهُ وَالْمَلَائِكَةُ يُصَلُّونَ عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مَجْلِسِهِ الَّذِي صَلَّى فِيهِ يَقُولُونَ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ  متفق عليه
dakwatuna.com - Abu Hurairah RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Seorang laki-laki yang melakukan shalat berjamaah (di masjid) lebih baik dua puluh derajat dibandingkan dengan shalat yang dilakukannya di pasar atau di rumah. Sebab, jika seseorang melakukan wudhu dengan baik, kemudian mendatangi masjid hanya untuk shalat, maka derajatnya akan ditinggikan satu tingkatan, dan keburukannya diampuni setiap kali ia melangkahkan kakinya hingga ia masuk masjid. Bila ia telah masuk masjid, ia diberi pahala sebagaimana orang yang melakukan shalat (sekalipun dia hanya duduk), selama ia menanti shalat (berjamaah). Para malaikat pun mendoakan seseorang, selama ia di tempat shalatnya (ia belum meninggalkan masjid). Para malaikat itu berdoa, ‘Ya Allah, berikan rahmat kepadanya. Ya Allah, ampunilah dia. Ya Allah terimalah tobatnya.’ (Doa tersebut dibaca oleh para malaikat), selama ia tidak menyakiti (orang) dan tidak berhadats.” (Muttafaq ‘alaih)
Pelajaran dari Hadits:
  1. Makruh melakukan shalat di tengah pasar karena sangat ramai sehingga sangat besar kemungkinannya tidak khusyu’.
  2. Shalat berjamaah di masjid lebih tinggi pahalanya 25, 26, atau 27 derajat daripada shalat sendirian.
  3. Ikhlas tetap menjadi kunci pahala dari suatu amal.
  4. Shalat adalah ibadah paling utama karena para malaikat berdoa untuk orang yang sedang shalat.
  5. Di antara tugas malaikat adalah berdoa untuk orang-orang beriman. Allah berfirman, “(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya. Mereka beriman kepada-Nya dan memintakan ampun untuk orang-orang yang beriman…” (QS. Al-Mukmin: 7)
h. Berniat melakukan satu kebaikan ditulis satu kebaikan penuh
وعن أبي العباس عبد الله بن عباس بن عبد المطلب رضي الله عنهما عن رسول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً  متفق عليه
Abul Abbas, Abdillah bin Abbas bin Abdul Muththalib RA berkata bahwa Rasulullah SAW meriwayatkan dari Tuhannya SWT, “Sesungguhnya, Allah mencatat[1] kebaikan dan keburukan.” Kemudian Allah menjelaskan, “Barangsiapa yang bermaksud mengerjakan kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, maka Allah yang Mahasuci dan Mahatinggi mencatatnya sebagai satu kebaikan penuh di sisi-Nya. Jika ia bermaksud untuk melakukan kebaikan lalu dilakukannya, Allah mencatat baginya sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus lipat, bahkan berlipat-lipat. Namun, jika ia bermaksud untuk melakukan kejelekan, lalu tidak dikerjakannya, Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan penuh di sisi-Nya.[2] Jika ia bermaksud untuk mengerjakan keburukan lalu dikerjakan, Allah mencatatnya sebagai satu keburukan.” (Muttafaq ‘alaih)
Pelajaran dari Hadits:
  1. Orang yang berniat melakukan kebaikan, ia diberi pahala satu kebaikan karena tekad melakukan kebaikan adalah awal kebaikan, dan awal kebaikan adalah kebaikan.
  2. Orang yang berniat melakukan keburukan, lalu menjauhi keburukan tersebut karena takut kepada Allah, ia diberi pahala satu kebaikan karena niat buruk yang urung dilakukan adalah suatu kebaikan. Allah berfirman, “…Sesungguhnya, perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk…” (QS. Huud: 114)
i. Beramal dengan ikhlas menjadi sebab dimudahkannya kesulitan
وعن أبي عبد الرحمن عَبْدِ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ انْطَلَقَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى أَوَوْا الْمَبِيتَ إِلَى غَارٍ فَدَخَلُوهُ فَانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنْ الْجَبَلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهِمْ الْغَارَ فَقَالُوا إِنَّهُ لَا يُنْجِيكُمْ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ إِلَّا أَنْ تَدْعُوا اللَّهَ بِصَالِحِ أَعْمَالِكُمْ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ اللَّهُمَّ كَانَ لِي أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ وَكُنْتُ لَا أَغْبِقُ قَبْلَهُمَا أَهْلًا وَلَا مَالًا فَنَأَى بِي فِي طَلَبِ شَيْءٍ يَوْمًا فَلَمْ أُرِحْ عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَا فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوقَهُمَا فَوَجَدْتُهُمَا نَائِمَيْنِ وَكَرِهْتُ أَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أَهْلًا أَوْ مَالًا فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدَيَّ أَنْتَظِرُ اسْتِيقَاظَهُمَا حَتَّى بَرَقَ الْفَجْرُ فَاسْتَيْقَظَا فَشَرِبَا غَبُوقَهُمَا اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ فَانْفَرَجَتْ شَيْئًا لَا يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ الْآخَرُ اللَّهُمَّ كَانَتْ لِي بِنْتُ عَمٍّ كَانَتْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيَّ فَأَرَدْتُهَا عَنْ نَفْسِهَا فَامْتَنَعَتْ مِنِّي حَتَّى أَلَمَّتْ بِهَا سَنَةٌ مِنْ السِّنِينَ فَجَاءَتْنِي فَأَعْطَيْتُهَا عِشْرِينَ وَمِائَةَ دِينَارٍ عَلَى أَنْ تُخَلِّيَ بَيْنِي وَبَيْنَ نَفْسِهَا فَفَعَلَتْ حَتَّى إِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهَا قَالَتْ لَا أُحِلُّ لَكَ أَنْ تَفُضَّ الْخَاتَمَ إِلَّا بِحَقِّهِ فَتَحَرَّجْتُ مِنْ الْوُقُوعِ عَلَيْهَا فَانْصَرَفْتُ عَنْهَا وَهِيَ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيَّ وَتَرَكْتُ الذَّهَبَ الَّذِي أَعْطَيْتُهَا اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ فَانْفَرَجَتْ الصَّخْرَةُ غَيْرَ أَنَّهُمْ لَا يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ مِنْهَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ الثَّالِثُ اللَّهُمَّ إِنِّي اسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ فَأَعْطَيْتُهُمْ أَجْرَهُمْ غَيْرَ رَجُلٍ وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذِي لَهُ وَذَهَبَ فَثَمَّرْتُ أَجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنْهُ الْأَمْوَالُ فَجَاءَنِي بَعْدَ حِينٍ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَدِّ إِلَيَّ أَجْرِي فَقُلْتُ لَهُ كُلُّ مَا تَرَى مِنْ أَجْرِكَ مِنْ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالرَّقِيقِ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ لَا تَسْتَهْزِئُ بِي فَقُلْتُ إِنِّي لَا أَسْتَهْزِئُ بِكَ فَأَخَذَهُ كُلَّهُ فَاسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئًا اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ فَانْفَرَجَتْ الصَّخْرَةُ فَخَرَجُوا يَمْشُونَ متفق عليه
Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Khaththab RA berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Tiga orang dari kaum sebelum kalian berjalan-jalan hingga mereka bermalam di sebuah gua. (Tiba-tiba), sebuah batu besar jatuh dari gunung, dan menutup pintu gua. Mereka berkata, “Tidak akan ada yang mampu menyelamatkan kita dari batu besar ini, kecuali jika kita berdoa kepada Allah dengan amal baik kita.”
Orang pertama berkata, “Ya Allah, aku memiliki dua orang tua yang sudah lanjut usia. Aku tidak pernah mendahulukan keluarga atau budak untuk minum susu (di sore hari) sebelum mereka berdua. Pada suatu hari, aku terlalu jauh mencari pepohonan (kayu bakar) hingga aku tidak pulang kecuali keduanya sudah tidur. Lalu, aku memerah susu untuk mereka, tapi mereka sudah tidur.
Aku tidak ingin membangunkan mereka, tapi aku juga tidak ingin memberikan susu itu kepada keluargaku (anak dan istri) atau budak. Gelas itu tetap di tanganku menanti kedua orang tuaku bangun hingga fajar terbit. Padahal, anak-anak menjerit kelaparan di kakiku. Keduanya (ayah dan ibu) bangun lalu meminum air susu itu. Ya Allah, jika perbuatanku itu untuk mencari keridhaan-Mu, maka singkirkanlah batu ini.” Batu itu pun bergeser, namun mereka belum bisa keluar.
Laki-laki yang lain berkata, “Ya Allah, sesungguhnya, aku mempunyai sepupu wanita yang sangat aku cintai.” Di dalam riwayat lain disebutkan, “Aku sangat mencintainya, sebagaimana seorang laki-laki mencintai seorang wanita. Aku menginginkan dirinya (ingin menggaulinya), namun dia selalu menolak. Ketika ia ditimpa paceklik, ia datang meminta bantuan kepadaku. Aku memberinya 120 dinar dengan syarat dia mau menyerahkan dirinya untukku. Dia pun setuju. Ketika aku sudah menguasainya…” Di dalam riwayat lain disebutkan, “Ketika aku bersiap untuk menggaulinya, ia berkata, ‘Bertaqwalah kepada Allah dan jangan kamu pecahkan tutup kecuali dengan cara yang sah.’[3] Maka aku meninggalkannya, padahal dia adalah orang yang paling aku cintai. Emas (dinar) yang kuberikan kepadanya tidak aku ambil lagi. Ya Allah, jika perbuatanku itu untuk mencari keridhaan-Mu, maka berilah kami jalan keluar dari cobaan ini.” Batu itu pun bergeser, namun mereka belum juga bisa keluar.
Laki-laki ketiga berkata, “Ya Allah, aku mempunyai sejumlah buruh. Aku berikan gaji mereka, kecuali satu orang. Ia pergi (begitu saja) dan tidak mengambil gajinya. Lalu, aku kembangkan gajinya itu, hingga menjadi banyak. Beberapa tahun kemudian, ia datang kepadaku seraya berkata, ‘Tuan, berikan gajiku (yang dulu).’ Aku berkata, ‘Semua yang kamu lihat: unta, sapi, kambing, dan budak, adalah gajimu.’
‘Tuan, Anda jangan menghinaku.’
‘Aku tidak menghinamu.’
Lalu ia mengambil seluruhnya. Ia menggiring seluruh ternak itu dan tidak meninggalkan satu pun.
Ya Allah, jika perbuatanku itu untuk mencari keridhaan-Mu, maka berikan kepada kami jalan keluar dari cobaan ini.” Batu itu pun bergeser. Dan mereka bertiga bisa keluar.’” (Muttafaq ‘alaih)
Pelajaran dari Hadits:
  1. Anjuran untuk berdoa di waktu susah dan senang, dengan menggunakan amal shalih sebagai perantara.
  2. Berbuat baik kepada kedua orang tua, dan mendahulukan mereka daripada anak dan istri adalah perilaku yang sangat baik.
  3. Anjuran untuk menjauhi perkara yang dilarang, terutama ketika mampu menjauhinya untuk mendapatkan ridha Allah.
  4. Memenuhi janji, bisa memegang amanah, dan tidak mempersulit urusan dalam bisnis adalah perilaku yang sangat baik.
  5. Doa yang didasari keikhlasan dan kesungguhan serta menjadikan amal shalih sebagai pengantar, pasti terkabul.
  6. Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat amal shalih.
– Selesai

Catatan Kaki:
[1] Menyuruh para malaikat-Nya untuk mencatat kebaikan dan kejelekan.
[2] Karena ia tidak mengerjakan kejelekan.
[3] Jangan kamu ambil keperawananku kecuali setelah pernikahan.

PA, BU, TOLONG JANGAN KATAKAN HAL INI PADA ANAK ANDA (Bagian Ke-1)

Memiliki dan membesarkan sang buah hati punya seni tersendiri. Apalagi, kata para pemerhati anak, tidak ada sekolah khusus untuk menjadi orang tua. Tak jarang, kita terlalu yakin mampu membesarkan buah hati dengan cara sendiri. Ternyata, tidak semudah itu. Berawal dari komunikasi sehari-hari, perkembangan anak pun bisa saja terganggu. Nah, bapak dan ibu, ada kata-kata yang sebaiknya tidak Anda lontarkan untuk buah hati tercinta.
Apa itu?
''Pergi sana! Bapak Mau Sendiri!''
Ketika Anda kerap melontarkan kata-kata ini pada anak, Suzette Haden Elgin, pendiri Ozark Center, mengatakan anak-anak akan berpikir tidak ada gunanya berbicara dengan orang tuanya karena mereka selalu diusir. ''Jika Anda terbiasa mengatakan hal-hal itu pada anak-anak sejak mereka kecil, biasanya mereka akan mengatakan hal serupa ketika dewasa.''
''Kamu Itu...''
Pelabelan pada anak adalah cara pintas untuk mengubah anak-anak. Jika seorang ibu mengatakan, ''Anak saya memang pemalu'', maka anak akan menelan begitu saja label itu tanpa bertanya apa pun. Apalagi, bila kita memberikan label buruk pada anak-anak, itulah yang akan melekat dalam benak mereka. Seumur hidup.

 sumber : republika.co.id

Selasa, 17 Januari 2012

AKU DAN TIGA ISTRIKU

Ketika poligami menjadi sesuatu yang menakutkan, kami sudah menjalaninya dengan menyenangkan. Aku dikaruniai 3 istri yang sangat mendukung perjuanganku. Ketiga istriku saling bersinergi menghadirkan surga di dunia ini menuju surga sebenarnya nanti.
Aku menikahi istri pertamaku pada saat usiaku masih sangat belia. Aku jatuh hati pada pandangan pertama. Tak perlu waktu lama untuk memproses pernikahanku. Istri pertamaku sangat sayang kepadaku, ia selalu menuntun dan membimbingku setiap aku ditimpa masalah dalam hidup. Aku tak akan pernah kehilangan cinta kepadanya.
Istri pertamakulah yang menunjukkan aku pada calon istri keduaku. Aku banyak mengetahui dia dari istri pertamaku itu. Begitu banyak hal yang menarik yang ditunjukkan calon istri keduaku itu, maka tak perlu waktu lama, akupun segera menikahinya. Aku begitu bersemangat, bergairah hidup bersama keduanya.
Tak berhenti sampai disini kebahagiaanku. Kedua istriku itu membujukku untuk segera memperistri seorang akhwat shalihah yang aku sendiri belum pernah mengenal dia sebelumnya, kecuali dari selembar biodata dan sehelai pas foto hitam putih ukuran 4×6. Bahkan usiaku belum genap 22 tahun saat itu. Tapi karena aku sudah sangat percaya kepada kedua istriku itu, maka dengan mengucap bismillah aku menikahi istri ketigaku.
Alhamdulillah lengkap sudah kebahagiaanku, apalagi di kemudian hari dari rahimnya terlahir 5 orang anak yang lucu-lucu. Tapi dibanding yang lainnya, istri ketiga ini paling banyak berkorban. Demi kedua istriku sebelumnya, dia lebih banyak mengalah untuk memberiku waktu lebih banyak bersama mereka. Dia sudah tahu bahwa aku menikahi istri pertama dan kedua atas dasar cinta, tapi aku menikahi istri ketigaku atas dasar cintaku pada kedua istriku pertamaku itu. Cinta itu baru tumbuh belakangan, setelah kutahu bahwa dia begitu cinta kepadaku. Istriku ketigaku pun sangat hormat, cinta dan sayang kepada dua istri pertamaku.
Istri pertamaku bernama Ilmu, dia begitu bercahaya dihatiku. Istri keduaku bernama Dakwah, ia begitu menginspirasi gerak kehidupanku. Dan istri ketigaku itulah istriku sebenarnya, yang rela menikah denganku atas bimbingan Ilmu dan Dakwah . Semoga cinta ini kekal hingga ke surga.

Sumber: fimadani.com

DO'A UMAR, MANA YANG KITA PILIH?

“Ya Allah, lindungilah kami dari orang-orang bertaqwa yang lemah, dan tidak bertaqwa yang lemah dan tidak berdaya, dan lindungilah kami dari orang-orang jahat yang perkasa dan tangguh.”
Terdapat tiga komponen utama di dalam bait kalimat tersebut. Pertama, perlindungan terhadap orang bertaqwa yang lemah. Kenapa kita harus memohon perlindungan dari orang bertaqwa yang lemah? Bagaimana mungkin orang bertaqwa dibilang sebagai seorang yang lemah? Secara logika, ketika orang disebut sebagai hamba yang bertaqwa maka otomatis kedekatan dirinya dengan Allah adalah hal yang menonjol. Namun ternyata, ia justru disebut sebagai orang yang lemah oleh manusia di sekelilingnya.
Lemah di sini berarti bahwa ia tidak memiliki bargaining position (nilai tawar) di dunia, di kehidupan sosial di mana dia berada. Da’i tidak lagi didengar kata-katanya, tidak lagi dicontoh keteladanannya, apalagi dihargai keberadaannya oleh masyarakat. Hal itu tidak lain adalah lantaran masyarakat tidak lagi merasakan kemanfaatan dengan adanya kita (da’i) di tengah mereka. Da’i, tidak semuanya mampu menunjukkan prestasinya di hadapan publik. Secara kualitas ibadah vertikal (hablumminallah), dia mungkin mendapat grade mendekati sempurna. Akan tetapi, saat dihadapkan dengan masyarakat (hablumminannas), sang da’i pun mendadak ‘melempem’.
Dia kurang dapat srawung (bergabung) dengan tetangga, mungkin dari segi keramahan dinilai kurang oleh masyarakat; kurang rapi dalam manajemen kehidupannya; hingga pada taraf lemahnya intelektualitas dan ekonomi sang da’i. Ya, kita semua menyadari bahwa da’i bukan malaikat. Akan tetapi, hal ini sangat berpengaruh terhadap citra da’i di hadapan publik. Bagaimana bisa da’i dipercaya untuk mengurus urusan umat manakala urusan diri pribadinya pun berantakan.
Kedua, bait kalimat di atas menuntun kita untuk memohon perlindungan dari orang tidak bertaqwa yang lemah dan tidak berdaya. Jika dibandingkan dengan aspek pertama, maka aspek kedua ini jauh lebih parah. Ibarat kata, sudah lemah, tidak berdaya, ditambah lagi tidak ada ketakwaan di dalamnya. Jika diumpamakan dengan kacang, maka kualitas orang ini adalah kacang yang kosong tak berisi, ditambah lagi kulitnya kusam dan tidak menarik. Sedikit pun tidak ada alasan yang mampu membuat orang lain mau untuk melirik ke arah orang tersebut.
Lemah daya dan lemah takwa ini menjadi masalah yang serius jika dihinggapi oleh sebagian besar orang. Tatanan masyarakat yang akan lahir adalah masyarakat yang jauh dari nilai peradaban islami yang didambakan.
Aspek ketiga yakni permohonan perlindungan terhadap orang jahat yang perkasa dan tangguh. Pada masa sekarang ini sangat banyak orang yang memiliki kekuasaan tinggi atas kehidupan dunia. Mereka menguasai sebagian besar perekonomian dunia, memiliki kuasa penuh terhadap lalu lintas media, pertahanan dan keamanan, hingga menjadi aktor utama jalannya hukum di negara. Mereka kuat, sangat kuat. Namun kekuatan yang mereka miliki tiada digunakan untuk kemanfaatan orang banyak. Mereka memperkaya diri dengan memperbudak banyak orang. Mereka memainkan seenaknya hukum dengan uang yang mereka punya, pun mereka mengatur arus media agar sesuai dengan kepentingan mereka.
Sekali lagi, mereka kuat, bahkan sangat kuat. Namun tidak ada bargaining position mereka di hadapan Allah. Ibarat mutiara, mereka baik pada polesan luarnya saja. Di dalam tubuh mereka kosong tak berisi. Mereka menjadi trouble-maker di setiap lingkungan di mana mereka berada.
Orang bertaqwa yang lemah, orang tidak bertaqwa yang lemah, maupun orang jahat yang kuat, ketiganya adalah cerminan ketidakseimbangan dalam kehidupan manusia. Allah telah memberikan garis merah yang jelas bagi kita hamba-Nya tentang bagaimana menjalani kehidupan sebagai seorang insan. Melalui Rasulullah, Allah memberikan sesempurnanya teladan dan pengajaran bagi manusia seluruhnya untuk menjadi manusia seutuhnya. Bagaimana Rasulullah tawazun dalam menjalankan hidupnya. Beliau adalah pemimpin yang terbaik; disegani lawan dicintai kawan, beliau pula seorang suami handal, ayah terbaik, kawan paling setia, dan guru paling mempesona.
Prinsip seorang muslim, bahwa mereka yang terbaik adalah mereka yang bermanfaat sebanyak-banyaknya bagi orang lain, bukan mereka yang memiliki banyak hal pada dirinya sendiri. Bait kalimat di atas merupakan penghayatan dalam dari seorang lelaki tangguh, cerdas nan berbudi, Umar bin Khattab. Nampak jelas tersirat bahwa misi sesungguhnya yang Islam ingin capai adalah melahirkan orang-orang baik yang kuat dan orang-orang kuat yang baik. Dan itu semua mustahil tanpa usaha dari setiap insan sebagai pilar kehidupan.
Mau jadi seperti apa kita??

HENDAKLAH MANUSIA MEMPERHATIKAN MAKANANNYA ( Bagian ke-1)

Mengapa Allah SWT memerintahkan kita untuk memperhatikan makanan kita dalam firman-Nya:
فَلْيَنظُرِ الْإِنسَانُ إِلَىٰ طَعَامِهِ ﴿٢٤﴾
“Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.” (QS. ‘Abasa (80): 24)
Mengapa?
Allah SWT telah memerintahkan kita untuk memikirkan semua makhluk-Nya, dan pada ayat di atas kita diminta memperhatikan apa yang kita makan, karena makanan termasuk ciptaan-Nya dan telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada semua makhluk terdapat tanda dan bukti tentang sebagian sifat-sifat Allah SWT.
Sifat Allah apakah yang dapat kita kenal melalui perhatian kita terhadap makanan?
Banyak sekali, di antaranya bahwa Allah SWT Dialah:
  • الرَّازِقُ Ar Raziq (Maha Memberi rezki),
  • العَلِيْمُ Al ‘alim (Maha Mengetahui),
  • الخَبِيْرُ Al Khabir (Maha Dalam Pengetahuan-Nya),
  • الحَكِيْمُ Al Hakim (Maha Bijaksana),
  • الرَّحِيْمُ Ar Rahim (Maha Penyayang),
  • الكَرِيْمُ Al Karim (Maha Mulia dengan pemberian-Nya),
  • الهَادِي Al Hadi (Maha memberi petunjuk),
  • المُحْيِي Al Muhyi (Maha Menghidupkan),
  • dan المُصَوِّرُ Al Mushawwir (Maha Membentuk).
Bagaimana kita mengetahui bahwa Allah adalah الرّزَّاقُ (Ar-Razzaq, Maha Pemberi rezki)?
Allah SWT Dialah yang memberi makan kepada janin dalam rahim ibunya. Ibu, ayah, pemerintah, masyarakat, atau siapapun tidak mampu memberi rezki kepadanya. Allah telah membuat untuknya tali pusat dari perut janin sampai ke dinding rahim ibunya, dan melalui tali pusat inilah Allah SWT memberikan makanan untuknya selama sembilan bulan. Tatkala bayi lahir, dan tali pusat digunting, Allah SWT menutup saluran itu dan membuka jalan lain bagi masuknya makanan (mulut, kerongkongan, lambung, usus, dan semua alat pencernaan makanan lainnya).
Apakah ibu kita yang menghentikan fungsi tali pusat tersebut? Lalu memfungsikan mulut dan sebelumnya menciptakan alat pencernaan yang lain? Apakah ayah kita ikut andil melakukannya? Apakah pemerintah negara kita atau masyarakat terlibat dalam pembuatan setetes darah atau satu pembuluh darah? Ataukah semua itu dilakukan oleh gunung, pohon, bintang, planet, atau benda lain di alam semesta ini? Merekakah yang mengatur semua rezki bayi itu???!
Setelah kita keluar dari rahim ibu, kita belum dapat memakan buah-buahan dan biji-bijian, roti atau daging. Sedangkan makanan kita yang sebelumnya datang melalui tali pusat kini telah terputus, lalu apakah Allah SWT meninggalkan kita tanpa rezki?? Ternyata tidak. Dia telah membuka untuk kita sumber rezki yang baru berupa air susu ibu yang sebelum melahirkan kita ibu tak memilikinya. Lalu Allah SWT mengilhamkan kita untuk mengisap puting susu ibu agar mengeluarkan susu, padahal saat itu kita belum tahu apa-apa.
Apakah alam yang tak berilmu sedikit pun itu ‘tahu’ bahwa ada sekian banyak bayi telah keluar dari rahim ibunya, dan makanan mereka dari tali pusat telah terputus, lalu ia menciptakan air susu ibu? Bagaimana mungkin bisa sedangkan alam semesta ini buta, tuli, dan tidak memiliki pengetahuan sedikit pun.
Adakah makhluk lain yang turut berkontribusi menyediakan air susu ibu bagi kita. Ibu kita yang susunya kita minum tidak pernah melakukannya, ia hanya tunduk dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Rabb-nya, Allah SWT. Namun, sampai kapan kita bergantung kepada ASI? Padahal adik-adik kita juga membutuhkannya. Akan tiba saatnya kita harus berpisah dari rezki ASI tersebut kepada rezki yang lain…
Jadi, yang telah memberi rezki kepada kita di dalam rahim…
Yang telah menyiapkan rezki kita ke manapun kita pergi…
Yang telah menyediakan tanah untuk tumbuh-tumbuhan yang kita makan…
Yang telah menciptakan air bagi kebutuhan kita dan kebutuhan tanaman yang kita makan…
Yang telah menyediakan oksigen untuk tanaman agar dapat memproduksi makanan…
Yang telah menciptakan matahari yang sinarnya amat dibutuhkan bagi fotosintesis…
Yang telah menciptakan jumlah tak terhingga tanaman untuk konsumsi manusia…
Adalah Allah SWT…
Dialah yang mengeluarkan untuk kita buah-buahan…
Jika buahnya kecil, Dia jadikan buah itu berada dalam bulir seperti padi dan gandum, atau berkumpul pada tangkai seperti anggur. Bila buahnya besar atau sedang, Ia jadikan satu-satu seperti apel, jeruk, durian,
Allah juga menjadikan untuk kita barisan gigi, ada gigi seri untuk memotong, taring untuk mencabik, geraham untuk mengunyah. Lalu ia jadikan lidah dan liur serta enzim-enzim untuk memudahkan kita memakan buah-buahan.
Demikianlah dengan memikirkan makhluk-makhluk Allah, kita dapat mengenal Allah SWT sebagai Ar-Raziq – Maha Pemberi rizqi.
Lalu bagaimana kita mengetahui sifat-sifat Allah lain yang tadi disebutkan?
Kita mengenal bahwa Allah adalah العَلِيْمُ Al ‘Alim (Maha Mengetahui), karena Dzat yang telah menyediakan dan menyampaikan makanan kepada Anda ketika Anda di rahim ibu telah mengetahui bahwa Anda amat membutuhkan makanan tersebut, maka Dia pun menyediakannya, dan menciptakan tali pusat sebagai sarananya. Tatkala Anda keluar dari rahim ibu Anda, Dia Maha tahu akan hal itu maka Dia sediakan untuk Anda air susu ibu. Allah Maha mengetahui air di tanah yang dibutuhkan oleh tanaman yang Anda butuhkan, maka Dia ciptakan akar untuk dapat menyerap air. Allah mengetahui bahwa daun-daun pepohonan membutuhkan sinar matahari, maka Dia ciptakan dedaunan menantang matahari, Dia tahu bahwa segalanya yang dibutuhkan tanaman. Jadi, tidak dapat disangsikan lagi bahwa Allah, Dialah Pemberi Rezki Yang Maha Mengetahui.
Dan bagaimana kita mengetahui bahwa Allah SWT adalah الحَكِيْمُ (Al Hakim – Maha Bijaksana)?
Jika Anda menyaksikan ketelitian dan kesempurnaan antara bentuk dan struktur tali pusat dengan tubuh janin yang keduanya berkembang seirama dan seimbang di mana tali pusat berkembang sesuai perkembangan tubuh janin dan rahim ibu,… dan jika Anda melihat kesempurnaan dalam pembentukan air susu ibu yang komposisinya selalu menyesuaikan perkembangan dan kebutuhan bayi, … dan jika Anda menyaksikan ketelitian dan kesempurnaan dalam pembentukan bagian-bagian tumbuhan atau tanaman, dalam terbentuknya buah dan pemeliharaannya sebelum dipetik,… semua itu menjadi saksi bagi kita bahwa Pencipta mereka adalah Pemberi rezki yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
Bagaimana kita mengetahui bahwa Allah SWT adalah ِالخَبِيْرُ (Al Khabir – Maha Dalam Pengetahuan-Nya)?
Sesungguhnya pemindahan dan transportasi makanan ibu yang telah ditelan kepada tubuh janin melalui darah dan lewat tali pusat tidak mungkin terjadi kecuali dengan pengetahuan Yang Maha Dalam dan Luas.
Tidakkah Anda memperhatikan bahwa menyuntikkan jarum ke pembuluh darah untuk mengirimkan obat ke tubuh pasien memerlukan kecermatan? Lalu bagaimana dengan proses pemindahan makanan terus-menerus dalam waktu sembilan bulan dari tubuh ibu ke janin?
Demikian pula proses produksi dan mengeluarkan susu dari makanan yang dikonsumsi ibu tidak dapat dilakukan kecuali dengan pengetahuan Yang Maha Dalam dan Luas.
Sebagaimana pembentukan benih, biji, hingga buah yang beragam bentuk, warna dan rasanya padahal tanah yang mewadahi tumbuhnya tanaman tersebut mungkin satu dan juga disiram dengan air yang sama dan menghirup udara yang sama disinari sinar matahari yang sama.
Ingatlah, bahwa semua itu menjadi saksi bahwa mereka diciptakan oleh Yang Maha Luas dan Dalam Pengetahuan-Nya, Maha Pemberi rezki, Maha Mengetahui, dan Maha Bijaksana.
– Bersambung